1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
SosialJerman

Perempuan Indonesia Ahli Epidemiologi di Negeri Orang

Marjory Linardy
8 September 2023

"Dunia sudah borderless,” katanya. Setelah jadi dokter, ia memutuskan untuk mendalami epidemiologi di Jerman. Walaupun melakukan penelitian saat pandemi, dia berhasil selesaikan S3 di Heidelberg dengan magna cum laude.

Melani Mahanani
Foto: privat

"Itu klasik banget," katanya. "Cita-cita anak Indonesia zaman saya itu jadi dokter, insinyur atau lawyer, gitu." Seperti anak Indonesia lainnya, awalnya dia memang bercita-cita menjadi dokter, dan dia juga sepenuhnya menyelesaikan S1 di bidang kedokteran.

Nama lengkapnya Melani Ratih Mahanani. Panggilannya Melani. Ia lahir di kabupaten Karanganyar, Jawa Tengah. "Kota terdekat dari situ itu Solo," katanya.

Melani berkuliah S1 di bidang kedokteran di Universitas 11 Maret, Solo. Kuliah S2 ia tempuh di Universitas Heidelberg, Jerman, yaitu di bidang International Health. "Nah, bidang International Health itu seperti Public Health [kesehatan masyarakat], gitu,” demikian dijelaskan Melani. Setelah itu selesai, dia melanjutkan ke bidang epidemiologi, yang merupakan salah satu intisari dari bidang kesehatan masyarakat. "Jadi lebih mengerucut ke bawah, gitu,” kata Melani.

Pahami risiko terkena penyakit di negeri orang

Melani bercerita, ketika dia sedang berkuliah kedokteran di Solo, salah seorang anggota keluarganya terdiagnosis menderita kanker. Karena peristiwa itu, cita-citanya sedikit bergeser. Dia merasa heran, "Mengapa anggota keluarga yang sangat sehat hidupnya, dietnya, dan aktivitas fisiknya sangat reguler gitu, masih bisa terdiagnosis kanker."

Dia bertanya-tanya, apa yang membuat risiko sakit seseorang berbeda dengan orang lain, dan dia ingin tahu lebih lanjut tentang hal itu. Ia kemudian berusaha mencari cabang kedokteran yang berkaitan dengan hal ini. Kebetulan, di sebuah konferensi tentang public health di Solo, dia mendengar tentang ilmu yang bernama epidemiologi, yang merupakan irisan dari ilmu kedokteran dan ilmu kesehatan masyarakat.

"Cita-cita saya dulu cara pengobatan penyakit, dan sekarang lebih ke arah bagaimana cara pencegahannya,” demikian dijelaskan Melani. Sejak saat itu dia juga ingin menjadi peneliti epidemiologi kelas dunia. Karena banyak sekali pertanyaan yang belum terjawab, tentang penyebaran penyakit, khususnya penyakit tidak menular, seperti kanker dan penyakit kardiovaskuler.

Setelah tamat kuliah kedokteran dan mendapat ijazahnya bulan April 2017, dia mulai menekuni bidang epidemiologi. Ketika itu, dia diterima untuk melanjutkan kuliah S2 di Australia, Swedia, Belanda dan Jerman, yaitu di Heidelberg. Yang ia pertimbangkan ketika itu adalah keadaan dan kesempatan pendanaan.

Melani bercerita, dia juga terpikir untuk melamar beasiswa dalam negeri, tapi kesempatannya hanya sekali setahun, dan ketika dia mempertimbangkannya, waktunya tidak cocok. Namun dia berhasil mendapat beasiswa dari luar negeri. Jadi ia dan suaminya berangkat ke Jerman dua minggu setelah mereka menikah, di bulan September 2017. Suaminya juga menuntut pendidikan di Heidelberg, tapi di bidang molecular medicine atau kedokteran molekuler.

