1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
EkonomiJerman

Perjuangan Gen Z Jerman Hadapi Inflasi

23 Mei 2022

Generasi Z menghadapi rekor tingkat inflasi tinggi untuk pertama kalinya dalam hidupnya. Apakah mereka bisa bertahan lebih baik dibandingkan generasi sebelumnya?

Ilustrasi dompet kosong
Ilustrasi dompet kosongFoto: K. Schmitt/Fotostand/imago images

"Saya selalu membayangkan bahwa pada saat mencapai usia ini, saya sudah bisa membeli mobil bekas berukuran kecil, jadi saya bisa ke rumah nenek di Bayern dan lebih sering mengunjunginya." Begitulah impian Alia Hudeib, mahasiswa di Berlin berusia 23 tahun.

Dia berharap bisa membeli mobil dengan uang yang ia terima dari pekerjaannya. "Jelas itu tidak akan terwujud dalam waktu dekat," ujar Hudeib kepada DW. Dengan biaya hidup yang terus merangkak naik, Hudeib mengatakan dia harus lebih banyak berkompromi.

Saat ini Hudeib melakukan pelatihan kejuruan di bidang administrasi kesehatan dan menerima tunjangan bulanan sekitar €600 atau sekitar Rp9,2 juta. Untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, dia juga bekerja paruh waktu di sebuah kafe.

"Penghasilan saya tidak cukup untuk membeli jenis makanan yang saya inginkan, seperti makanan organik yang sehat dari produsen lokal," katanya. "Dengan harga seperti sekarang ini, orang seperti saya harus memilih produk yang termurah di supermarket."

Di Jerman, inflasi telah mencapai level tertinggi dalam beberapa dekade. Data Organisasi Buruh Internasional (ILO) menunjukkan bahwa tingkat inflasi di seluruh dunia pada Maret 2022 hampir tiga kali lipat sejak tahun sebelumnya. Dimulai dari macetnya rantai pasokan akibat pandemi virus corona, kini perang di Ukraina kini telah mendorong lonjakan harga barang-barang pokok, seperti bahan bakar dan makanan, ke level yang belum pernah terjadi sebelumnya.

Bagi Gen Z yang berusia 18 hingga 25 tahun, ini adalah kali pertama mereka mengalami kenaikan harga yang begitu cepat dalam hidup mereka. Lantas, bagaimana inflasi berdampak bagi mereka?

Inflasi memukul semua orang, tapi efeknya tidak sama

"Dampak inflasi berbeda pada setiap individu," kata Profesor Enzo Weber, peneliti senior di Institut Penelitian Ketenagakerjaan Jerman (IAB), kepada DW. "Tergantung pada berbagai faktor seperti gaya hidup, kebiasaan konsumsi, dan status keuangan."

Misalnya, penelitian oleh badan internasional seperti Bank Dunia menunjukkan bahwa tingkat inflasi yang tinggi biasanya berdampak lebih besar pada rumah tangga dengan pendapatan lebih rendah. Namun di sisi lain, ini bisa malah menguntungkan para pemilik aset. 

Kelompok usia juga dapat memengaruhi pengaruh inflasi. Dalam tiap level usia memang akan selalu ada individu yang sangat menderita akibat pukulan inflasi, tapi kaum muda pada umumnya lebih fleksibel daripada orang dewasa yang lebih tua. Kondisi ini memungkinkan mereka untuk bisa lebih beradaptasi dalam menghadapi pukulan ekonomi.

Muda dan tahan banting

Valerie Lorraine, mahasiswi berusia 24 tahun, baru saja pindah ke apartemen baru di Berlin beberapa minggu lalu. Dia berbagi apartemen dengan dua orang lainnya. "Pemilik apartemen lama, tempat saya dulu tinggal, menaikkan harga sewa flat," katanya kepada DW.

"Saya beruntung menemukan apartemen yang lebih kecil, yang sesuai dengan kantong saya." Banyak teman kuliah Lorraine juga terpaksa kembali tinggal dengan orang tua mereka atau tinggal di tempat yang lebih jauh dari pusat kota, imbuhnya.

"Kebanyakan orang berusia 30 dan 40-an tidak bisa mengurangi pengeluaran seperti yang dilakukan orang-orang muda," kata Profesor Enzo Weber.

"Misalnya, mereka yang sudah berkeluarga tidak dapat dengan mudah pindah ke flat yang lebih murah, atau pindah ke tempat lain untuk mencari pekerjaan dengan gaji yang lebih baik."

Lagipula, "orang-orang muda umunya tinggal di rumah yang lebih kecil, dan mengonsumsi lebih sedikit energi dibandingkan dengan orang paruh baya," kata Weber. "Di beberapa negara seperti Jerman, banyak dari mereka yang tidak punya mobil sehingga dampak langsung kenaikan harga energi tidak terlalu terasa bagi mereka. Pendapatan yang mereka habiskan lebih sedikit untuk energi."

Dalam beberapa bulan terakhir, di negara-negara industri, kekurangan jumlah tenaga kerja saat mulai dibukanya kegiatan bisnis setelah wabah corona telah mendorong kenaikan gaji. Itu berarti orang yang ingin memasuki pasar kerja dapat memilih pekerjaan dengan gaji terbaik, kata Weber. "Utamanya jika Anda ingin mempelajari keterampilan baru dan mencoba pekerjaan baru."

"Jauh lebih mudah bagi seseorang di awal usia 20-an untuk beralih pekerjaan dan mencari pekerjaan yang lebih baik, bila dibandingkan dengan seseorang yang telah menghabiskan satu atau dua dekade dalam karier tertentu," tambahnya.

Bisakah pekerjaan dan gaji lebih selamatkan ekonomi Gen Z?

Pelajar dan lulusan sekolah menengah di negara-negara industri dapat menghadapi inflasi dengan mengurangi sebagian pengeluaran mereka dan menegosiasikan gaji, tapi bukan hanya itu.

Di negara-negara dengan ekonomi yang lebih besar seperti Amerika Serikat dan Uni Eropa, ada keraguan serius tentang apakah kenaikan upah akan cukup dalam mengimbangi kenaikan harga-harga. Menurut data resmi Jerman, upah riil rata-rata atau nilai pembelian dari gaji, telah menurun meskipun ada kenaikan jumlah upah minimum. Data AS menunjukkan pola serupa.

Anggota Gen Z yang lebih tua juga masih menghadapi kerugian yang mereka alami selama pandemi corona. Pandemi yang berlangsung selama dua tahun telah merugikan sebagian besar lulusan muda di seluruh dunia dengan menunda mereka untuk dapat segera memasuki pasar kerja. Dan, memulai bekerja lebih lambat ternyata juga dapat mengurangi penghasilan. Sebuah studi tahun 2017 menemukan bahwa menganggur selama satu bulan pada usia 18-20 menyebabkan hilangnya pendapatan permanen sebesar 2% sepanjang kehidupan kerja seseorang.

"Kita sedang menjalani masa transisi mendasar. Teknologi, pekerjaan, dan syarat-syarat pekerjaan kita berubah," kata Weber. "Ini sama-sama memberikan ancaman dan menawarkan peluang."

"Saran saya kepada orang-orang muda adalah: carilah peluang yang berbeda dan tetaplah berpikiran terbuka," katanya. "Semakin Anda kurang fleksibel, semakin rentan menjadi lebih terpuruk akibat setiap krisis."

ae/yf

Lewatkan bagian berikutnya Topik terkait