1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
Sosial

Aktivisme Kaum Muda Freiburg dalam Aksi Fridays for Future

Pamerdy Atmaja
15 Mei 2020

Aktivitas para remaja ini membuat saya kagum. Tidak ada orang dewasa terlibat, namun dapat merancang aksi, bahkan melobi sampai ke kantor pemerintahan kota. Oleh Pamerdy Atmaja.

Aksi demo ridays for Future di Freiburg, Mei 2019
Foto: privat

Pertengahan bulan Mei hingga Juni di tahun 2019, saya berkesempatan mengunjungi salah satu ikon kota hijau yang dikembangkan di sudut barat daya Jerman dalam rangka melakukan tandem riset bersama Universitas Gadjah Mada (UGM) dan Albert-Ludwigs-Universitat (ALU) di Freiburg, Jerman.

Dalam kesempatan itu saya terlibat dalam aktivisme remaja yang terselenggara oleh gerakan sosial berskala transnasional yakni Fridays for Future. Besar harapan melalui perjalanan singkat ini, saya mampu memahami praktik gerakan sosial di benua biru untuk kali pertama. Tidak ada bayangan sama sekali bagaimanakah sebuah gerakan sosial yang awalnya bermula dari aksi mogok seorang remaja yakni Greta Thunberg. Kemudian aksi itu berdampak ke banyak tempat, salah satunya di Freiburg dan sekitarnya yang terkenal dengan kota hijau sebagai salah satu ikon khas yang yang saya temui saat itu.

Pamerdy AtmajaFoto: privat

Melakukan pengamatan sederhana, keterlibatan pengorganisasian, diselingi  dengan percakapan informal dengan para remaja di seputaran Freiburg, tentunya bukanlah hal yang mudah dan bukan juga merupakan suatu "kewajaran” yang dapat dijumpai dalam sebuah penelitian. Persepsi atas ketidakwajaran ini muncul, karena Jerman adalah negara maju yang memiliki regulasi perlindungan anak, yang juga melindungi privasi anak tanpa orang dewasa harus mengintervensinya terlebih dulu. Sedangkan saya harus meminta izin kepada orang tua dari anak-anak ini apabila ingin mencoba menjalin komunikasi secara formal dengan pertanyaan-pertanyaan yang telah saya siapkan sebelumnya. Sungguh suatu tantangan yang cukup berat, bukan?

Mencoba mendalami aktivisme yang dijalani oleh para remaja, namun tidak dapat bersentuhan secara langsung dengan mereka, khususnya melalui perbincangan yang disusun secara tertata rapi maupun segala niatan yang bermuara pada rasa ingin tahu, perlu kiat tersendiri. Menjadikan alternatif lain yang muncul pada saat itu ialah, mengikuti keseluruhan aktivitas pengorganisasian mereka dan secara tidak langsung ikut pula terlibat. Namun saya hanya mengambil peran sebagai seorang pengamat saja.

Mengikuti Pertemuan Persiapan Aksi

Melampaui bayangan, betapa komunal dan semaraknya aktivitas aksi yang dikemudian saya ikuti untuk beberapa waktu ke depan. Di Freiburg pun saya rupanya mendapatkan keberuntungan. Aktivitas Fridays for Future antara lain berkolaborasi dengan BUND, yakni salah satu organisasi yang bergerak di bidang lingkungan dan konservasi dan dimotori oleh pemuda di sana. Sehingga memberikan akses kepada saya untuk secara langsung bisa hadir di pertemuan atau konsolidasi yang dilakukan anak-anak sekolah dasar hingga menengah di Freiburg untuk membicarakan persiapan aksi yang akan diselenggarakan tanggal 24 Mei 2019.

Perjumpaan di salah satu gedung yang tidak saya ketahui, karena letaknya yang saling berhimpit, mengesankan bahwa rapat Fridays for Future nampak seperti aktivitas rahasia dan diam-diam. Mungkin saja agar dapat menghantarkan para anggotanya untuk menikmati suasana yang kondusif dalam berargumen. Bertempat di suatu ruangan bawah gedung yang diperuntukkan bagi aktivitas diskusi. Beberapa anak yang datang dari Gymnasium—setara dengan sekolah menengah, berkumpul dan urun pendapat mengenai persiapan demonstrasi mereka yang akan diselenggarakan beberapa minggu kemudian.