Ia selesai menuntut pendidikan S2 di bulan September 2018. Setelah itu, di sempat kembali ke Indonesia dan bekerja selama delapan bulan, sebagai konsultan dan asisten peneliti. Lalu Oktober 2019 ia mendapat kesempatan melanjutkan ke S3, juga di Universitas Heidelberg dengan pendanaan Deutscher Akademischer Austausch Dienst (DAAD).

Melani menjelaskan lebih lanjut, epidemiologi adalah ilmu yang mempelajari tentang penyebaran penyakit, dan faktor-faktor yang mempengaruhi penyebaran penyakit itu. "Jadi bisa faktor yang memicu, dan faktor yang mengurangi penyebarannya," katanya.

Ketika ditanya apa profesi yang sesuai untuk orang-orang yang menuntut ilmu epidemiologi, Melani menjelaskan, epidemiologi adalah ilmu yang multidisipliner dan bisa diaplikasikan dalam pekerjaan apa saja. Di bidang akademia, orang bisa jadi peneliti dan akademisi seperti Melani sekarang. Selain itu, orang juga bisa juga jadi konsultan di bidang kesehatan. "Bisa juga bekerja di Gesundheitsamt [Badan Kesehatan Jerman], bisa juga sebagai public health instructor di rumah sakit. Ada juga yang bekerja di institut penelitian yang tidak termasuk universitas, seperti misalnya CDC di AS.” Demikian dijelaskan Melani.

Melani bersama profesor yang membimbing selama studiFoto: privat

Ia bercerita, sebelum selesai S3 dia sempat berdoa agar bisa segera mulai postdoc tanpa harus pulang ke Indonesia terlebih dahulu, karena mengurus visa untuk kembali ke Jerman akan sangat rumit. Ternyata doanya terkabul. Dia mulai postdoc sehari setelah mempertahankan disertasinya tanggal 19 Juli lalu. "Banyak yang kasihan sama saya," katanya sambil tertawa. "Karena belum sempat merayakan keberhasilan dan belum sempat liburan sudah harus mulai kerja lagi.”

"Dunia sudah borderless

Melani mengaku sangat menikmati pekerjaannya, dan setelah postdoc berakhir nanti, dia bertekad akan terus meneliti di bidang epidemiologi di Jerman. "Terus pengen semakin fokus. Sehingga nantinya dikenal sebagai peneliti dan akademisi yang keahliannya spesifik di bidang epidemiologi penyakit tidak menular." Begitu Melani menjelaskan cita-citanya.

Dia memaparkan pula, "Jujur, karena saya sekolah di sini [di Jerman], mulai dari pemahaman suatu topik saja udah beda banget. Jadi mulai dari baseline-nya.” Di Jerman sangat mengedepankan pemahaman hingga inti suatu topik atau rumus, dijelaskan Melani. "Jadi bukan sekedar hafalan yang dipakai untuk sementara, dan cuma dipake buat lulus ujian.”

Tentang kuliah S3 di Jerman dia memaparkan, S3 sepenuhnya untuk riset, tidak ada kuliah wajib. "Di Indonesia, riset hanya komponen beberapa persen saja dan masih ada kuliah wajib.” Untuk bisa melakukan penelitian seperti di Jerman, orang harus mengerti dasarnya. Dalam epidemiologi orang harus mengerti dasar suatu rumus dalam suatu analisis yang dipakai. Harus paham sepenuhnya agar bisa mengaplikasikan dalam riset yang dilakukan, katanya lagi. "Nah yang saya lihat, di Indonesia itu kurang ada, menurut pengalaman saya sebelum ke Jerman."

Melani mengungkap pula, dia melihat sangat sulit untuk berbagi makalah hasil riset dengan dunia, dan dipublikasikan di dalam jurnal ilmu pengetahuan, jika kita sendiri tidak memahaminya. "Jadi mulai dari konsep tentang pengetahuan saja sudah beda. Apalagi tentang work ethic [etika bekerja]. Dan scientific perspective-nya [perspektif ilmu pengetahuannya] juga cukup berbeda.”

