Banyaknya petugas Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS) yang meninggal dunia dalam penyelenggaraan pemilu serentak 2019 ditengarai akibat rumitnya sistem pemilu di Indonesia.
Iklan
Setelah hampir dua minggu penyelenggaraan pemilu serentak di Indonesia, laporan petugas KPPS yang meninggal berjumlah hingga 318 orang. Apa yang menjadi penyebab hal tersebut? Benarkah sistem pemilu serentak yang diadakan sangat rumit dan sangat menyita tenaga dan pikiran? DW berkesempatan berbincang dengan Direktur Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Titi Anggraini.
DW: Sampai hari ini lebih dari 300 petugas pemilu meninggal dunia. Di tahun 2014 ada 150 korban. Di mana letak kesalahannya? Kenapa kejadian ini berulang?
Titi Anggraini: Tentu semua pihak tidak ada yang menginginkan peristiwa ini terjadi. Tetapi yang harus dilakukan saat ini semua pihak harus ikut bersama-sama mengambil tanggung jawab sehingga kita bisa mendapatkan penyelesaian dan juga memberikan apresiasi dan penghargaan yang sepadan kepada mereka yang sudah mendedikasikan jiwa raganya kepada penyelenggaraan pemilu 2019 yang sudah saya kira betul-betul mengangkat harkat dan martabat Indonesia. Nah itu yang memang harus kita pikirkan saat ini.
Tentang beban yang harus mereka kerjakan, saya kira itu yang paling berkontribusi bagi banyaknya korban jiwa akibat kelelahan, kapasitas beban yang tidak sepadan dengan kemampuan fisik secara wajar.
Faktor apa saja yang menjadi kontribusi beban kerja berlipat dari para petugas pemilu ini?
Pertama, pemilu dengan lima surat suara. Di tahun 2014 diselenggarakan empat pemilu sekaligus dengan empat surat suara, DPR, DPD, DPRD Provinsi dan Kabupaten/Kota, itu sudah menimbulkan kelelahan dan beban kerja yang besar. Apalagi sekarang beban kerjanya bertambah, yaitu satu surat suara lagi. Jadi pemilu serentak lima surat suara, itu yang paling berkontribusi bagi beratnya beban dan tanggung jawab yang harus dikerjakan oleh para petugas.
Yang kedua, pengadministrasian pemilu itu juga menambah bobot beban kerja yang membuat para petugas harus bekerja ekstra. Pemungutan suara saya kira relatif mudah tetapi ketika memasuki penghitungan suara, untuk (penghitungan suara) presiden masih bisa dilakukan dengan baik. Tetapi ketika sudah masuk ke penghitungan suara DPR di mana yang dihitung bukan hanya suara yang diperoleh partai politik tapi juga caleg yang diusung partai politik, dan itu ratusan. Jadi mereka harus mengelola ratusan suara menyangkut kandidat. Dan itu kan tidak hanya memerlukan fisik tetapi juga konsentrasi, mental, psikis begitu ya.
Belum lagi situasi pada hari H itu mereka harus bekerja lepas tengah malam, rata-rata baru selesai jam 2 (pagi/red) dan mereka masih harus menerjemahkan lagi hasilnya dalam berbagai ratusan dokumen yang harus mereka kerjakan, jadi memang sangat melelahkan. Dan perlu dicatat juga bahwa petugas KPPS itu bekerja bukan hanya saat pemungutan suara. Tetapi mereka bekerja dari hari-hari sebelumnya. Ketika mereka menerima salinan DPT, harus menulis surat pemberitahuan pemungutan suara atau yang lebih populer dikenal sebagai formulir C6, undangan memilih kepada warga. Jadi bisa dibayangkan kalau pemilih di satu TPS ada 300 orang, mereka harus menulis undangan kepada 300 pemilih mungkin tersebar di beberapa ratus rumah, itu harus didistribusikan sebelum hari H.
Siapa Calon Pemimpin Indonesia?
Hasil survey Saiful Mujani Research Centre belum banyak mengubah peta elektabilitas tokoh politik di Indonesia. Siapa saja yang berpeluang maju ke pemilu kepresidenan 2019.
Foto: Imago/Zumapress
1. Joko Widodo
Presiden Joko Widodo kokoh bertengger di puncak elektabilitas dengan 38,9% suara. Popularitas presiden saat ini "cendrung meningkat," kata Direktur Eksekutif SMRC Djayadi Hanan.
Foto: Reuters/Beawiharta
2. Prabowo Subianto
Untuk sosok yang sering absen dari kancah politik praktis pasca pemilu, nama Prabowo masih mampu menarik minat pemilih. Sebanyak 12% responden mengaku akan memilih mantan Pangkostrad itu sebagai presiden RI.
