Seminar tentang Pembantaian 1965 di Indonesia mengemukakan berbagai aspek baru. Tahun 2015 bisa menjadi tahun yang menentukan bagi pengusutan terhadap berbagai kasus pelanggaran HAM berat.
Iklan
Mantan Menteri Bantuan Pembangunan Belanda Jan Pronk mengungkapkan, mengapa Belanda lebih banyak memilih diam terkait kasus kejahatan kemanusiaan yang terjadi di Indonesia tahun 1965. Sebagai negara bekas penjajah, Belanda ingin tampil hati-hati dan menjaga kepentingan bisnis dan investasinya yang cukup besar di wilayah Indonesia.
Ratusan ribu warga Indonesia yang dituduh terlibat Partai Komunis Indonesia (PKI) ketika itu dibunuh. Pada tahun-tahun selanjutnya, simpatisan dan anggota keluarganya diasingkan dan distigmatisasi. Jumlah korban Peristiwa 1965 tidak diketahui jelas, karena pengusutan tentang itu menjadi hal tabu selama pemerintahan Orde Baru di bawah kepemimpinan Suharto.
Propaganda dan agitasi Orde Baru selama puluhan tahun tentang kekejaman PKI dan organisasi-organisasi yang berafiliasi dengan partai politik itu masih mencekam hingga saat ini. Yayasan IPT1965 ingin menguak tabu dan tabir yang menyelimuti malapetaka kemanusiaan itu dengan serangkaian acara dan publikasi di dalam dan di luar negeri.
Masalah Sensitif
Professor Saskia Wieringa dalam acara hari Jumat 10 April di Den Haag itu mengakui, tema ini adalah isu yang sangat sensitif di Indonesia. Hal itu juga disampaikan Jan Pronk, yang mengatakan, Belanda juga melakukan kejahatan perang di Indonesia.
Gerry van Klinken, peneliti dari Universitas Leiden, menerangkan bahwa peristiwa 1965 bukan hanya suatu "kejahatan militer" atas warga seperti yang selama ini sering digambarkan. "Peristiwa ini adalah indikasi, bahwa ketika itu terjadi perpecahan besar dalam masyarakat," kata Gerry.
Sebab bukan hanya tentara, melainkan juga kelompok-kelompok agama, baik Islam maupun Kristen, terlibat dalam aksi pembunuhan massal.
Pengacara dan pengamat hukum Todung Mulya Lubis mengakui, masih tidak mungkin memulai proses hukum terhadap peristiwa 1965 di Indonesia. Sebab kekuatan-kekuatan Orde Baru masih punya pengaruh sangat besar. "Tapi ini harus menjadi agenda utama pemerintahan Jokowi," kata Todung. Hanya dengan itu, terbuka jalan untuk pengusutan kasus-kasus pelanggaran HAM berat lain, seperti Tanjung Priok, Talangsari, Aceh, Timor Timur, Papua, dan pembunuhan aktivis HAM Munir.
Suharto - Jalan Darah Menuju Istana
Demi menyingkirkan Soekarno, Suharto menunggangi pergolakan di tanah air dan mengorganisir pembantaian jutaan pendukung PKI. Dia sebenarnya bisa mencegah peristiwa G30S, tetapi memilih diam, lalu memanfaatkannya.
Foto: picture-alliance/dpa
Prajurit Tak Bertuan
Suharto banyak berurusan dengan pemberontakan Darul Islam selama meniti karir militernya. Pasca kemerdekaan ia juga aktif memberantas kelompok kiri di antara pasukannya. Tahun 1959, ia nyaris dipecat oleh Jendral Nasution dan diseret ke mahkamah militer oleh Kolonel Ahmad Yani karena meminta uang kepada perusahaan-perusahaan di Jawa Tengah. Namun karirnya diselamatkan oleh Jendral Gatot Subroto.
Foto: picture alliance/United Archives/WHA
Dua Musuh di Bawah Bayang Soekarno
Seperti banyak prajurit yang lain, Suharto mencurigai kedekatan Soekarno dan pimpinan Partai Komunis Indonesia (dalam gambar D.N. Aidit). Terutama sejak pemberontakan komunis di Madiun 1948, eksistensi PKI sangat bergantung pada dukungan Soekarno. Tanpanya PKI akan lumat oleh tentara. Permusuhan ABRI dan PKI tidak cuma beraroma politis, melainkan juga dipenuhi unsur kebencian.
Foto: picture-alliance/United Archives/TopFoto
Bibit Perpecahan
Suharto sibuk membenahi karir ketika permusuhan ABRI dan PKI mulai memanas. Buat mencegah PKI memenangkan pemilu dan menguasai pemerintahan, ABRI yang saat itu dipimpin duet Ahmad Yani dan A.H. Nasution mengajukan mosi menjadikan Soekarno sebagai presiden seumur hidup. Saat itu, konstelasi politik sudah mulai bergeser: Soekarno tidak lagi melihat ABRI sebagai sekutu utamanya, melainkan PKI.
Foto: AFP/Getty Images
Berkaca Pada Tiongkok
Meniru gerakan kaum komunis di Tiongkok, PKI berupaya memperluas kuasa dengan niat mempersenjatai petani dan praktik land reform. Soekarno menyetujui yang kedua dengan mengesahkan UU Pokok Agraria 1960. Tiga tahun kemudian, PKI melakukan aksi sepihak dengan merebut tanah milik para Kyai di Jawa dan membagikannya pada petani miskin. Langkah itu menciptakan musuh baru buat PKI, yakni kelompok Islam.
