Mana yang lebih penting? Ijazah atau buku nikah? Apakah Anda cukup bisa menerima anak kandung putus sekolah karena menikah di usia dini dan kemudian akan mengalami kehamilan di usia muda?
Iklan
Yang Mulia para hakim konstitusi, pada momen 22 Desember ini saya hanya ingin mengulangi pertanyaan yang tak pernah bisa disampaikan di persidangan. Bagaimana perasaan bapak hakim jika putra putri Anda menikah pada usia ABG? Apakah ada penerimaaan di hati yang terdalam seperti halnya keyakinan Anda ketika menolak Judicial Review, menolak usulan menaikkan usia pernikahan dalam UU No.1 Tahun 1974? Apakah Anda cukup bisa menerima anak kandung yang putus sekolah karena menikah di usia anak dan kemudian akan mengalami kehamilan di usia muda?
Sudah 89 tahun lalu tepatnya22 Desember 1928 Kongres Perempuan pertamamenggaungkan berbagai masalah perempuan ditengah-tengah konsentrasi gerakan nasionalisme dalam merebut kemerdekaan. Soejatien usia 21 tahun, seorang guru muda bersama kawan seperjuangannya berhasil menjadikan kongres sebagai ajang perjuangan gerakan pendidikan perempuan, menentang poligami, mewujudkan emansipasi dan penghapusan perkawinan anak. Semua agenda perjuangannya tetap relevan dan penting hingga kini terutama perkawinan anak perempuan, sebuah masalah krusial dalam situasi Indonesia yang semakin konservatif ini.
Secara khusus perwakilan organisasi Poetri Indonesia (Moegaroemah) memberikan seruan keras dalam kongres pertama dengan menyatakan "maka saya berseru kepada kamu semua, marilah saudara-saudara bersama-sama bekerja dengan daya upaya sekeras-kerasnya melawan perkawinan anak dan menolong saudara-saudara kita yang masih dalam kegelapan” (Susan Blackburn, 2007). Dan kini perkawinan anak di Indonesia justru menempati posisi ke 7 tertinggi sedunia (UNICEF, State of the World's Children, 2016). Kasus demi kasus mengalir setiap hari dalam cerita masyarakat maupun surat kabar. Perkawinan anak kelas 1 dan 2 SMA di Sulawesi Barat, perkawinan remaja usia 13 dan 14 tahun di Bulukumba Sulawesi Selatan, perkawinan anak di Jawa Barat, Nusa Tenggara Barat dan berbagai wilayah lainnya.
Pernikahan Anak di Asia
Pernikahan anak mewabah di Asia Selatan kendati dinyatakan ilegal oleh Undang-undang. Kemiskinan dan permusuhan antara suku sering menjadi alasan. Beberapa bocah yang dipaksa menikah bahkan belum mencapai usia lima tahun
Foto: picture-alliance/Pacific Press/M. Asad
Lari di Tahun Kelima
Bas Gul yang berusia 17 tahun bernasib muram. Saat usia 11 tahun ia dipaksa menikah dengan bocah berusia lima tahun. Di tahun kelima Bas Gul melarikan diri dan sejak itu bersembunyi di tempat penampungan khusus perempuan di Bamiyan, Afghanistan. Situasi perempuan di Hindukush dipersulit dengan budaya lokal yang cendrung diskriminatif terhadap kaum hawa.
Foto: Getty Images/P. Bronstein
Pengantin Balita
Seorang remaja berusia 16 tahun (ki) menuggu upacara pernikahan dengan bocah perempuan yang jauh lebih muda (ka) di India. Keduanya dinikahkan secara massal bersamaan dengan perkawinan 140 bocah lain yang berusia antara empat hingga 17 tahun. Orangtua dan lingkungan sosial berperan besar dalam budaya pernikahan anak di India.
Foto: Getty Images/AFP
Pernikahan Antar Klan di Pakistan
Pernikahan anak di Pakistan terutama dipraktekkan di wilayah kesukuan. Kebudayaan setempat mengenal tradisi pernikahan antara klan atau suku yang sering melibatkan anak di bawah umur. Menurut Institute for Social Justice, sebuah LSM di Pakistan, dalam banyak kasus pernikahan di bawah umur didorong oleh himpitan kemiskinan.
Foto: picture-alliance/R. Harding
Korban Permusuhan Keluarga
Dalam beberapa kasus kepolisian berhasil mencegah terjadinya pernikahan anak, seperti di Pakistan. Aparat keamanan lokal kemudian menahan ayah kedua calon mempelai. Kejaksaan menyeret mereka dengan dakwaan berupaya menikahkan bocah perempuan berusia empat tahun dengan bocah laki-laki berusia tujuh tahun. Pernikahan ini dimaksudkan untuk mengakhiri pertengkaran antara keluarga.
