Di bawah kekuasaan otoriter Suharto pada sebuah era yang disebut Orde Baru, berbicara mengenai peristiwa pembantaian 1965/1966 bisa berakibat seseorang dijebloskan ke penjara. Oleh Hendra Pasuhuk.
Iklan
Ada masanya ketika hanya satu versi cerita tentang tahun 1965/1966 yang boleh diceritakan kepada publik di Indonesia. Siapa yang melanggar prinsip itu, akan berhadapan dengan tentara, para intel dan kemungkinan besar para interogator aparat keamanan yang sudah dilatih untuk menyiksa dan mematahkan "perlawanan" tawanannya.
Sekarang, 50 tahun setelah peristiwa hitam dan gelap dalam sejarah kemanusiaan dan perjalanan bangsa dan negara Republik Indonesia itu, terbuka ruang untuk membicarakannya.
Lalu, apa yang bisa kita lakukan..?
Kita, pertama-tama adalah kami, DW Indonesia. Sebagai media Jerman yang berbahasa Indonesia, DW tentu tak lepas dari "latar belakang Jerman"-nya. Di negara ini juga pernah terjadi kejahatan kemanusiaan yang begitu mengerikan. Sekarang, di sekolah-sekolah kejahatan rejim Nazi selalu diajarkan dan dipelajari bersama. Setiap pimpinan negara dan pemerintahan Jerman, setiap tahun akan meminta maaf atas kekejian yang dilakukan rejim fasis Jerman saat itu.
Kanselir Jerman saat ini, Angela Merkel, yang secara pribadi tidak terkait dengan kejahatan rejim Nazi, juga menundukkan kepala kepada para korban dan mengulang lagi permohonan maaf resmi dari pemerintah, sambil menegaskan: Hal ini tidak boleh terjadi lagi! Jerman harus dan akan bertanggung jawab untuk itu. Itulah salah satu alasan, mengapa DW Indonesia sejak setahun lalu mengangkat tema peristiwa 1965/1966 dalam pemberitaannya. Kejahatan kemanusiaan tidak boleh ditutup-tutupi.
Kita, adalah juga manusia-manusia yang lahir dan dibesarkan di Indonesia. Kita yang punya kaitan dekat dengan Peristiwa 1965, karena peristiwa itu begitu dominan membentuk pandangan politik generasi yang lahir setelahnya. Pertengahan September, DW Indonesia memuat tulisan berjudul "Membuka Tabir Gelap Sejarah Kita" dari Arif Saifudin Yudistira. Artikel itu hingga tulisan ini dibuat sudah dibaca lebih 12.000 orang. Ketika di posting di Facebook, tulisan itu dibagikan lebih 200 kali dan mendapat lebih 500 tanggapan hari itu juga.
Dengan 700 ribu "fans" di Facebook, pembaca DW Indonesia tentu hanya irisan kecil dari publik Indonesia. Tapi statistik kami dengan jelas menunjukkan adanya ketertarikan kuat publik di Indonesia yang ingin mengetahui, apa yang sebenarnya terjadi ketika itu.
Suharto - Jalan Darah Menuju Istana
Demi menyingkirkan Soekarno, Suharto menunggangi pergolakan di tanah air dan mengorganisir pembantaian jutaan pendukung PKI. Dia sebenarnya bisa mencegah peristiwa G30S, tetapi memilih diam, lalu memanfaatkannya.
Foto: picture-alliance/dpa
Prajurit Tak Bertuan
Suharto banyak berurusan dengan pemberontakan Darul Islam selama meniti karir militernya. Pasca kemerdekaan ia juga aktif memberantas kelompok kiri di antara pasukannya. Tahun 1959, ia nyaris dipecat oleh Jendral Nasution dan diseret ke mahkamah militer oleh Kolonel Ahmad Yani karena meminta uang kepada perusahaan-perusahaan di Jawa Tengah. Namun karirnya diselamatkan oleh Jendral Gatot Subroto.
Foto: picture alliance/United Archives/WHA
Dua Musuh di Bawah Bayang Soekarno
Seperti banyak prajurit yang lain, Suharto mencurigai kedekatan Soekarno dan pimpinan Partai Komunis Indonesia (dalam gambar D.N. Aidit). Terutama sejak pemberontakan komunis di Madiun 1948, eksistensi PKI sangat bergantung pada dukungan Soekarno. Tanpanya PKI akan lumat oleh tentara. Permusuhan ABRI dan PKI tidak cuma beraroma politis, melainkan juga dipenuhi unsur kebencian.
Foto: picture-alliance/United Archives/TopFoto
Bibit Perpecahan
Suharto sibuk membenahi karir ketika permusuhan ABRI dan PKI mulai memanas. Buat mencegah PKI memenangkan pemilu dan menguasai pemerintahan, ABRI yang saat itu dipimpin duet Ahmad Yani dan A.H. Nasution mengajukan mosi menjadikan Soekarno sebagai presiden seumur hidup. Saat itu, konstelasi politik sudah mulai bergeser: Soekarno tidak lagi melihat ABRI sebagai sekutu utamanya, melainkan PKI.
