1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Perlindungan Pekerja HAM di Indonesia Lemah

8 Juni 2007

Utusan Khusus Sekretaris Jenderal PBB Hina Jilani, mendesak pemerintah Indonesia memberi perlindungan lebih baik kepada para pembela HAM.

Ketika berkunjung ke Jakarta, Hina Jilani mengatakan, pemerintah, harus menjamin, terpenuhinya 3 hak dasar pembela HAM, yaitu kebebasan untuk berserikat, berkumpul dan menyatakan pendapat. Selain itu, pemerintah, kata Jilani juga harus, enyusun prosedur dan mekanisme untuk menfasilitasi kerja kerja mereka, ini penting untuk menunjukan komitmen pemerintah terhadap Dekalarasi HAM PBB.

Hina Jilani: “Pembela HAM, tidak hanya berkaitan dengan isu yang mereka perjuangkan, untuk melakukan aktifitasnya, mereka membutuhkan lingkungan yang kondusif yang sangat dipengaruhi oleh kondisi sosial politik dan ekonomi. Deklarasi HAM sangat jelas menyatakan bahwa hal tesebut merupakan tanggung jawab pemerintah, untuk menjamin hal tersebut. Sehingga pembela HAM bisa melakukan perjuangan dan aktifitas mereka sehingga hasil kerja mereka bisa dinikmati secara riil.”

Meski demikian, Jilani, mengingatkan, agar para pembela HAM, bekerja secara transparan dan akurat demi kredibilitas mereka. Wakil Khusus Sekjen PBB itu, berada di Jakarta, sebagai rangkaian dari kunjungannya untuk berdiskusi dan menyaksikan langsung kondisi pembela HAM di Indonesia.

Dalam dengar pendapat dengan para pembela HAM di Jakarta, terungkap, masih rentannya, posisi pembela HAM, di Indonesia dari kemungkinan kekerasan, dan intimidasi, baik dari negara, militer maupun dari kelompok preman bayaran. Ini terutama menimpa para pembela HAM di daerah konflik. Seperti Kesaksian Aisah dari Kontras Aceh:

“Zulfikar dan Mukhlis anggota, Link For Community Development setelah ditangkap TNI di Bierun tahun 2003, keberadaanya masih hilang sampai sekarang. Diluar itu, Sedikitnya 150 pembela HAM disiksa, 25 ditangkap, 7 dipenjara, 30 HAM pembela HAM perempuan mengalami pelecehan seksual, 5 kasus penggeledahan paksa kantor organisasai HAM.

Tak cuma di wilayah Konflik, Kekerasan dan intimidasi, juga masih diterima para pembela HAM yang bekerja, didaerah aman seperti di Jogjakarta. Kesaksian Pembela Korban kekerasan 65, Khusnul Hidayah, dari Syarikat Jogjakarta mengatakan:

“Pada tanggal, 20 Mei 2006, ketika menggelar pertemuan, ibu ibu korban dengan aktivis perempuan muda, di wisma Brantas, acara itu dibubarkan paksa oleh militer sebanyak 12 truk, padahalnya pesertanya hanya 50 orang ibu ibu tua. Pengalaman kekerasan lain, pada Sepetember 2006, saya diundang kelompok anti komunis untuk membahas KKR (komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi) bersama sama, tetapi pada forum tersebut saya diminta bertaubat karena dianggap berkawan dengan Gerwani.”

Para pembela HAM berharap, kesaksian yang mereka berikan, melalui utusan khusus PBB ini akan mengubah sikap pemerintah dalam memperlakukan para pembela HAM. Koordinator HRWG Indonesia, Rafendi Djamin, memberi alasan:

“Otoritas dia sebagai utusan PBB yang bertugas mengajak Negara untuk melaksanakan komitment yang sudah disepakati yaitu deklarasi tersebut, itu yang paling penting. Kalau nanti tidak dipenuhi? itu merugikan pemerintah sendiri, karena pemerintah akan terus ditanyain oleh anggota anggota Dewan HAM PBB.”

Sebelumnya, dalam laporan tahun 2007 sudah tercatat tujuh kasus kekerasan terhadap pembela HAM di Indonesia yang dilaporkan ke PBB.