Foto: Getty Images/AFP/R. Tabassum
Tradisi Mengalahkan Konstitusi
Mamta Bai yang berusia 12 tahun, baru menuntaskan upacara pernikahan dengan bocah berusia 14 tahun, Bablu di Bhopal, India. Sejatinya pemerintah India telah melarang pernikahan anak. Namun Undang-undang belum mampu mengubah tradisi yang telah mengakar selama ratusan tahun.
Foto: picture-alliance/AP Photo/P. Hatvalne
Nikah Paksa di India
Sharadha Prasad (Ki) dan pengantin perempuannya Kumla Baiof (ka) ikut serta dalam upacara pernikahan massal untuk 50 remaja di bawah 18 tahun. Parlemen India sejak 2006 telah menelurkan Undang-undang yang melarang pernikahan di bawah umur. Tapi organisasi HAM mengeluhkan, ribuan bocah, beberapa dikabarkan berusia di bawah lima tahun, tetap dinikahkan secara paksa setiap tahunnya.
Foto: Getty Images/AFP/Str
Wabah di Bangladesh
Bangladesh termasuk memiliki tingkat pernikahan anak tertinggi di dunia. Sepertiga perempuan Bangladesh mengaku menikah sebelum berusia 15 tahun. Kendati dilarang Undang-undang, orangtua mempelai bisa menyuap aparat negara untuk mengeluarkan sertifikat nikah. "Pernikahan anak sedang mewabah di Bangladesh," kata Heather Barr, peneliti untuk Human Rights Watch di Bangladesh.
Sementara Indonesia berkomitmen untuk menciptakan generasi emas di tahun 2045, artinya Indonesia mempersiapkan 87 juta anak supaya semua anak memiliki kualitas hidup tinggi, karena mereka pada tahun 2045 ada pada usia 28-46 tahun. Indonesia juga menandatangani komitmen internasional SDGs yang secara khusus menargetkan penghapusan perkawinan anak sebagai bagian dari praktik berbahaya. Namun ironisnya Indonesia juga mempertahankan UU no.1 tahun 1974 yang melegitimasi perkawinan anak. Judicial Review untuk menaikkan usia perkawinan anak perempuan ditolak. Celakanya, Mahkamah Konstitusi yang semestinya mendasarkan pertimbangan putusan pada konstitusi UUD 1945 justru lebih banyak merujuk pertimbangan agama dan moralitas.
Akankah kita terus mengorbankan masa depan bangsa dengan ego dan cara pandang yang kolot dan terus bersikukuh menikahkan anak perempuan? Jangan lagi memupuk dan mengamini argumen dan bersembunyi di balik alasan budaya, ketakutan aib perawan tua, kemiskinan, moralitas dan berbagai alasan lainnya hanya untuk menutupi dan mendapatkan permakluman agar dapat menikahkan anak-anak.Saatnya semua pihak menyadari dan membuka diri akan masa depan anak-anak dan bangsa. Dampak perkawinan anak akan menjadi mata rantai berkepanjangan dari hilangnya hak anak atas pendidikan, atas kesehatan, ekonomi yang menimbulkan kualitas hidupnya rendah. Dampak ini akan menjadi siklus yang terus berputar sulit diputus mata rantainya.
Perkawinan anak dibawah 18 tahun, sama artinya dengan menghalangi program wajib belajar 12 tahun bahkan Kartu Indonesia Pintar (KIP) yang disediakan hingga usia 21 tahun. Artinya, kegagalan mengakses pendidikan 12 tahun menyebabkan sulitnya mendapatkan pekerjaan yang layak. Merujuk data tenaga kerja Indonesia, angkatan kerja didominasi oleh penduduk yang tidak lulus lulus SD sampai lulusan SMP. Sebagian dari angkatan kerja ini tentu beririsan dengan kasus perkawinan anak. Dan ini berarti perkawinan anak juga berdampak pada buruknya tingkat pendapatan dan kemudian jatuh pada kemiskinan.
Kenangan dari Bangku Sekolah
Siapa yang tidak ingat masa-masa bersekolah? Bermain, belajar, tertawa, berkelahi. DW mengumpulkan kisah-kisah unik lintas sejarah, yang merekam masa-masa di bangku sekolah dari berbagai negara.