Foto: Reuters
3. Anies Baswedan
Selain Jokowi dan Prabowo, nama-nama lain yang muncul dalam survey belum mendapat banyak dukungan. Gubernur terpilih DKI Jakarta, Anies Baswedan, misalnya hanya mendapat 0,9%.
Foto: Reuters/Antara Foto/M. Agung Rajasa
4. Basuki Tjahaja Purnama
Nasib serupa dialami bekas Gubernur DKI, Basuki Tjahaja Purnama. Sosok yang kini mendekam di penjara lantaran kasus penistaan agama itu memperoleh 0,8% suara. Jumlah yang sama juga didapat Wakil Presiden RI Jusuf Kalla.
Foto: Getty Images/T. Syuflana
5. Hary Tanoesoedibjo
Pemilik grup MNC ini mengubah haluan politiknya setelah terbelit kasus hukum berupa dugaan ancaman terhadap Kepala Subdirektorat Penyidik Jaksa Agung Muda Pidana Khusus Yulianto. Hary yang tadinya beroposisi, tiba-tiba merapat ke kubu Presiden Joko Widodo. Saat inielektabilitasnya bertengger di kisaran 0,6%
Foto: picture-alliance/AP Photo/A. Ibrahim
6. Agus Yudhoyono
Meski diusung sebagai calon pemimpin Indonesia masa depan, saat ini popularitas Agus Yudhoyono masih kalah dibanding ayahnya Soesilo Bambang Yudhoyono yang memperpoleh 1,9% suara. Agus yang mengorbankan karir di TNI demi berpolitik hanya mendapat 0,3% dukungan.
Foto: Getty Images/AFP/M. Naamani
7. Gatot Nurmantyo
Jumlah serupa didapat Panglima TNI Gatot Nurmantyo yang belakangan terkesan berusaha membangun basis dukungan. Nurmantyo hanya mendapat 0,3%. Meski begitu tingkat elektabilitas tokoh-tokoh ini akan banyak berubah jika bursa pencalonan sudah mulai dibuka, klaim SMRC.
Foto: Imago/Zumapress
7 foto1 | 7
Lalu sebelum hari H mereka juga harus mendirikan TPS. Kebanyakan di ruang terbuka. Dan pada hari H nya bekerja mulai subuh, selesai solat subuh mereka langsung kerja stand by di TPS sampai dini hari, itu non-stop, tidak hanya berhenti sampai di sana. Harus pula mengantar kotak suara yang lima itu ke kantor kelurahan karena di sana mereka harus mengirimkan berbagai surat suara, dokumen dan perlengkapan yang diterima dan dikembalikan. Dan kadang-kadang tidak berhenti disitu. Pada hari H ada kompleksitas teknis lain yang dihadapi. Misalnya, surat suara yang kurang, logistik pemilu yang datang terlambat, ketika menghitung, formulir ada yang tidak ada. Jadi itu menambah lagi beban fisik dan pikiran mereka. Bahkan ada yang ketika menyetorkan kotak suara ke kelurahan, baru diketahui bahwa formulir C1-nya salah isi. Mereka harus mengerjakan ratusan dokumen, menghitung suara ratusan kandidat, yang saya kira dari sisi kapasitas fisik, itu tentu diluar kemampuan fisik manusia yang wajar.
Belum lagi ada pengakuan-pengakuan bahwa mereka relatif kurang rileks karena misalnya pada hari H itu ada kekhawatiran surat suaranya kurang karena animo pemilih yang berlebih misalnya karena banyaknya pemilih pindahan dari daerah lain yang membuat mereka harus mengatur strategi agar surat suara tidak kurang. Lalu kemudian ketakutan untuk melakukan kesalahan dan dituduh curang. Jadi saya kira ini adalah dampak dari kompleksitas sistem di mana kita menyerentakkan lima pemilu sekaligus, yang bisa disebut sebagai pemilu borongan ketimbang pemilu serentak, dan ditambah lagi permasalahan manajerial yang menguras tenaga, pikiran, dan selain juga di beberapa kasus ada kontribusi kondisi mereka yang sudah kurang fit sebelumnya.
Para Pahlawan Pesta Demokrasi
Ibarat sebuah pesta, banyak pihak terlibat dalam penyelenggaraan pemilihan umum serentak di Indonesia, Rabu (17/04). Hal ekstra pun mereka lakukan demi menyukseskan hajatan lima tahunan ini.
