1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
Sejarah

Perempuan Iran Tuntut Perubahan di Negaranya

11 Februari 2019

40 tahun lalu Khomeini mendirikan Republik Islam Iran. Namun kini kegembiraan yang tersisa dari masa-masa itu makin sirna. Bahkan kekuatan pro-reformasi makin senyap, kecuali suara para perempuan.

Iranerinnen legen aus Protest Kopftuch ab
Foto: picture alliance/abaca

Keadaan saat ini jauh berbeda dengan 40 tahun lalu. Ketika itu, lebih 90 persen rakyat Iran menyetujui revolusi dan deklarasi Republik Islam Iran. Ayatollah Khomeini didaulat sebagai pemimpin revolusi dan pemimpin negara yang baru.

Setelah kekalahan besar dalam perang Irak (1980-1988), kubu penguasa masih dapat mengkonsolidasikan kekuatannya. Namun muncul juga gerakan reformasi yang ingin perubahan. Tapi gerakan itu tidak mampu menghasilkan perubahan berkelanjutan.

Fase pertama gerakan reformasi ditandai dengan kemenangan Mohammed Khatami dalam pemilihan presiden tahun 1997. Khatami segera mencanangkan reformasi kultural, termasuk kebebasan budaya dan hak-hak perempuan dan warga minoritas. Tetapi para Mullah konservatif segera bereaksi.

Aksi-aksi protes mahasiswa menentang penutupan sebuah surat kabar di musim panas 1999 ditindas secara brutal. Ratusan orang ditangkap dan dituduh bekerjasama dengan kekuatan asing yang ingin menggulingkan kekuasaan para Mullah. Pers kritis lalu dibungkam, para intelektual moderat ditangkap, termasuk pengacara dan aktivis hak asasi ternama Shirin Ebadi, yang tahun 2003 dianugerahi Hadiah Nobel Perdamaian.

Foto: Getty Images/AFP/O. Laban-Mattei

Gerakan perempuan dan harapan perubahan sosial

Revolusi Islam yang dicanangkan Khomeini memang tetap memberi hak pilih kepada perempuan, tetapi karena negara kemudian dipimpin oleh para Mullah, perempuan otomatis dirugikan dalam arena politik. Bahkan dalam keluarga, menurut aturan Syariah semua keputusan penting diambil oleh ayah atau suami. Setelah seorang perempuan menikah, sang suami yang memutuskan apakah istrinya boleh bekerja. Suami juga yang berhak menentukan di mana keluarga akan tinggal, dan apakah istrinya boleh bepergian ke luar negeri atau bahkan hanya meninggalkan kotanya

Tahun 2009, aksi protes kembali bergulir ketika Mahmud Ahmedinejad dinyatakan memenangkan pemilihan presiden atas calon oposisi, Hossein Mussawi. Banyak pemilih tidak percaya bahwa Ahmadnejad benar-benar memenangkan 63 persen suara dan menduga terjadi manipulasi. Ratusan ribu orang ketika itu turun ke jalan sebagai protes. Dalam setahun, aksi-aksi itu juga dibungkam oleh aparat keamanan dan Garda Revolusi Iran, yang menikmati keuntungan dari sistem yang ada.

"Bagian penting dari protes ini (tahun 2009) datang dari para perempuan," kata aktivis Mansoureh Shojaee kepada DW. Dia merujuk pada sejarah panjang gerakan perempuan di Iran, yang dimulai bahkan sebelum revolusi konstitusional tahun 1906.

"Terutama dalam sepuluh tahun terakhir, perempuan telah menggunakan setiap kesempatan untuk menegaskan tuntutan mereka, bahkan dari dalam penjara", tuturnya. Di bawah pemerintahan Ahmedinejad, pengacara HAM Nasrin Sotoudeh menggelar aksi mogok memrotes aturan berpakaian bagi perempuan, yang mengharuskan perempuan memakai chador, kerudung untuk seluruh tubuh. Sotoudeh akhirnya "menang", aturan itu dihapuskan bagi perempuan di dalam penjara.

Presiden Iran Hassan RouhaniFoto: Getty Images/AFP/A. Kenare

Namun situasi perempuan di Iran tetap berada dalam tekanan. Nasri Sotoudeh pada tahun 2018 ditangkap lagi atas tuduhan spionase dan mendukung gerakan anti-kerudung. Dia masuk penjara lagi. Tetapi dia dan aktivis perempuan lainnya tetap berjuang sambil menekankan keyakinan mereka pada perubahan melalui cara-cara damai, kata Mansoureh Shojaee.

Dia menambahkan: "Gerakan perempuan di Iran sedang mencoba memperbaharui dirinya. Berusaha memperjuangkan hak-hak sipil dan mendukung tuntutan umum masyarakat untuk untuk perubahan".

Banyak yang kecewa

Pemilihan Presiden Hassan Rouhani tahun 2013 sempat membangkitkan harapan, namun sejauh ini tidak membawa perubahan apa pun di mata aktivis perempuan Iran.

"Jika sebuah sistem politik tidak menemukan cara untuk mereformasi dirinya dan memenuhi tuntutan warganya, cepat atau lambat akan mengarah pada krisis serius, ke revolusi atau kehancuran," kata Abbas Abdi kepada DW. Dia salah satu yang ikut menyerbu Kedutaan Besar AS tahun 1979, namun kemudian menjadi pengeritik rezim para Mullah.

Banyak warga Iran yang menyaksikan revolusi 40 tahun lalu kecewa, kata Abbas Abdi. "Kalau kita tahu bahwa tuntutan kita tidak terpenuhi selama 40 tahun ke depan, kita dulu tidak akan mendukung revolusi," tandasnya.