Foto: AFP/Getty Images
Berkaca Pada Tiongkok
Meniru gerakan kaum komunis di Tiongkok, PKI berupaya memperluas kuasa dengan niat mempersenjatai petani dan praktik land reform. Soekarno menyetujui yang kedua dengan mengesahkan UU Pokok Agraria 1960. Tiga tahun kemudian, PKI melakukan aksi sepihak dengan merebut tanah milik para Kyai di Jawa dan membagikannya pada petani miskin. Langkah itu menciptakan musuh baru buat PKI, yakni kelompok Islam.
Foto: AP
Sikap Diam Suharto
Enam jam sebelum peristiwa G30S, Kolonel Abdul Latief mendatangi Soeharto buat mengabarkan perihal rencana Cakrabirawa menculik tujuh Jendral. Latief saat itu mengira, Suharto adalah loyalis Soekarno dan akan memberikan dukungan. Kesaksian Latief menyebut, Suharto cuma berdiam diri. Setelah peristiwa penculikan jendral, Suharto yang menjabat Panglima Kostrad lalu mengambil alih komando ABRI.
Foto: picture-alliance/dpa
Kehancuran PKI, Kebangkitan Suharto
Pada 30 September, pasukan pengamanan Presiden, Cakrabirawa, mengeksekusi tujuh dari 11 pimpinan ABRI yang diduga kuat ingin mengkudeta Soekarno. Suharto lalu memerintahkan pembubaran PKI dan penangkapan orang-orang yang terlibat. Letnan Kolonel Untung, komandan Cakrabirawa yang sebenarnya kenalan dekat Suharto dan ikut dalam operasi pembebasan Irian Barat, ditangkap, diadili dan dieksekusi.
Foto: AP
Demo dan Propaganda
Pergerakan Suharto setelah G30S semata-mata diniatkan demi melucuti kekuasaan Soekarno. Ia antara lain mengirimkan prajurit RPKAD buat menguasai Jakarta, termasuk Istana Negara. Panglima Kostrad itu juga lihai menunggangi sikap antipati mahasiswa terhadap Sukarno yang dimabuk kuasa. Saat Soekarno bimbang ihwal keterlibatan PKI dalam G30S, mahasiswa turun ke jalan menuntutnya mundur dari jabatan.
Foto: Getty Images/C. Goldstein
Malam Pogrom, Tahun Kebiadaban
Di tengah aksi demonstrasi mahasiswa di Jakarta, ABRI memobilisasi kekuatan buat memusnahkan pendukung PKI di Jawa dan Bali. Dengan memanfaatkan kebencian kaum santri dan kelompok nasionalis, tentara mengorganisir pembunuhan massal. Jumlah korban hingga kini tidak jelas. Pakar sejarah menyebut antara 500.000 hingga tiga juta orang tewas. Tidak semuanya simpatisan PKI.
Foto: Carol Goldstein/Keystone/Getty Images
Eksekusi Disusul Eksodus
Selain menangkap dan mengeksekusi, massa dikerahkan menghancurkan toko-toko, kantor dan rumah milik mereka yang diduga pendukung komunis. Sebagian yang mampu, memilih untuk mengungsi ke luar negeri. Termasuk di antaranya Sobron, adik kandung pimpinan PKI D.N. Aidit yang hijrah ke Tiongkok dan lalu ke Perancis dan bermukim di sana hingga wafat tahun 2007.
Foto: Carol Goldstein/Keystone/Getty Images
Kelahiran Orde Baru
Setelah peristiwa G30S, Suharto yang notabene telah menjadi orang nomor satu di kalangan militer, membiarkan Soekarno berada di jabatannya, sembari menata peralihan kekuasaan. Selama 18 bulan, Suharto menyingkirkan semua loyalis Soekarno dari tubuh ABRI, menggandeng parlemen, mahasiswa dan kekuatan Islam, serta mengakhiri konfrontasi Malaysia. Kekuasaan Soekarno berakhir resmi di tangan MPRS.
Foto: DW
10 foto1 | 10
Tentu saja, pro dan kontra juga sangat banyak. Dan hingga kini, belum ada yang tau pasti, apa yang sebenarnya terjadi pada hari-hari sekitar 30 September 1965. Mungkin saja, semuanya tidak akan pernah terungkap. Di lain pihak, ketakutan dan fobia terhadap tiga huruf P-K-I masih begitu besar di kalangan masyarakat, seperti yang berulangkali terlihat dari reaksi publik di Indonesia.
Memperingati 50 Tahun Peristiwa 1965/1966, kami mengumpulkan sejumlah opini dan tulisan dari berbagai sudut pandang. Bahwa semua tulisan ini bernada kritis terhadap rejim Suharto, adalah bentuk dari upaya mencapai keseimbangan informasi. Sebab selama puluhan tahun, Suharto dan rejimnya hanya mengijinkan suara dan narasi mereka sendiri tentang peristiwa mengerikan ini. Kinilah saatnya suara-suara lain muncul, agar publik bisa menarik kesimpulannya sendiri.