Dari pengalamannya ketika kuliah S2, dia melihat bagaimana kuliah yang sarat presentasi, debat, dan diskusi berlangsung. Menurut Melani, dalam hal itu ada kerenggangan besar antara Jerman dan Indonesia.

Dia juga percaya, dunia itu sudah borderless [tidak memiliki pembatas lagi]. "Jadi tidak harus berkontribusi hanya untuk Indonesia, melainkan di manapun saya bekerja, bahkan bisa berdampak untuk orang-orang lain di seluruh dunia. Itu juga bagus, kalo menurut saya.”

"Peneliti diaspora dilihat sebagai outsider

Melani mengungkap dalam bidang epidemiologi yang digunakan adalah laboratorium kering, bukan basah. "Jadi tidak butuh infrastruktur yang fisik, melainkan bekerja dengan data.” Waktu masih kuliah S2 dan S3 dia sudah melihat, mengakses data untuk Indonesia sangat sulit. Biasanya akses hanya untuk kolaborator yang sudah dikenal oleh suatu institusi, kata Melani.

"Waktu itu saya belum punya kenalan, belum punya koneksi, jadi susah untuk mengakses ke dalam." Jadi dia terpaksa menganalisis data dari negara lain. Yaitu dari Jerman, Rusia, Malawi, India dan Malaysia. Untuk negara-negara itu, dia lebih mudah mendapat akses daripada dari negaranya sendiri. "Saya diminta berkontribusi untuk negara, tapi sarananya tidak terbuka untuk diaspora," katanya dengan sedih.

Dia bahkan pernah menulis di sebuah artikel, bahwa peneliti diaspora dilihat sebagai outsider yang tidak punya hak seperti peneliti di dalam negeri. Khususnya untuk akses data. "Semoga kedepannya lebih baik," kata Melani lirih.

Meneliti di tengah pandemi

Epidemiologi erat dengan wabah, kata Melani. Saat dia kuliah, dunia sedang mengalami pandemi. Jadi dia bisa mengadakan penelitian langsung, dan melihat bagaimana peneliti lain bekerja, juga langkah-langkah tata kelola menyangkut kesehatan. Dia bercerita, "Banyak dampak yang baik maupun yang buruk, yang kena ke saya."  Sebagai peneliti yang cukup punya kredibilitas untuk bicara tentang hal ini, dia merasa terpanggil untuk mencoba menanggapi opini dan berita yang kurang tepat di awal pandemi.

2020/2021 dia cukup aktif untuk memberikan penjelasan mengenai epidemiologi, bedanya pandemi dan endemi, demikian pula tentang herd immunity [kekebalan kelompok atau kawanan]. Dia cukup suka memberikan informasi baik di Twitter maupun artikel yang diterbitkan di The Conversation Indonesia.

Melihat bagaimana banyaknya informasi yang tidak tepat beredar, dia merasa sangat terdampak secara mental dan emosional, sehingga tidak mau lagi aktif di Twitter tapi terus menulis bagi The Conversation Indonesia.

Salah satu dampak buruk pandemi atas penelitiannya adalah tesisnya gagal. Ia tidak bisa mengumpulkan data primer dan sekunder seperti yang ia rencanakan dalam proposal. Sehingga dia harus mengganti secara keseluruhan proyek disertasinya. "Saya ganti research question, saya ganti metode, semuanya saya ulang, dengan menyesuaikan dengan sumber daya yang ketersediaannya terbatas di masa pandemi." Waktu itu dia berusaha mencari sumber data yang dimiliki profesornya, juga kolaborator yang dia miliki, dan ketersediaan data set dari kolaborator.

"Akhirnya disertasi saya selesai, bahkan cukup cepat untuk hitungan di Jerman,” kata Melani dengan bangga. Walaupun selesai dengan cepat, disertasinya terlihat sangat besar dan dalam, karena mencakup pencegahan beberapa penyakit, bukan hanya satu. Padahal biasanya untuk disertasi yang jadi topik hanya satu penyakit yang menjadi topik pilihan kandidat doktor.