Foto: Schulmuseum Uni Hildesheim
Untuk si Kecil Ladka
Setiap bocah perempuan di Ukraina punya album berisikan puisi mengenai teman, saudara yang dibumbui kata-kata mutiara dan coretan tangan. Pada gambar ini keluarga si kecil Ladushka mengucapkan selamat untuk hari pertama di bangku sekolah.
Foto: Schulmuseum Uni Hildesheim
Disiplin Ketat di Negeri Komunis
Ramah bukan kesan yang muncul dari wajah para guru di foto ini. Tahun 1970-an di Uni Sovyet adalah masa-masa penuh disiplin dan ketekunan. Situasinya tidak berbeda jauh dengan negara-negara lain di dunia. Hukuman fisik adalah metode yang saat itu masih lazim digunakan.
Foto: Schulmuseum Uni Hildesheim
Berpose Untuk Lenin
Setiap tahun murid-murid di Uzbekistan berpose untuk difoto, tepat pada tanggal 22 April, yakni hari kelahiran bekas pemimpin besar Uni Sovyet, Vladmiir Lenin. Beberapa bocah perempuan berdandan layaknya seorang pengantin. Tidak berbeda dengan murid laku-laki yang mengenakan dasi.
Foto: Schulmuseum Uni Hildesheim
Membaca dengan "Opa Haas"
Prilaku guru yang menjewer kuping muridnya adalah hal lumrah, kata seorang penduduk Belanda. Perempuan renta berusia 70 tahun itu masih mampu mengingat ruang kelasnya dengan jelas. Termasuk buku "Belajar Membaca dengan Opa Haas" yang dipakainya untuk mempelajari alfabet.
Foto: Schulmuseum Uni Hildesheim
Terdidik dan Terjajah
Jerman tergolong telat merambah wilayah baru untuk dijadikan jajahan. Baru 1884 kekaisaran Jerman menganeksasi kawasan barat daya Afrika. Penguasa kulit putih itu berbuat banyak untuk menampilkan kesan damai kepada penduduk asli. Sebuah kartu pos yang terbit 1912 menampilkan pelajaran di sebuah sekolah untuk murid berkulit hitam.
Foto: Schulmuseum Uni Hildesheim
Musim Panen, Sekolah Libur
Musim panen menyedot banyak tenaga kerja, termasuk di antaranya anak-anak. Sering sekolah diliburkan atau orangtua memaksa anaknya untuk membolos. Gambar yang dibuat tahun 1950 ini menampilkan keluarga yang tengah beristirahat.
Foto: Schulmuseum Uni Hildesheim
Rapor yang Baik
Rapor yang bisa membuat setiap orang tua berbangga hati ini berasal dari seorang murid perempuan dari Kazakhstan yang bermigrasi ke Jerman tahun 1984. Rapornya harus telebih dahulu diterjemahkan ke bahasa Jerman. Namun mata pelajaran seperti, "Dasar Hukum Uni Sovyet" tidak dipelajari di negara barunya itu.
Foto: Schulmuseum Uni Hildesheim
Sayonara Bangku Sekolah!
Remaja asal Kazakhstan ini baru saja menuntaskan bangku sekolah menengah pertama. Ketika masuk ke jenjang yang lebih tinggi, mereka diwajibkan membawa bunga untuk para guru. Dan ketika lulus, mereka mendapatkan bunga dari para guru, seperti murid-murid di tahun 1969 ini.
Foto: Schulmuseum Uni Hildesheim
Kenangan Terakhir Seusai Lulus
Murid sekolah mengabadikan wajahnya di koran sekolah seusai lulus dari ujian akhir, sementara para guru di barisan teratas. Hingga 1975, pemuda-pemudi yang terpampang di gambar ini masih duduk di bangku sekolah Stalin di Uzbekistan.
Foto: Schulmuseum Uni Hildesheim
9 foto1 | 9
Berisiko tinggi
Dari sisi kesehatan, perkawinan anak berpotensi menambah deretan angka kematian ibu melahirkan yang saat ini masih sangat tinggi yaitu 305 per 100.000 kelahiran. Siapa yang potensial mempunyai risiko tinggi dalam proses melahirkan, salah satunya adalah perempuan yang melahirkan terlalu muda karena alat reproduksinya belum siap. Kehamilan perempuan muda juga menyebabkan kekurangan gizi karena bayi membutuhkan serapan gizi sementara ibunya juga masih dalam masa pertumbuhan. Mereka akan berebut gizi yang ada dalam tubuh ibu, bisa kalah menang atau bahkan keduanya sama-sama serba kekurangan. Lalu apa artinya program Kartu Indonesia Sehat jika kita terus mereproduksi generasi dan keluarga-keluarga yang tidak sehat.
