Perempuan dari Etnis Minoritas Terpilih Jadi Presiden India
22 Juli 2022
Draupadi Murmu yang berasal dari etnis minoritas akan menjabat sebagai presiden pribumi pertama India, menjadikannya perempuan kedua dalam sejarah negara itu yang memegang jabatan presiden.
Iklan
Anggota parlemen India pada Kamis (21/07) secara resmi memilih Draupadi Murmu untuk menduduki jabatan presiden, menjadikannya presiden pertama dari salah satu komunitas suku minoritas di negara itu.
Murmu, 64 tahun, juga menjadi perempuan kedua yang menjabat sebagai presiden.
"Seorang putri India yang berasal dari komunitas suku yang lahir di bagian terpencil India timur telah terpilih sebagai presiden kita!" Perdana Menteri Narendra Modi mengatakan di Twitter.
Lebih dari 4.500 anggota dari parlemen nasional dan negara bagian memberikan suara dalam pemilihan presiden. Murmu berhasil mengamankan kemenangan dengan dukungan Partai Bharatiya Janata (BJP) yang saat ini berkuasa.
Apa latar belakang Murmu?
Murmu berasal dari suku Santhal dari Odisha yang tersebar di beberapa negara bagian di India timur. Dia pernah bekerja sebagai guru sebelum memasuki arena politik. Murmu telah menjadi legislator dua kali dari BJP pada tahun 2000 dan 2009.
Pada 2015, Murmu diangkat sebagai gubernur perempuan pertama di negara bagian timur Jharkhand dan menjabat hingga Juli 2021.
Beberapa pihak melihat pemilihan presiden Murmu sebagai kemenangan aspirasi politik suku dan momen terobosan bagi masyarakat, yang telah lama diabaikan dan dieksploitasi di bawah beberapa pemerintahan sebelumnya.
Murmu akan menjabat pada 25 Juli 2022
Masa jabatan presiden India saat ini, Ram Nath Kovind, berakhir pada 25 Juli 2022. Hari itu juga akan menjadi momen Murmu sebagai presiden baru yang akan diambil sumpahnya.
Makin Banyak Perempuan Memimpin Gerakan Sosial di Asia
Aksi protes menentang kebijakan pemerintah melanda banyak negara Asia, termasuk Afghanistan, India, Iran dan Pakistan. Perempuan sering ada di garis depan aksi unjuk rasa, berhadapan langsung dengan aparat keamanan.
Foto: picture alliance/abaca
Perempuan menentang undang-undang "diskriminatif"
Banyak warga sipil India marah atas undang-undang kewarganegaraan baru yang disebut mendiskriminasi umat Islam. Aksi protes meluas di seluruh negeri. Mereka menuntut Partai Nasionalis Hindu Bharatiya Janata (BJP) yang berkuasa membatalkan kembali undang-undang tersebut. Perempuan India menjadi ujung tombak aksi protes di beberapa negara bagian.
Foto: DW/M. Javed
Perjuangan menentang "rasisme"
Mahasiswa perempuan turun ke jalan-jalan di India, menyerukan slogan-slogan menentang langkah-langkah pemerintah yang mereka sebut "tidak konstitusional" dan bersifat rasis. Meskipun demonstrasi adalah hak warganegara, para perempuan menghadapi kecenderungan sikap fasis, kebencian terhadap perempuan, ekstremisme agama, dan kebrutalan polisi.
Foto: DW/M. Krishnan
Menolak "ideologisasi" hijab di Iran
Aktivis perempuan di Iran melepas jilbab sebagai tanda protes terhadap politik para Mullah. Meskipun ada sanksi keras terhadap perempuan-perempuan Iran yang dituduh "kebarat-baratan", mereka terus menggelar unjuk rasa di berbagai kota.
Foto: picture-alliance/abaca/SalamPix
Melawan penindasan rezim penguasa
Perempuan Iran telah mengalami penindasan patriarki sejak revolusi Islam 1979. Sekarang mereka menuntut persamaan hak, kebebasan berbicara dan berkumpul. Sekalipun sering dihina dan disepelekan pejabat pemerintahan, hal itu tidak membuat mereka mundur. Perempuan di Iran secara aktif berpartisipasi dalam semua demonstrasi politik dan sipil.
Foto: picture-alliance/AP Photo/J. Roberson
Perempuan Pakistan menyerukan "cukup adalah cukup" !
Para perempuan Pakistan yang menuntut persamaan hak sering dipandang rendah perempuan dan dijuluki "agen-agen Barat" atau "mafia LSM". Aktivis feminis umumnya ditolak oleh sebagian besar masyarakat. Namun itu memotivasi para aktivis untuk bersuara lebih lantang lagi menuntut hak-hak mereka.
Foto: Reuters/M. Raza
Jadi gerakan sosial
Gerakan perempuan di Pakistan kebanyakan memang masih bersifat eksklusif, terutama fokus pada isu-isu kekerasan berbasis gender, pernikahan dini dan "pembunuhan demi kehormatan". Namun sekarang makin banyak perempuan berpartisipasi aktif dalam unjuk rasa pro-demokrasi.
Foto: DW/T. Shahzad
Jumlah kecil dengan kekuatan besar
Hak-hak perempuan bukan prioritas bagi pemerintah Afghanistan. Demi stabilitas, pemerintah Afghanistan maupun Amerika Serikat melakukan perundingan damai dengan milisi Taliban. Bagi para perempuan, kembalinya Taliban adalah ancaman besar, seperti yang pernah mereka alami selama masa-masa gelap di bawah Taliban. Hanya sedikit perempuan Afghnaistan yang turun ke jalan, tapi suara mereka lantang.
Foto: DW/H.Sirat
Lebih baik daripada di era Taliban
Di bawah kekuasaan Taliban, perempuan kehilangan hak dan kebebasan mereka. Anak-anak perempuan bahkan dilarang ikut pendidikan sekolah. Perempuan juga tidak boleh bekerja atau meninggalkan rumah tanpa pendamping. Sekarang, anak-anak perempuan bisa bersekolah dan bercita-cita tinggi. (hp/ )
Foto: DW/H. Sirat
8 foto1 | 8
Konstitusi India mengamanatkan anggota parlemen untuk mengisi posisi presiden sebelum masa jabatan presiden berakhir.
Presiden India sebagian besar merupakan posisi seremonial dan kekuasaan eksekutif sebagai kepala pemerintahan dipegang oleh perdana menteri dan kabinetnya di bawah konstitusi India.
Meski begitu, posisi tersebut dianggap sebagai salah satu yang sangat bergengsi. Presiden dapat memainkan peran yang menentukan selama masa ketidakstabilan politik dengan memutuskan partai mana yang paling baik membentuk pemerintah federal ketika pemilihan umum tidak meyakinkan. Presiden juga memegang kekuasaan untuk memberikan grasi hukuman mati.