Melani (ketiga dari kiri) bersama kolega sesama peneliti dan profesornya. Foto: privat

Dia bercerita, ketika ujian lisan dan mempertahankan disertasi, salah satu pengujinya berceletuk: disertasinya seperti tiga disertasi dari tiga orang. "Tapi stresnya juga besar," kata Melani sambil tertawa. Namun stres besar ada manfaatnya, karena dia mendapat gelar magna cum laude. Kontrak postdoc sampai akhir 2027. Postdoc-nya juga dipersiapkan untuk Habilitation, yaitu salah satu proses untuk menjadi profesor di sebuah universitas Jerman.

Fokus epidemiologi penyakit tidak menular

Epidemiologi terdiri dari dua bidang, seperti dijelaskan Melani. Yang pertama adalah: epidemiologi penyakit menular. Penelitian di bidang itu sebagian besar dalam hal forcasting [peramalan], misalnya kapan suatu wabah akan berakhir dan timbul lagi. Fokusnya adalah teknik analisis, kata Melani. Selain itu, biasanya berfokus pada tata kelola wabah. "Analisis, mencari titik penularannya di mana, dan public policy untuk meredam wabah di masyarakat.”

Bidang yang kedua, dan yang ditekuni Melani adalah epidemiologi penyakit tidak menular. Fokusnya tidak responsif melainkan jangka panjang, misalnya melihat bagaimana penyakit ini semakin trending karena populasi dunia semakin menua. Melani mengungkap, banyak sekali kematian yang diakibatkan penyakit tidak menular.

Penelitian epidemiologi penyakit tidak menular melihat cara pencegahannya, distribusinya, pada populasi usia berapa, pada ras apa, di mana kemudian faktor risikonya. Hasilnya diberikan kepada policy maker agar bisa membuat kebijakan. "Jadi lebih untuk jangka panjang. Sementara kalau penyakit menular lebih ke arah mitigasi dan prediksi.”

Menyampaikan hasil kepada policy maker

Melani melihat, policy maker bisa berbeda-beda. Contohnya World Health Organization (WHO), yang fungsinya memberikan pedoman dan pada akhirnya digunakan untuk membuat kebijakan oleh negara-negara anggotanya. WHO tidak melakukan penelitian, jelas Melani. "Mereka membuat kompilasi bukti-bukti dari penelitian kemudian dijadikan guideline dalam bentuk systematic review, atau tinjauan sistematis, yang dilakukan peneliti yang menang tender WHO. Systematic review diambil intisarinya kemudian dijadikan rekomendasi dalam suatu guideline.”

Ia menjelaskan lebih lanjut, dalam penelitian ada yang namanya pyramid of evidence atau piramida bukti. Yang paling atas adalah yang kualitas buktinya paling baik, yang bawah yang paling buruk. Saat ini, yang paling bawah adalah opini ahli. Itulah yang paling tidak punya basis bukti yang kuat. Yang paling atas adalah systematic review dan meta-analysis.

Melani mengatakan, WHO melakukan pekerjaan sesuai piramida bukti dan jalur penelitian yang benar, dan menunjuk peneliti yang benar-benar punya keahlian di bidangnya untuk memberikan intisari yang akan dijadikan pedoman oleh WHO. Melani mengungkap, ada policy maker lain yang mengutamakan opini ahli. "Mungkin mereka kurang tahu ada piramida bukti. Mungkin itu kurang didiseminasi, jadi mereka kurang paham.”

Dia bercerita, "Waktu pandemi saya melihat, memang serem banget." Banyak peneliti yang mencari untung sendiri, baik di Indonesia maupun di Jeman. "Banyak peneliti yang cherry picking data. Cherry picking paper untuk mendukung opini yang ia miliki.” Cherry picking artinya menyampaikan potongan-potongan fakta untuk mendukung pendapat atau opini seseorang tanpa memberikan seluruh informasi yang terkait. Sedangkan dalam systematic review dan meta-analysis, peneliti menganalisa banyak makalah, baik yang pro dan kontra suatu hipotesis, dan mana yang lebih berat.