Tak dapat ditunda, Indonesia mesti segera membendungnya dengan mengesahkan Peraturan Pengganti Undang-Undang (PERPPU) Pencegahan dan Penghentian Perkawinan Anak dan menghapuskan berbagai produk hukum yang mendiskriminasi perempuan Memastikan Gerakan Bersama KPP-PA, mengawal generasi penerus kita untuk mendapatkan akses pendidikan 12 tahun, kesehatan reproduksi yang prima, kesempatan kerja yang layak, dan berumahtangga yang setara.
Saatnya Hakim Konstitusi belajar dan merujuk kembali dissenting opinion (pendapat berbeda) dari hakim konstitusi Maria Farida Indrati, yang menyatakan bahwa perkawinan anak melanggar hak-hak, terutama Penjelasan Umum angka 3 huruf a UU Perkawinan, UU Perlindungan Anak, UU HAM. Perkawinan anak akan membahayakan kelangsungan hidup dan tumbuh kembang anak dan menempatkan anak dalam situasi rawan kekerasan dan diskriminasi. Tak ada lagi alasan moralitas, zina, aib perawan tua, dan jangan biarkan "anak-anak mempunyai anak”.
Penulis: Misiyah (ap/vlz)
Misiyah menekuni isu-isu feminisme selama 20 tahun terakhir dan aktif dalam gerakan perempuan, mengembangkan pemberdayaan perempuan, kepemimpinan perempuan untuk gerakan kesetaraan gender dan perdamaian. Saat ini menjadi direktur Institut KAPAL Perempuan, sebuah organisasi yang fokus pengembangan pendidikan kritis dengan perspektif feminisme dan pluralisme.
*Setiap tulisan yang dimuat dalam #DWnesia menjadi tanggung jawab penulis.
Kekerasan terhadap Anak
Jumlah kekerasan terhadap anak-anak di Indonesia mengkhawatirkan. Sebagian terjadi di sekolah-sekolah. Memang sudah ada upaya penanganan tindak kriminal tersebut, tetapi kendala pelaksanaannya banyak.
Foto: picture alliance/abaca
Tujuh dari 10 Anak Alami Kekerasan
Menurut organisasi Plan International dan International Center for Research on Women (ICRW), tujuh dari 10 anak di Asia alami kekerasan di sekolah. Situasi anak Indonesia sangat mengkhawatirkan, sekitar 84% alami kekerasan. Kekerasan Yang terjadi berupa kekerasan fisik, seksual, emosional dan ancaman kekerasan oleh guru, pegawai sekolah, antar murid dan dari anggota keluarga.
Foto: Reuters/B. Yip
Belajar tanpa Ancaman
Menurut pakar komunikasi Irsyad Hadi dari Plan International, laporan tersebut didasari riset yang melibatkan 1.742 murid, perempuan dan laki-laki, usia antara 12 dan 15 dari 30 SMP negeri di Jakarta, Serang dan Banten, dari Januari sampai Maret 2014. Mark Pierce dari Plan International seksi Asia mengatakan, tiap anak punya hak atas pendidikan yang bebas kekerasan dan ancaman.
Foto: picture alliance/Robert Harding World Imagery
Tidak Anggap Kekerasan Salah
Salah satu fakta menyedihkan yang juga disampaikan oleh Pierce dari Plan International: anak-anak kerap tidak melaporkan kekerasan yang mereka alami. Salah satu alasannya adalah karena merasa takut. Tapi sering juga karena mereka tidak menganggap kekerasan yang mereka alami sebagai sesuatu yang salah.
Foto: picture alliance/AP Photo/A. Nath
Laporan Tidak Sesuai Kenyataan
Sebagai contoh dari yang disampaikan Pierce: 339 kasus kekerasan terhadap anak terjadi di Provinsi Gorontalo dalam rentang waktu 2013 hingga 2015. Wakil Gubernur Gorontalo Idris Rahim mengatakan, angka tersebut belum mencerminkan kenyataan di lapangan, karena banyak kasus tak dilaporkan. Masyarakat belum sepenuhnya pahami dampak kekerasan terhadap anak, kata Idris Rahim.
Foto: Fotolia/Gina Sanders
Takut Tekanan
Ketua Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK), Abdul Haris Semendawai, mengungkapkan aspek lain: kendati banyak kasus dilaporkan, tidak semua kasus diusut hingga di bawa ke persidangan. Ia menduga, ada tekanan yang dialami korban maupun saksi. "Apalagi, tindak pidana yang melibatkan anak, biasanya dilakukan oleh kelompok atau disebut sebagai kejahatan terorganisir," sambung Haris.