Perempuan Migran Dukung Konstitusi
10 Juni 2012Sunay Capkan (kiri dalam gambar), yang biasanya kalem, berapi-api jika orang menanyakan pendapatnya soal kaum Salafiyah. Ketika kaum Islam radikal itu membagi-bagikan Al Quran di berbagai kota Jerman April lalu, Capkan marah besar. "Saya hampir tidak percaya itu terjadi. Masyarakat Jerman sudah tidak sadar lagi! Kita harus melakukan sesuatu. Kita bagi-bagikan buku konstitusi. Karena buku ini adalah buku terpenting untuk masyarakat. Hanya dengan konstitusi kita bisa mencapai hidup bersama yang damai dan demokratis. Akitab atau Al Quran boleh dimiliki setiap individu di rumah, tetapi kita semua harus berpegang pada konstitusi."
"Sikap Keagamaan Yang Berlebihan Mengesalkan"
"Kita". Yang dimaksud Sunay Capkan adalah perkumpulan perempuan progresif di Frankfurt yang menamakan diri, Frankfurter Initiative Progressiver Frauen. Mereka adalah 160 perempuan berpendidikan, sukses dan mandiri yang memiliki latar belakang imigran, dan satu tujuan bersama. Mereka tidak ingin terlalu banyak masalah agama didiskusikan di Jerman. "Kita tidak punya masalah agama atau Islamisasi, melainkan masalah sosial dan sosio-ekonomi." Mereka beranggapan, masalah lain, misalnya cara mengurangi kesenjangan pendidikan, harus diketengahkan dalam diskusi umum. Karena, "Sikap keagamaan yang berlebihan mengesalkan kami. Kami ingin mengalihkan perhatian pada persamaan hak, sekularitas dan demokrasi."
Karena dasar demokrasi di Jerman adalah konstitusi, maka Sunay Capkan yang bekerja sebagai konsultan perusahaan, bersama perempuan lainnya yang pakar informatika, insinyur serta dokter mengadakan aksi di pusat kota Frankfurt, Sabtu (09/06). Tujuan mereka: membagi-bagikan 2.000 eksemplar konstitusi Jerman dan mendiskusikan masalah tersebut dengan warga, misalnya apakah agama dan negara harus dipisah secara tegas. Sunay Capkan dan rekan-rekannya menuntut penyebaran sekularisme. Mereka juga menentang pendidikan imam di Jerman, yang dibiayai dengan dana dari pajak.
Menghapus Pandangan Umum atas Warga Migran
Para perempuan dari Frankfurt itu ingin menghapus pandangan umum warga tentang perempuan migran, yaitu mengenakan jilbab, tidak berpendidikan dan tergantung pada suami. "Kami adalah contoh jelas bagi integrasi yang berhasil," tukas Sunay Capkan sambil tersenyum. Ia datang dari Turki ketika berumur 10 tahun. Ayahnya bekerja sebagai penjahit. "Sebuah keluarga tidak berpendidikan tinggi, tetapi mendorong saya untuk menimba ilmu setinggi mungkin," begitu gambaran Capkan tentang keluarganya. 35 tahun kemudian, ia menjadi konsultan perusahaan dan manajer. Ia punya dua anak perempuan, satu di antaranya dibesarkannya sendirian, "Karena suami saya, orang Turki, meninggalkan saya."
Zeliha Dikmen juga punya jalan hidup yang mengagumkan bagi orang Jerman. Ia datang dari Turki ketika berusia delapan tahun. Ayahnya seorang buruh, dan ibunya menjadi pembantu di dapur. "Itulah rupa klasik keluarga pekerja asing," tutur Dikmen. Sekarang ia jadi pakar informatika, mempunya dua anak yang sudah dewasa dan pekerjaan yang baik. "Kami ingin jadi panutan bagi perempuan muda berlatar belakang migran. Kami ingin menunjukkan, bahwa mereka harus mandiri dari segi keuangan, bahwa menentukan hidup sendiri bisa dilakukan, dan bahwa pendidikan menjadi kunci itu semua," demikian dijelaskan Zeliah Dikmen. Oleh sebab itu, 160 perempuan yang tergabung dalam inisiatif itu juga bekerja sebagai mentor bagi perempuan muda dari keluarga migran.
Aksi Serupa di Pforzheim
Aksi para perempuan warga Frankfurt itu tidak baru lagi. Sekitar sebulan lalu, anggota parlemen dari Partai Hijau, Memet Kilic yang keturunan Turki membagi-bagikan buku konstitusi di pusat kota Pforzheim. Ia juga menggunakannya sebagai reaksi terhadap diskusi tentang aksi kaum Salafiyah. "Saya khawatir, gambaran yang salah akan terwujud. Karena sebagian besar warga muslim bukan ekstrimis."
Dalam waktu dua jam, Kilic membagikan 350 eksemplar dan berdiskusi dengan banyak orang. Topik-topiknya mirip, seperti sasaran Sunay Capkan dan rekan-rekannya. "Dari banyak perempuan saya mendapat pertanyaan tentang persamaan hak antara pria dan perempuan," papar Kilic. Reaksi-reaksi yang diperolehnya positif. "Orang Jerman terkesan, bahwa ada orang berlatar belakang migran yang mendukung konstitusi Jerman. Dan warga muslim lega, karena warga Jerman tahu, bahwa kami warga muslim juga turun ke jalan untuk konstitusi kami dan membela dasar hukum yang bebas dan demokratis." Ketika itu Memet Kilic berharap, aksinya ditiru di tempat lain. Sekarang aksi sama ada di Frankfurt. Yang melaksanakan perempuan.
Miriam Klaussner / Marjory Linardy