Foto: AP
Sikap Diam Suharto
Enam jam sebelum peristiwa G30S, Kolonel Abdul Latief mendatangi Soeharto buat mengabarkan perihal rencana Cakrabirawa menculik tujuh Jendral. Latief saat itu mengira, Suharto adalah loyalis Soekarno dan akan memberikan dukungan. Kesaksian Latief menyebut, Suharto cuma berdiam diri. Setelah peristiwa penculikan jendral, Suharto yang menjabat Panglima Kostrad lalu mengambil alih komando ABRI.
Foto: picture-alliance/dpa
Kehancuran PKI, Kebangkitan Suharto
Pada 30 September, pasukan pengamanan Presiden, Cakrabirawa, mengeksekusi tujuh dari 11 pimpinan ABRI yang diduga kuat ingin mengkudeta Soekarno. Suharto lalu memerintahkan pembubaran PKI dan penangkapan orang-orang yang terlibat. Letnan Kolonel Untung, komandan Cakrabirawa yang sebenarnya kenalan dekat Suharto dan ikut dalam operasi pembebasan Irian Barat, ditangkap, diadili dan dieksekusi.
Foto: AP
Demo dan Propaganda
Pergerakan Suharto setelah G30S semata-mata diniatkan demi melucuti kekuasaan Soekarno. Ia antara lain mengirimkan prajurit RPKAD buat menguasai Jakarta, termasuk Istana Negara. Panglima Kostrad itu juga lihai menunggangi sikap antipati mahasiswa terhadap Sukarno yang dimabuk kuasa. Saat Soekarno bimbang ihwal keterlibatan PKI dalam G30S, mahasiswa turun ke jalan menuntutnya mundur dari jabatan.
Foto: Getty Images/C. Goldstein
Malam Pogrom, Tahun Kebiadaban
Di tengah aksi demonstrasi mahasiswa di Jakarta, ABRI memobilisasi kekuatan buat memusnahkan pendukung PKI di Jawa dan Bali. Dengan memanfaatkan kebencian kaum santri dan kelompok nasionalis, tentara mengorganisir pembunuhan massal. Jumlah korban hingga kini tidak jelas. Pakar sejarah menyebut antara 500.000 hingga tiga juta orang tewas. Tidak semuanya simpatisan PKI.
Foto: Carol Goldstein/Keystone/Getty Images
Eksekusi Disusul Eksodus
Selain menangkap dan mengeksekusi, massa dikerahkan menghancurkan toko-toko, kantor dan rumah milik mereka yang diduga pendukung komunis. Sebagian yang mampu, memilih untuk mengungsi ke luar negeri. Termasuk di antaranya Sobron, adik kandung pimpinan PKI D.N. Aidit yang hijrah ke Tiongkok dan lalu ke Perancis dan bermukim di sana hingga wafat tahun 2007.
Foto: Carol Goldstein/Keystone/Getty Images
Kelahiran Orde Baru
Setelah peristiwa G30S, Suharto yang notabene telah menjadi orang nomor satu di kalangan militer, membiarkan Soekarno berada di jabatannya, sembari menata peralihan kekuasaan. Selama 18 bulan, Suharto menyingkirkan semua loyalis Soekarno dari tubuh ABRI, menggandeng parlemen, mahasiswa dan kekuatan Islam, serta mengakhiri konfrontasi Malaysia. Kekuasaan Soekarno berakhir resmi di tangan MPRS.
Foto: DW
10 foto1 | 10
Belajar dari negara lain
Jan Pronk menyarankan agar Indonesia belajar dari negara-negara lain untuk menuntaskan peristiwa pembantaian 1965, misalnya dari kasus Rwanda. Dia juga mengingatkan, bahwa ketika itu banyak negara-negara blok Barat yang berkepentingan meredam kegiatan komunisme di Indonesia dan menghentikan Soekarno yang mereka anggap cenderung mendukung blok kiri dan sosialis.
Nursyahbani Katjasungkana SH, salah satu koordinator IPT1965, mengakui bahwa tidak mudah mengangkat isu pembantaian 1965 ke publik. Ketika acara rilis situs www.ipt165.org dilangsungkan di Jakarta, panitia mengundang berbagai media untuk meliput. Wartawan-wartawan memang datang ke acara itu, tapi tidak ada berita yang turun, kata dia. Malah detikcom menurunkan berita tentang IPT1965 dari Belanda, bukan dari Jakarta.
Sejauh ini memang hanya beberapa media saja yang menurunkan berita tentang kegiatan IPT1965, antara lain Deutsche Welle (DW), Detikcom, Tempo Interaktif. Poskota News menurunkan laporan tentang seminar di Den Haag dengan mengutip pemberitaan DW.
Todung Mulya Lubis mengakui, isu 1965 memang bukan isu seksi bagi media seperti isu korupsi. Dia mengaku agak pesimis, situasinya akan bisa berubah dalam jangka pendek.
Sebab Komnas HAM sendiri tahun 2012 sudah merampungkan laporan lengkap dengan data-datanya tentang peristiwa 1965, disertai berbagai rekomendasi. laporan itu adalah hasil kerja penyelidikan selama 4 tahun, sebagaimana diamanatkan oleh UU No. 26 tahun 2000 tentang Pengadilan HAM. Tapi sampai sekarang, tidak ada tindak lanjut dari pemerintah.