Tentang hasil studinya, Melani mengungkap, dia menganggap penelitiannya kontribusi tidak besar yang masih harus digabungkan dengan kontribusi dari para peneliti lain dengan topik yang sama, untuk kemudian bisa dilakukan analisis lebih mendalam. Selain itu, literatur yang saling berkaitan juga ditelusuri, kemudian dicari apakah bisa memiliki suatu benang merah yang sama, bukti ilmiah yang sama, kemudian bisa ditarik kesimpulan.

Ia memberikan contoh: obat HIV menyebabkan hipertensi. "Tapi itu kan ga bisa langsung dijadikan headline [kepala berita] di koran.” Harus dilihat apakah juga tercermin di penelitian lain, dan apakah hasilnya serupa. Setelah itu baru bisa dijadikan landasan kebijakan. Jadi jika orang mengambil keputusan dari satu makalah saja, itu terlalu buru-buru.

Epidemiologi dan perubahan iklim

Berkaitan dengan perubahan iklim yang kerap dibicarakan belakangan ini ia mengungkap, topik salah satu proyeknya sekarang berkaitan erat dengan perubahan iklim. Tepatnya heat wave atau gelombang panas, dan dampaknya pada kesehatan jantung, serta cara mengurangi dampaknya. Dia juga belajar dan melihat secara langsung, apa yang sudah dilakukan para peneliti, pengambil kebijakan dan masyarakat pada umumnya, dalam upaya mengatasi hal ini.

"Saya melihatnya, usaha sekecil apapun itu berdampak." Akumulatif dampak yang positif buat bumi sebenarnya ada, katanya. Yang banyak tampak di artikel atau di koran memang maksudnya untuk meningkatkan kesadaran akan perubahan iklim, tutur Melani, tapi kurang melihat dampak positif yang sudah terjadi.

Dia bersyukur, pengalaman ini membuat dia jadi lebih penuh harapan, dan bisa berpikir bahwa masa depan tidak seburuk yang ia kira sebelumnya.

Selain tantangan di bidang penelitian, Melani mengaku juga berhasil mengatasi tantangan di bidang lain. "Sebelum tinggal di Jerman saya pemalu, dan kurang bisa speak up for myself [berbicara untuk kepentingan saya sendiri]. Buat mengemukakan pendapat, mempertahankan hak itu susah banget. Jadi ketika mulai Master di Jerman, dia sempat kaget. "Tapi ya udah, dorong terus, latih diri." Sekarang dia puas sudah bisa keluar dari zona nyamannya.

"Saya sekarang Germanized [terpengaruh Jerman],” katanya sambal tertawa. Dia juga mengaku kerap mengambil elemen positif dari kebudayaan Indonesia dan Jerman, sehingga menjadi third culture, atau kebudayaan ketiga.

Dia bertutur pernah melihat kecelakaan kecil terjadi di jalanan di Jerman. Ketika itu, seorang polisi segera menegur pejalan kaki yang nampaknya mengambil foto dari kecelakaan itu. Melani setuju langkah tegas seperti itu, untuk mencegah penyebarluasan berita kejadian yang tidak layak disebarluaskan.

Untuk orang Indonesia yang ingin melanjutkan studi atau bekerja di Jerman, dia mengungkap, skill atau keahlian dan pengetahuan menentukan kesuksesan kita di Jerman, selain tentu ada faktor-faktor lain. "Kita harus paham kemampuan diri, apakah bisa digunakan untuk berkompetisi di sini. Karena kita bersaing tidak dengan orang Jerman saja, tapi juga dengan pendatang lain, misalnya dari Uni Eropa.” (ml/hp)