Foto: Getty Images/AFP/T. Matahari
Terjang banjir demi mencoblos
Seorang pria ikhlas berbasah-basah menarik perahu karet berisi para calon pemilih. Ia rela menerjang banjir yang melanda area perumahan mereka supaya warga bisa sedikit lebih mudah menunaikan hak pilih mereka.
Foto: Getty Images/AFP/T. Matahari
Kostum untuk menarik warga
Para petugas di TPS ini pun rela menjalankan tugas mereka sambil memakai kostum pahlawan super yang sangat tertutup tertutup di tengah cuaca panas kota Surabaya, Jawa Timur. Bayangkan panasnya beraktifitas dalam kostum itu.
Foto: Reuters/A. Foto
Seberangi sungai kawal logistik pemilu
Kondisi geografis di sebagian besar wilayah di Indonesia memang cukup menantang. Tidak jarang, satu-satunya alat transportasi untuk mencapai desa tertentu adalah dengan jalan kaki atau naik perahu seperti yang dipilih petugas polisi dan TNI ini.
Foto: Getty Images/AFP/C. Mayuddin
Kelelahan usai meliput
Media pun bekerja memastikan proses pemilu berjalan dengan lancar dan transparan. Akibat kelelahan, seorang jurnalis pun tertidur di antara kabel dan peralatan untuk meliput. Liputan pemilu memang dikenal memakan waktu yang panjang dengan jam kerja yang intensif.
Foto: DW/R. Akbar Putra
Kelola sampah usai pesta
Alat peraga pemilu menyisakan gundukan sampah seperti sisa poster para kandidat. Para relawan banyak yang mendaur ulang sampah ini menjadi berbagai barang yang lebih bermanfaat seperti Jaket dan kantung belanja. (ae/hp)
Foto: Rizki Djaffar
5 foto1 | 5
Jadi saya kira itu yang bisa menjadi gambaran dampak dari pemilu serentak terbesar satu hari di dunia dan the most complexed election system in the world, yang membuat tenaga terkuras, pikiran terkuras.
Di tahun 2014 pemilu empat surat suara, ada 150 korban jiwa. Sekarang pemilu dengan lima surat suara. Apakah tidak ada antisipasi dari KPU dan pihak berwenang tentang adanya bahaya korban jiwa? Apa yang luput dari perencanaan?
Saya kira kata luput mungkin tepat ya, karena kita tidak membayangkan sebegitu detilnya, dan memang ada banyak kompleksitas yang dihadapi pemilu 2019 ini. Bayangan kita untuk pemilu serentak ini sudah mulai misalnya awalnya jumlah pemilih di satu TPS itu 500 di dalam UU. Dalam simulasi berulang yang dilakukan KPU tidak mungkin 500. Karena kalau 500 penghitungan suara baru akan selesai subuh. Lalu diputuskan agar mengurangi jumlah pemilih menjadi 300. Kemudian di UU pemilu kita didesain agar petugas itu usianya lebih muda. Dulu 2014 usia minimal 25 tahun. Sekarang dibuat 17 tahun. Tapi memang realitas di lapangan itu tidak bisa dipotret sedetil itu ya. Belum lagi ini adalah pemilu yang dalam pandangan saya sangat tidak rileks. Ada beban dari para pemilih dan petugas penyelenggara akibat dari kompetisi pilpres yang begitu kompetitif, terpolarisasi. Saya kira itu menjadi situasi orang bekerja cenderung jadi lebih ekstra, baik fisik maupun pikiran.
Kampanye Akbar Penutup Masing-Masing Paslon
Di hari terakhir masa kampanye Pilpres 2019 masing-masing paslon memaksimalkan kampanye. Paslon 01 adakan kampanye akbar di Stadion Gelora Bung Karno, Jakarta. Sedangkan Sandiaga Uno berkampanye di Tangerang, Banten.
Foto: Prabowo-Sandi Media Centre
Ratusan ribu orang padati GBK
Ratusan ribu orang padati Stadion Gelora Bung Karno (GBK), Jakarta, untuk mengikuti kampanye akbar paslon 01, Jokowi-Ma'ruf. Acara tersebut merupakan penutup rangkaian kampanye yang rencananya akan diisi orasi oleh Joko Widodo dan ditutup doa bersama dipimpin Ma'ruf Amin.
Foto: DW/R. Akbar Putra
Doa putihkan Indonesia
"Kalau putih-putih menang, Indonesia maju. Mari kita doa," kata Ma'ruf membuka doa bersama. "Jadikan 01 sebagai pemenang," lanjutnya di saat doa bersama.
Selain orasi dan doa kampanye tersebut juga dihibur dengan konser lagu-lagu kebangsaan.
