1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
KesehatanIndonesia

Perjanjian Pandemi WHO, Dapatkah Menggapai Ranah Lokal?

Sorta Caroline
22 April 2025

WHO mengumumkan rampungnya draf perjanjian penanganan pandemi masa depan, setelah tiga tahun proses negosiasi. Apa kata pakar terkait implementasi perjanjian tersebut di Indonesia?

Prof Wiku Adisasmito, Guru Besar Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia
Prof Wiku Adisasmito, Guru Besar Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas IndonesiaFoto: privat

Ditengah polarisasi dunia, Perjanjian Pandemi WHO ini menjadi harapan hidupnya multilateralisme, menunjukkan bahwa 194 negara-negara anggotanya masih dapat bekerja sama menghadapi tantangan global dengan lebih terorganisir.

Hal penting yang dibahas dalam perjanjian tersebut terkait pencegahan dan pengawasan pandemi, pendekatan one health, transfer teknologi, serta akses pembagian data patogen yang disertai sistem pembagian manfaat.

Prof. drh. Wiku Bakti Bawono Adisasmito, M.Sc., Ph.D., adalah Guru Besar Fakultas Kesehatan Masyarakat dari Universitas Indonesia yang juga merupakan salah satu delegator perundingan Perjanjian Penanganan Pandemi WHO. Sosok yang terjun langsung dalam penanganan COVID-19 di Indonesia ditunjuk sebagai juru bicara pemerintah hingga memimpin tim pakar satgas Covid-19. Kepada DW Indonesia, Prof Wiku membagikan pandangannya.

Bagaimana respon Prof. Wiku terkait draf perjanjian pandemi WHO yang baru saja rampung tersebut?

Perjanjian pandemi WHO ini penting, pencapaian besar dunia global, meski implementasinya masih akan menghadapi banyak tantangan dan rintangan. Untuk mendetilkan operasional perjanjian ini, menuangkannya dalam annex (lampiran) perjanjian tersebut, butuh waktu lama.

Berdasarkan pengalaman Prof. dalam penanganan COVID-19 di Indonesia, apa saja tantangan implementasi perjanjian ini di Indonesia?

‘Nyawa' perjanjian ini utamanya di pasal 4 - Pandemic prevention and surveillance (pencegahan pandemi dan pengawasan), pasal 5 - One Health Approach to Pandemic Prevention, preparedness and response (pendekatan one health untuk pencegahan pandemi, kesiapan, dan respon), serta pasal 12 - WHO Pathogen Access and Benefit-Sharing System - PABS System (akses patogen dan sistem pembagian manfaat WHO).

Pada saat melakukan (implementasi) ketiga pasal inti tersebut, sektor yang terlibat tidak hanya sektor kesehatan masyarakat, tapi juga sektor kesehatan hewan dan lingkungan.

Patogen sebenarnya zoonosis atau berasal dari hewan, dan surveillance (pengawasan) tidak hanya dilakukan oleh kementerian sektor kesehatan masyarakat, tapi juga melibatkan sektor peternakan, dan kesehatan hewan yang berada di bawah komando kementerian pertanian, pembagian sektor ini bisa berbeda-beda di tiap negara.

Prof. Wiku Adisasmito menjadi jubir pemerintah untuk penanganan Covid-19 dan ketua pakar satgas Covid-19Foto: privat

Lantas bagaimana melakukan surveillance dan meminta data pada representasi negara di WHO, namun tidak melibatkan kementerian pertanian, kementerian kehutanan mereka? Kementrian pertanian dan kehutanan sebenarnya sudah memiliki kesepakatan tersendiri, contohnya Protokol Nagoya yang dihasilkan dari Convention on Biological Diversity. Protokol Nagoya ini adalah kerangka acuan akses sumber daya genetik dan pembagian manfaat.

Harmonisasi antar lembaga PBB seperti WHO dengan FAO (Organisasi Pangan dan Pertanian Dunia) dan WOAH (Organisasi Kesehatan Hewan Dunia) penting sekali untuk implementasi perjanjian ini, tapi belum dilakukan dengan baik oleh WHO. Perjanjian ini tidak hanya soal kesehatan manusia tapi juga melibatkan sektor lain seperti kesehatan hewan dan lingkungan.

Harmonisasi ini di level negara anggota WHO pun banyak tantangannya - bagaimana teknis penerapan data sharing di lapangan dan tata kelolanya. Distrik, sub distrik negara-negara di seluruh dunia ini jumlahnya jutaan tapi belum terkoneksi dengan komitmen global.

Ada ‘jurang’ yang begitu besar antara global, regional, dan lokal. Yang paling penting sebenarnya adalah sektor lokal yang harusnya terharmonisasi atau terhubung dulu.

Perjanjian Pandemi WHO ini masih jauh dari implementasi yang efektif di seluruh dunia.

Mungkin di level international, WHO atau WOAH (Organisasi Kesehatan Hewan Dunia) mereka sepakat. Tapi kalau di level lokal tidak sepakat itu tidak akan jalan.

Bisa Prof. jelaskan lebih detil terkait kesulitan implementasi perjanjian ini di ranah lokal?

