1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
SosialJepang

Perempuan Jepang Berharap Tetap Pakai Nama Gadis Mereka

22 November 2024

Dorongan agar perempuan yang sudah menikah bisa tetap memakai nama gadis mereka semakin kuat di Jepang. Mereka berharap politisi yang baru terpilih dapat mengubah hukum dan meningkatkan hak-hak mereka.

Perempuan Jepang di ruang publik
Perempuan Jepang mengeluhkan sering ditolak masuk di pos pemeriksaan keamanan atau ditolak akomodasi ketika nama profesional dan nama resmi mereka berbeda.Foto: Stanislav Kogiku/ZUMA Press Wire/Imago Images

Laporan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) tentang kesetaraan gender, ditambah dengan kekalahan terkini Partai Demokrat Liberal Jepang yang konservatif, telah memicu optimisme baru akan adanya perubahan hukum untuk mengizinkan perempuan mempertahankan nama gadis mereka setelah menikah.

Namun, tinjauan pertama tentang kesetaraan di Jepang oleh Komite PBB untuk Penghapusan Diskriminasi terhadap Perempuan dalam delapan tahun dikecam dengan reaksi keras dari kaum tradisionalis yang menuntut agar PBB tidak ikut campur dalam urusan dalam negeri Jepang.

Perdebatan tenang masalah nama ini telah berlangsung selama beberapa dekade. Dalam jajak pendapat bulan Juni 2024 oleh surat kabar Mainichi, sekitar 57% orang Jepang mendukung sistem nama keluarga selektif untuk pasangan yang sudah menikah.

Sekitar 22% menentang karena banyak politikus konservatif bersikeras bahwa kesatuan keluarga akan rusak apabila perempuan yang sudah menikan diizinkan tetap menggunakan nama gadis mereka.

Penolakan dari pihak kanan

"Tidak perlu mengubah undang-undang karena hanya akan menimbulkan kebingungan di masyarakat," kata Yoichi Shimada, pensiunan akademisi, yang memenangkan kursi dalam pemilihan umum bulan Oktober untuk Partai Konservatif sayap kanan.

"Masalah terpenting yang perlu dipertimbangkan adalah anak-anak, yang akhirnya akan memiliki nama yang berbeda dengan salah satu orang tua mereka, yang merusak rasa kekeluargaan," katanya kepada DW.

Ayo berlangganan newsletter mingguan Wednesday Bite. Recharge pengetahuanmu di tengah minggu, biar topik obrolan makin seru! 

Para aktivis yang menentang sistem ini berargumen bahwa Jepang adalah satu-satunya negara di dunia yang masih mengharuskan pasangan yang sudah menikah untuk memiliki nama keluarga yang sama.

Sebagian besar, nama tersebut adalah nama suami, dan hanya 5,5% dari pasangan yang baru menikah memilih menggunakan nama keluarga istri menurut survei tahun 2023 oleh Kementerian Kesehatan.

Tradisi ini berasal dari kuatnya dominasi laki-laki di masyarakat Jepang, di mana sejumlah kecil politisi konservatif di majelis rendah parlemen masih memegang tradisi yang dianggap ketinggalan zaman. Namun, banyak kritikus menjadi lebih optimis.

"Mungkin lambat, tetapi saya pikir perubahan itu mulai terjadi," kata Sumie Kawakami, dosen di Universitas Yamanashi Gakuin dan penulis buku tentang isu gender di Jepang.

"Awal tahun ini, pemimpin Keidanren (Federasi Bisnis Jepang) menyatakan dukungannya terhadap perubahan undang-undang untuk mengizinkan perempuan mempertahankan nama gadis mereka karena hal itu berdampak negatif pada bisnis," katanya kepada DW. 

Tantangan bagi perempuan Jepang dalam bisnis

Keidanren menyoroti pertanyaan dan keluhan dari perusahaan asing tentang perempuan yang menghadapi masalah ketika melakukan perjalanan bisnis dan identifikasi ketika nama profesional dan nama resmi mereka berbeda. Para perempuan tersebut sering ditolak masuk atau ditolak akomodasi ketika dokumen identitas mereka berbeda.

Kawakami yakin posisi Keidanren telah menempatkan isu tersebut kembali menjadi sorotan, tetapi laporan PBB yang dikeluarkan pada bulan Oktober juga memberikan dorongan ekstra bagi kampanye tersebut. Komite PBB terdiri dari 23 pakar internasional dan melakukan penilaian berkala terhadap kesetaraan gender di 189 negara dan wilayah yang telah meratifikasi konvensi tersebut.

Namun, rekomendasi komite tersebut menuai kritik di media Jepang. Surat kabar Sankei yang condong ke konservatif menyatakan dalam editorial yang diterbitkan pada tanggal 4 November bahwa posisi PBB ini "tidak lain hanyalah campur tangan yang arogan dalam urusan internal Jepang."

"Itu menunjukkan kurangnya pengetahuan tentang fakta dan merendahkan budaya dan adat istiadat Jepang," tambah editorial tersebut. "Itu tidak ada hubungannya dengan kesetaraan gender atau diskriminasi terhadap perempuan. Bahwa badan PBB bahkan membahas masalah ini dalam konteks yang salah seperti itu tidak dapat diterima."

Momentum untuk perubahan di Jepang

Partai Demokratik untuk Rakyat, Partai Komunis Jepang, dan bahkan anggota LDP yang berhaluan tengah dan mitra politiknya Komeito semuanya telah menyatakan dukungan untuk mengubah undang-undang tersebut.

"Untuk pertama kalinya, saya ingin berpikir bahwa ada harapan bahwa kita akhirnya dapat membuat perubahan ini," kata Kawakami.

"Perubahan sangat lambat dalam politik Jepang dan mungkin tidak terjadi dengan segera, tetapi dengan dukungan mayoritas masyarakat, pemimpin bisnis, dan semakin banyak politisi, hal itu dapat terjadi."

Diadaptasi dari artikel DW berbahasa Inggris

Julian Ryall Jurnalis di Tokyo, dengan fokus pada isu-isu politik, ekonomi, dan sosial di Jepang dan Korea.