Foto Tersebar, Perempuan Jerman Tuntut Hak untuk Dilupakan
4 September 2025
Adalah sebuah mimpi buruk yang bisa menimpa siapa saja, ketika orang tak dikenal mencuri foto telanjang dan foto intim dari penyimpanan data cloud pribadi milik seorang perempuan Jerman dan menyebarkannya di Internet.
Lebih mengerikannya lagi, konten yang menampilkan dirinya beserta pasangan itu bahkan dapat dicari di mesin pencarian Google dengan nama asli. Identitas pribadi yang disimpan pada cloud tersebut juga turut ‘bocor'.
Perempuan tersebut pun menghubungi HateAid, sebuah organisasi nirlaba yang menolong korban tindak kebencian yang disebarkan secara daring serta kekerasan digital.
Dengan bantuan HateAid, ia menghubungi situs-situs terkait dan melaporkan lebih dari 2.000 URL yang menampilkan gambarnya ke Google. URL tersebut ditemukannya lewat mesin pencarian gambar Google. Meskipun Google menghapus hasil pencarian tersebut, gambar dan video terus bermunculan kembali ke internet dan pada hasil pencarian Google bahkan muncul dalam bentuk deepfake - gambar palsu yang dibuat dengan kecerdasan buatan.
Kasus ini lantas memunculkan pertanyaan penting: Sejauh mana perlindungan data di internet seharusnya diterapkan?
Ancaman apa saja dihadapi para pengguna - terutama pengguna perempuan dan bagaimana menghadami ancaman tersebut?
Ayo berlangganan newsletter mingguan Wednesday Bite. Recharge pengetahuanmu di tengah minggu, biar topik obrolan makin seru!
Rekaman intim, yang tidak pernah dimaksudkan untuk dipublikasikan
Di situs web HateAid, perempuan tersebut menggunakan nama samaran Laura. Ia mengetahui pencurian berkas-berkasnya secara tidak sengaja pada tahun 2023, ketika imencari namanya sendiri di mesin pencarian Google.
Kepada majalah "Der Spiegel", dia mengaku merasa seperti diperkosa ketika melihat foto dan video intimnya di internet, tanpa pernah bermaksud publikasi. Insiden ini ‘menjungkirbalikkan' hidup Laura, ia berpindah rumah, berganti pekerjaan, dan menderita gangguan stres pascatrauma (PTSD)
Gagal meyakinkan Google menghapus foto dan rekaman secara permanen dari mesin pencariannya, Laura kini mengajukan gugatan terhadap perusahaan tersebut di Irlandia.
HateAid mendukungnya dalam upaya ini. "Kami menanggung semua biaya dan risioko biaya di masa depan dalam kasus ini, karena kebanyakan korban tidak bisa membayangkan menggugat perusahaan besar seperti Google dengan menanggung risikonya sendiri," jelas direktur pelaksana HateAid, Josephine Ballon dalam wawancara dengan DW.
Ia berharap akan ada putusan penting dari pengadilan yang mewajibkan Google secara hukum menghapus gambar secara permanen dari hasil pencarian, bahkan jika gambar tersebut diunggah ulang di tempat lain.
Apa yang dapat dituntut dari Google terkait perlindungan data?
Pakar perlindungan data dan pakar informatika, Marit Hansen, mengatakan kepada DW: "Sebelas tahun yang lalu, Mahkamah Eropa mengukir sejarah perlindungan data dengan putusan bersejarah mengenai ‘hak untuk dilupakan'.
Putusan tersebut menjadi fondasi kasus ini. 'Hak untuk dilupakan' memungkinkan seseorang untuk meminta penghapusan seluruh data pribadi dari hasil pencarian Google, jika persyaratan tertentu terpenuhi.
Hansen, petugas perlindungan data untuk negara bagian Schleswig-Holstein, mengatakan bahwa hal ini sejalan dengan Peraturan Perlindungan Data Umum (GDPR) Uni Eropa dan hak fundamental atas perlindungan data bahwa penggunaan data pribadi tetap dapat dikontrol – dan oleh karena itu, "tidak mengherankan jika hal ini memberi kewajiban bagi penyedia mesin pencarian global untuk menghapus konten bermasalah. Namun, sejauh mana kewajiban tersebut diberlakukan khususnya terkait gambar masih perlu diputuskan otoritas terkait.”
Menurut Hansen, menyaring gambar dari hasil pencarian secara teknis cukup mudah jika gambarnya identik dengan data aslinya. Namun hal tersebut akan lebih rumit jika gambar tersebut sangat mirip dengan sedikit perbedaan dengan pemotongan atau modifikasi dengan bantuan AI.
Hansen menjelaskan bahwa hal ini terkait dengan teknologi 'pencarian gambar terbalik' yang digunakan berbagai penyedia, termasuk Google. Teknologi ini yang sering berhasil tapi tidak 100% akurat dan kadang hasilnya salah.
Oleh karena itu, para penyedia mesin pencarian bisa berargumen bahwa teknologi yang ada saat ini belum cukup akurat untuk memfilter gambar-gambar yang sangat mirip. Namun secara prinsip,platform seperti Google tetap harus bertanggung jawab. Hingga kini Google belum menanggapi permintaan wawancara dari DW terkait kasus ini.
"Google mendapat untung dari kekerasan seksual terhadap perempuan"
HateAid melihat kasus Laura bukan hanya sebagai contoh masalah perlindungan data dan privasi di internet, tetapi juga masalah kekerasan seksual berbasis gambar terhadap perempuan. Perusahaan seperti Google memperoleh keuntungan dari hal tersebut. "Mesin pencari membuat konten diakses khalayak luas dan mendapatkan keuntungan dari ‘lalu lintasnya'," kata Ballon.
Itu sebabnya HateAid mendukung gugatan Laura dengan sebuah kampanye: Foto telanjang kami #NotYourBusiness (BukanUrusanMu). Ballon lebih lanjut menjelaskan, "Perempuan sering mengalami penyalahgunaan foto-foto intim. Atau foto dan video palsu dibuat dengan bantuan AI – saat ini, foto profil LinkedIn bahkan dapat digunakan untuk itu. Ini adalah masalah yang memengaruhi masyarakat secara luas, dan terus berkembang, kami melihat hal ini dalam layanan konseling kami untuk para korban."
Siapa saja bisa jadi korban
Fenomena kekerasan seksual berbasis gambar bisa menimpa siapa saja, bukan hanya kaum selebiriti. Contohnya, kasus "Celebgate” di tahun 2014 di mana foto pribadi banyak artis perempuan diretas dan disebarkan secara online. Belakangan, muncul juga konten deepfake selebriti terkenal seperti Taylor Swift atau politisi yang kini menjadi Perdana Menteri Italia, Giorgia Meloni. Tetapi, kasus yang menimpa Laura menunjukkan bahwa siapun bisa menjadi korban, meskipun mereka bukan figur publik.
Gugatan yang diajukan Laura tidak hanya menuntut perlindungan privasi dari Google, tapi juga mendorong agar pembuatan konten deepfake tanpa izin untuk dipidanakan. Tujuannya agar korban tidak selamanya mencari dan meminta penghapusan gambar mereka secara manual. "Tanpa hak ini, sepanjang hayatnya, mereka harus mencari dan menghapus gambarnya di internet - ini adalah beban psikologis yang sangat berat,” kata Ballon.
Artikel ini pertama kali terbit dalam bahasa Jerman
Diadaptasi oleh Sorta Caroline
Editor: Rizky Nugraha