1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
Sosial

Perempuan Jepang Tolak Kewajiban High Heels di Tempat Kerja

4 Juni 2019

Kampanye di media sosial yang menolak kewajiban bagi perempuan memakai sepatu hak tinggi menjadi viral di Jepang. Dalam sehari saja, sudah ribuan orang bergabung dalam gerakan #KuToo.

Rote Schuhe Frau Pumps
Foto: Fotolia/Peter Atkins

Kampanye #KuToo - permainan kata untuk sepatu, atau "kutsu" dalam bahasa Jepang, dan "kutsuu" atau rasa sakit - dimulai oleh aktris dan penulis Jepang Yumi Ishikawa, yang mengajukan petisi online ke kementerian kesehatan pada Senin (03/06).

Dalam beberapa jam saja, hampir 20.000 perempuan menandatangani petisi online yang menuntut agar pemerintah melarang perusahaan mewajibkan karyawan perempuannya mengenakan sepatu hak tinggi di tempat kerja.

Yumi Ishikawa meluncurkan kampanye itu setelah bercerita bahwa dia dipaksa memakai sepatu hak tinggi untuk suatu pekerjaan paruh waktu pada acara kedukaan.

"Setelah bekerja, semua mengganti sepatunya dengan sepatu olahraga atau datar," tulisnya dalam petisi online itu, yang menunjukkan bahwa sepatu itu memang tidak nyaman. Dia menambahkan, sepatu high heels dapat menyebabkan kaki lecet dan gangguan-gangguan lain pada telapak kaki.

Diskriminasi gender

"Sulit untuk bergerak, Anda tidak bisa berlari, dan kaki Anda sakit. Semua itu karena sopan santun," tulis Yumi Ishikawa. Dia mengatakan bahwa pria tidak menghadapi tuntutan serupa dari tempat kerjanya.

Dalam beberapa dekade terakhir, kelompok bisnis yang dulu misalnya diharapkan mengenakan dasi, sudah punya kelonggaran dan tidak perlu berdasi lagi sejak ada kampanye "cool biz" tahun 2005 yang didukung pemerintah. Kampanye itu tadinya bertujuan untuk mendorong perusahaan agar menurunkan AC dan menghemat penggunaan listrik. Sekarang, banyak pelaku bisnis dan pejabat pemerintah tidak memakai dasi di tempat kerja.

Petisi online ini adalah upaya untuk mengakhiri diskriminasi gender dan "membuat lebih mudah bagi semua orang untuk bekerja, dan menciptakan lingkungan kerja yang bebas dari beban yang tidak perlu," kata Yumi Ishikara.

Kementerian kesehatan mengatakan sedang meninjau petisi online itu dan menolak berkomentar lebih lanjut.

Bukan pertama kali

Ini bukan pertama kalinya perusahaan-perusahaan Jepang dikritik agar memikirkan kembali tata cara berpakaian yang mereka wajibkan, baik melalui aturan tertulis atau tidak. Pada tahun 2005, pemerintah Jepang mendorong perusahaan untuk mengurangi penggunaan listrik dengan mematikan AC di gedung perkantoran. Setelah itu, standar selama puluhan tahun bagi pria untuk mengenakan dasi mulai berubah.

Dalam beberapa tahun terakhir, perempuan Jepang makin lantang mengecam kurangnya kemajuan dalam mengatasi seksisme di lembaga-lembaga pemerintah dan swasta. Bahkan dalam sebuah kasus Agustus 2018, terungkap bahwa Universitas Kedokteran Tokyo telah memalsukan hasil ujian masuk perempuan, agar kandidat pria bisa diutamakan.

Di Inggris, pembalap Nicola Thorp tahun 2016 pernah meluncurkan petisi serupa setelah dia dipulangkan dari kantor karena menolak mengenakan sepatu hak tinggi. Penyelidikan parlemen terhadap aturan berpakaian kemudian menemukan adanya diskriminasi di tempat kerja. Tetapi pemerintah Inggris menolak membuat undang-undang yang melarang perusahaan mewajibkan perempuan memakai sepatu hak tinggi.

hp/ts (afp, rtr)