1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
KonflikJerman

Perlu Upaya Bersama Untuk Perangi Disinformasi

Janosch Delcker
17 Juni 2024

Penyebaran berita palsu atau disinformasi mengganggu stabilitas dan memicu gerakan antidemokrasi di seluruh dunia. Upaya kolaboratif diperlukan untuk mengatasi masalah ini, menurut laporan terbaru.

Tangan manusia menggenggam smatphone
Ilustrasi sosial mediaFoto: Jonathan Raa/NurPhoto/picture alliance

Kerja sama transnasional antara organisasi masyarakat sipil, media, dan perusahaan teknologi terbesar di dunia diperlukan untuk memerangi disinformasi secara efektif, menurut analisis baru yang dilakukan oleh lembaga pemikir nirlaba, Bertelsmann Foundation.

"Kita harus bersikap profesional dan terkoordinasi seperti mereka yang berupaya melakukan tindakan merugikan dengan kampanye mereka,” kata Cathleen Berger, pakar senior teknologi masa depan dan keberlanjutan di Bertelsmann Foundation dan salah satu penulis laporan.

Analisis tersebut didasarkan pada diskusi dengan lebih dari 100 pakar, akademisi, aktivis, dan pembuat kebijakan di lebih dari 50 negara, tambahnya.

Ayo berlangganan gratis newsletter mingguan Wednesday Bite. Recharge pengetahuanmu di tengah minggu, biar topik obrolan makin seru! 

Secara global, para peneliti melaporkan adanya peningkatan jumlah informasi palsu dan menyesatkan yang beredar secara online, yang disebarkan oleh aktor asing dan domestik dengan menggunakan berbagai metode.

Tren ini memicu gerakan antidemokrasi dan kebencian di berbagai negara, mulai dari Thailand hingga Ethiopia, demikian laporan tersebut memperingatkan. Untuk melawan ancaman yang terus berkembang ini, masyarakat sipil dan pembuat kebijakan perlu menyesuaikan strategi, tambahnya.

"Kita perlu beralih dari menargetkan insiden individu menjadi menargetkan seluruh industri di baliknya,” kata Berger kepada DW.

Pengecekan fakta juga punya batasan

Disinformasi bukanlah fenomena baru. Selama berabad-abad, pelaku kejahatan berusaha mempengaruhi opini publik dengan menyebarkan narasi palsu.

Namun, selama dua dekade terakhir, internet dan media sosial telah melihat permasalahan ini mencapai skala yang baru. Karena itu, baik organisasi media tradisional maupun organisasi nonpemerintah telah meluncurkan upaya untuk memerangi disinformasi.

Hal ini menyebabkan berkembangnya inisiatif "pemeriksaan fakta” ​​di seluruh dunia. Jurnalis atau LSM memverifikasi keakuratan klaim yang beredar secara online melalui penelitian, sumber referensi silang, dan konsultasi dengan para ahli. 

Cathleen Berger, salah satu pemimpin proyek Upgrade Democracy di Bertelsmann FoundationFoto: privat

Meskipun upaya ini sangat penting, Berger memperingatkan bahwa hal ini bukanlah solusi yang tepat, karena banyaknya konten palsu baru melampaui upaya untuk menghilangkan prasangka tersebut.

"Pemeriksaan fakta jelas tidak sebanding dengan kecepatan dan momentum yang kita lihat pada disinformasi online," katanya. "Kita tidak bisa memeriksa semuanya."

Pre-bunking dan demonetisasi

Itulah mengapa diperlukan pendekatan baru, menurut Berger.

"Kita juga perlu melakukan pre-bunking," katanya, mengacu pada strategi memperingatkan masyarakat akan konten palsu sebelum mereka melihatnya secara online, sekaligus secara proaktif mempromosikan informasi yang akurat dan kesadaran akan penyebaran disinformasi.

"Ini tentang melatih masyarakat untuk mengenali narasi tertentu sehingga bahkan sebelum sesuatu ini benar-benar diperiksa faktanya, mereka sudah merasa ada sesuatu yang salah,” katanya. 

AI: Berguna tetapi Rentan Penyalahgunaan

03:38

This browser does not support the video element.

Pada saat yang sama, Berger menekankan pentingnya "mendemonetisasi bisnis disinformasi.” Meningkatnya disinformasi telah menyebabkan terciptanya ekosistem yang terdiri dari aktor-aktor profesional yang memonetisasi disinformasi dengan berbagai cara.

Salah satu contohnya yakni pendapatan iklan pada platform seperti yang dimiliki Google atau Meta, yang memiliki Instagram, Facebook, dan WhatsApp. "Perusahaan perlu menghentikan pendanaan kampanye disinformasi," menurut Berger.

Tanggung jawab perusahaan teknologi

Tanggung jawab perusahaan teknologi besar bahkan lebih besar lagi, tegas Berger. Mengingat sangat besarnya sumber daya dan pengaruh parusahaan teknologi ini, Berger mengatakan bahwa masih banyak yang bisa dilakukan.

Hal ini termasuk memberi akses yang lebih baik kepada peneliti dan pemeriksa fakta tentang informasi tentang apa yang terjadi di platform mereka. Di Uni Eropa, undang-undang baru kini mewajibkan mereka untuk memberikan data tersebut kepada peneliti yang mempelajari penyebaran disinformasi. 

"Kami mengetahui bahwa para peneliti masih ditolak aksesnya terhadap data," kata Berger. Pada saat yang sama, "para peneliti di luar Uni Eropa sering kali tidak mendapatkan akses sama sekali." Laporan tersebut mengutip contoh para peneliti dari Thailand, Brasil, Meksiko, dan Kenya yang menghadapi tantangan serupa.

Bekerja bersama melawan disinformasi

Pada saat yang sama, semakin jelas bahwa tidak ada pendekatan yang bisa diterapkan bagi semua orang dalam memerangi disinformasi, terutama karena platform yang digunakan masyarakat untuk menerima berita sangat berbeda, menurut laporan tersebut.

"Misalnya, 55% dari masyarakat Afrika menggunakan WhatsApp, dibandingkan dengan hanya 6% di Amerika Utara," katanya. Oleh karena itu, tindakan penanggulangannya harus disesuaikan dengan wilayah yang menjadi sasarannya.

Namun kerja sama transnasional sangatlah penting, laporan tersebut menekankan. "Kampanye disinformasi menargetkan wacana lintas batas negara." Oleh karena itu, organisasi antidisinformasi harus berbagi informasi sehingga mereka dapat "menyesuaikan strategi mereka berdasarkan pembelajaran dari wilayah lain."

"Ada begitu banyak pengetahuan di luar sana dan begitu banyak ide-ide hebat," kata Berger kepada DW. "Kalau kita dapat menghubungkan ide-ide itu, kita akan jauh lebih kuat."

ae/hp

Lewatkan bagian berikutnya Topik terkait