Aktivitas para remaja ini membuat saya kagum dan takjub. Tidak ada seorang pun yang merupakan orang dewasa, khususnya yang berumur di atas 30 tahun. Namun secara langsung mereka dapat merancang dan melobi bahkan sampai ke kantor pemerintahan kota mereka. Selanjutnya mereka merancang suatu konferensi pers mengenai aksi yang segala kecukupannya berasal dari kesukarelaan warga seputaran kota yang berdonasi, sampai pendanaan setiap kali mereka mengadakan rapat.

Keterbukaan diskusi memberi gambaran kebebasan berpendapat bagi warga dari kalangan anak-anak pun. Hal ini menggunggah hati saya, dengan mencoba memandang kembali bagaimana demokrasi di Indonesia pada saat ini berjalan. Pun beberapa perlakuan musyawarah yang lancar dan tanpa mementingkan emosi, atau yang bisa dikenal sebagai pembicaraan dengan kepala dingin, menjadi salah satu ciri dari sportivitas musyawarah konsolidasi pada saat itu.

Aksi protes Fridays for Future di pusat kota Freiburg, JermanFoto: privat

Tibalah Aksi yang Ditunggu

"Wir sind hier, wir sind laut..,” (Kami di sini, kami lantang…) Teriakan itu terus-menerus menggema dari kumpulan massa di pelataran Synagoge-Platz, pusat keramaian di kota Freiburg. Awalnya saya berpikir, apabila acara ini mungkin hanya diikuti oleh beberapa anak sekolah yang memang sengaja membolos agar bisa keluar kelas semata, ternyata tidak demikian. Kehadiran anak-anak sekolah dan mahasiswa di sana rupanya juga didukung oleh banyak orang dewasa yang ikut datang. Kerumunan massa mencapai ribuan—sekedar perkiraan saya kala itu.

Tadinya saya berpikir skeptis, bahwa aksi massa ini hanya simbolis saja menanggapi isu perubahan iklim yang tidaklah begitu dekat dengan benak orang Indonesia. Rupanya isu ini tidak dianggap remeh oleh banyak orang di Jerman. Ada beberapa tuntutan yang kala itu disampaikan melalui panggung orasi yang terletak dekat dengan salah satu monumen Synagoge di Freiburg.

Pembacaan tuntutan ini dimulai sejak pukul 10 pagi. Hal yang bagi saya luar biasa dan menakjubkan adalah, pada waktu itu hampir keseluruhan peserta aksi datang tepat waktu. Masing-masing peserta aksi pun turut membawa tuntutan mereka dengan poster-psoter sarkastis maupun satiris terhadap pemerintah, misalnya mengenai melelehnya es di kawasan kutub. Mereka juga secara polos mempertanyakan mengenai bagaimanakah masa depan mereka.

Perjalanan mengikuti demonstrasi di kota ini sebenarnya memberikan pengalaman baru dan keterbukaan terhadap pola pikir demonstrasi yang selama ini berada di benak saya. Dimulai dari ketertiban yang dikelola secara tepat selama pelaksanaan sampai tidak adanya penokohan yang bersifat politis. Aksi yang diselenggarakan oleh anak-anak Fridays for Future ini sepatutnya dapat dicontoh di Indonesia, juga dapat diadvokasikan kepada kelompok-kelompok masyarakat yang ingin menyuarakan pendapatnya.

Bagaimana agar aksi-aksi di Indonesia tidak cenderung berstigma anarkis dan berujung rusuh, memang menjadi tantangan tersendiri untuk saat ini. Setidaknya melalui gerakan Fridays for Future ini, yang mungkin dalam beberapa waktu ke depan akan juga berkembang di Indonesia — saya harap demikian. Kiranya gerakan itu mampu mempraktikkan pencanangan isu maupun pengorganisasian yang fokus pada tersampaikannya aspirasi, dengan memperhatikan hak-hak maupun kewajiban sebagai warga negara.

*Pamerdy Atmaja tinggal di Yogyakarta, mahasiswa jurusan Antropologi Budaya di Universitas Gadjah Mada, usai menjalani program tandem riset mengenai aktivisme lingkungan di Freiburg, Jerman, bersama Albert Ludwigs Universitat (ALU)- Freiburg.  Kini sedang dalam masa penulisan tugas akhir.

** DWNesiaBlog menerima kiriman blog tentang pengalaman unik Anda ketika berada di Jerman atau Eropa. Atau untuk orang Jerman, pengalaman unik di Indonesia. Kirimkan tulisan Anda lewat mail ke: dwnesiablog@dw.com. Sertakan 1 foto profil dan dua atau lebih foto untuk ilustrasi. Foto-foto yang dikirim adalah foto buatan sendiri. (hp)