Butuh waktu lama untuk menjadikan perjanjian ini disepakati tiap negara - karena tiap negara itu tata kelolanya berbeda-beda. 
Di ranah global ada WHO, di ranah nasional ada kemenkes, di ranah provinsi ada dinas kesehatan provinsi, di kabupaten namanya sama dinas kesehatan kabupaten/kota. Namun jika kita bicara FAO (Food Agriculture Organisation) dan WOAH (World Organisation for Animal Health) secara global, di ranah nasional namanya menjadi Kementerian Pangan dan Kementerian Pertanian. 

Di Kementerian Pertanian terdapat direktorat jendral peternakan dan kesehatan hewan dan jika direktorat ini diturunkan ke 38 provinsi di Indonesia, dinasnya di provinsi menjadi bervariasi. Dinas peternakan dan kesehatan hewan bukan bagian dari dinas kesehatan, tetapi bagian dinas pertanian dan kelautan, atau bisa juga dinas perkebunan dan kesehatan hewan. 11 Provinsi saja sudah bervariasi dinasnya. Variasi ini berdampak pada ranah kewenangan. 

Kalau di 514 kabupaten kota di seluruh indonesia ada 59 variasi dinas yang membidangi peternakan dan kesehatan hewan. Bagaimana WHO, FAO, dan WOAH bisa terkoneksi dengan baik ke tingkat distrik lokal ini dan memastikan pengawasan berjalan sama? Juga bagaimana mereka sepakat dengan protokol yang sama?

Realitanya, sektor di level lokal tidak terkoneksi dan tidak ada koneksi yang baik (ada koneksi tapi tidak baik) antara pusat dengan daerah, hal ini terjadi di seluruh dunia.

Sebagai contoh, di NTT saya menangani kasus Rabies, dari gigitan anjing dan puluhan manusia jadi korbannya. Tapi penanganan kasus ini terpisah-pisah antar sektor. Sulit penanganannya jika tidak ada kesatuan data. Ini tidak sekedar vaksin hewan lantas selesai. Kita perlu data lengkapnya, berapa jumlah hewan yang terjangkit virus, berapa jumlah hewan yang telah divaksinasi, berapa jumlah manusia yang digigit dan terjangkit virus ini. Dengan data yang komprehensif jadi kita bisa meredam penyebaran virus ini.

Sebenarnya bisa kita mengusahakan sistem one health (keterkaitan kesehatan manusia-hewan, dan lingkungan) dalam satu database. saya telah mencoba menghubungkan sektor terkait di NTT dan setelah sebulan, akhirnya terbentuklah kesatuan data yang tiap harinya bisa diperbarui tiap oleh tiap sektor terkait disana.

Adakah cara atau metode untuk membantu data sharing ini di ranah lokal?

Bukan soal metode, yang penting adalah willingness to share (keinginan untuk berbagi). Pendekatan One Health disini berarti terkoneksi- adanya kesatuan lintas sektor. Pendekatan One health ini umurnya baru berapa tahun, sedangkan sektor-sektor ini telah berjalan puluhan tahun. 
Para petugas di ranah lokal, tidak memiliki kewajiban untuk sharing data. Belum ada aturan yang mengharuskan hal tersebut. Adanya desentralisasi membuat sektor lokal membagikan data hanya ke top level of governance, yang dalam hal ini kementerian dalam negeri, belum secara lintas sektor.  Aturannya harus diperbaiki.

Kemenkes dan WHO sendiri belum membahas isu politik and governance pada level lokal dalam perundingannya, padahal jika dibicarakan di forum negosiasi mungkin akan ditemukan jalan keluar, sehingga data sharing dapat dilakukan. Jika tidak ada benefit sharing (pembagian manfaat) untuk apa melakukan pengawasan yang membutuhkan anggaran besar? Mekanisme benefit sharing masih perlu didetilkan lagi dalam annex (lampirannya).

Cegah Penyebaran Virus dengan Mendeteksi dari Air Limbah

04:23

This browser does not support the video element.

Jadi menurut Prof. saat pengajuan draf perjanjian kepada World Health Assembly (Majelis Kesehatan Dunia) Mei mendatang, akankah negara-negara anggota lantas akan serempak meneken perjanjian ini?

Jawabannya, bisa ya atau bisa juga tidak. Jika ya berarti negara-negara akan meratifikasi dan menyesuaikan ke hukum nasionalnya, disini perlu waktu lagi untuk adaptasi ke hukum nasional. Bisa juga perjanjian ini fluid, karena negara-negara anggota ingin detil pelaksanaannya diperjelas sebelum menekennya. 
Hal-hal politis di luar perjanjian ini punya pengaruh. AS sendiri telah memutuskan menarik diri dari WHO, karena merasa organisasi ini kurang tegas kapada Cina saat pandemi Covid terjadi. Belum lagi dengan perang dagang US yang tentu berpengaruh pada sektor kesehatan dunia.

Menurut saya, meski masih jauh dari pelaksanaan yang efektif, masih ada harapan perjanjian dapat diterapkan di ranah global hingga lokal, jika WHO melakukan harmonisasi perjanjiannya dengan lembaga PBB lainnya yang terkait dengan perjanjian ini,dan jika di ranah lokal tiap negara data sharing dengan pendekatan One Health ini sudah berjalan. Dengan demikian global dan lokal bisa terhubung.

Pewawancara: Sorta Caroline

Editor: Agus Setiawan