Foto: DW/R. Akbar Putra
GBK tak cukup tampung pendukung
Tak sedikit pendukung yang mengikuti kampanye tersebut dari luar arena stadion karena penuhnya Stadion GBK (maksimal sekitar 120 ribu kursi). Namun begitu mereka tetap marak mengikuti acara tersebut dengan bernyanyi dan berdoa bersama.
Foto: DW/R. Akbar Putra
Satukan suara di Tangerang
Sedangkan cawapres nomor urut 02, Sandiaga Uno, mengakhiri kampanye akbarnya di Alun-alun Kota Tangerang, Banten. Bersama para pendukungnya Sandiaga satukan suara bernyanyi "Indonesia Prabowo, Indonesia Sandiaga Uno, Indonesia Prabowo, Indonesia Sandiaga Uno".
Foto: Prabowo-Sandi Media Centre
Dihadiri elit partai hingga pimpinan ormas
Dalam kampanye yang diikuti oleh ribuan pendukung paslon 02 tersebut turut hadir pula beberapa tokoh seperti Ketua FPI Ustaz Sobri Lubis, Ustaz Deri Sulaiman, Rhoma Irama, Narji hingga jubir BPN Andre Rosiade. Prabowo Subianto sendiri tidak hadir dalam kampanye tersebut dan dijadwalkan bertemu Sandiaga pada program debat malam ini. yp/hp (kompas, detik)
Foto: Prabowo-Sandi Media Centre
5 foto1 | 5
Belum lagi misalnya rekrutmen KPPS yang relatif terlambat. Itu juga saya kira yang menjadi kontribusi upaya kita kurang optimal dalam menyaring petugas. Makanya diturunkan menjadi usia 17 tahun dengan harapan supaya banyak orang muda yang lebih terlibat. Tapi orang muda itu kan juga harus dipersiapkan misalnya melalui kolaborasi sinergisitas dengan organisasi kepemudaan. Tapi kalau waktunya mepet dalam proses rekrutmen, maka akhirnya orang-orang yang terlibat di kepengurusan adalah orang-orang yang ada di kepengurusan RT/RW. Dan kita tahu orang-orang yang terlibat di RT/RW adalah orang-orang yang relatif lebih senior.
Kalau saya mendengar dari pengakuan banyak petugas, mereka sendiri tidak membayangkan bahwa beban kerja mereka itu akan melampaui 16,5 jam. Jadi 16,5 jam itu waktu minimal. Mayoritas mereka melampaui waktu itu. 16,5 jam itu waktu standar.
Bukan hanya KPU ya yang luput memotret detil-detil dan beban tambahan di lapangan itu, tapi saya kira juga pembuat UU dan termasuk juga Perludem. Saya kira ini bisa disebut sebagai bencana nasional karena kita tentu tidak mengharapkan ini terjadi. Saat ini semua pihak harus mengambil tanggung jawab terutama aktor-aktor negara untuk memberikan penyelesaian yang betul-betul humanis untuk peristiwa ini.
Apa bentuk penyelesaian humanis yang Perludem harapkan dari pemerintah dalam masalah ini?
Saya kira negara harus menyatakan tanggung jawabnya ya. Minimal aktor-aktor negara itu secara terbuka menyatakan bertanggung jawab. KPU, pemerintah, pembuat undang-undang karena saya pikir semua ikut kontribusi dalam peristiwa ini. Saya kira harus menyatakan tanggung jawabnya terhadap peristiwa ini.
TPS Unik Meriahkan Proses Pemungutan Suara Pada Pemilu 2019
Agar warga lebih antusias dalam memberikan suaranya pada Pemilu 2019, sejumlah Tempat Pemungutan Suara (TPS) berlomba percantik diri. DW kunjungi sejumlah TPS di tanah air.
Foto: DW/M. R. Djafar
Superhero Avengers meriahkan TPS
TPS di Kelurahan Sempidi, Kabupaten Badung, di Bali ini mengusung tema Superhero. Para superhero dari Marvel ini siap “mengamankan“ jalannya proses pemungutan suara dari belakang bilik suara. TPS ini mencatat ada sebanyak 294 peserta pemilu yang terdaftar pada Data Pemilih Tetap (DPT).
Foto: DW/K. Surya Sanjaya
Semangat berantas plastik
Panitia TPS 10 ini sengaja memgusung tema superhero sebagai pahlawan yang akan berjuang memerangi sampah plastik. Warga juga dibekali dengan tas belanja di akhir pencoblosan. Bali menargetkan kurangi sampah plastik hingga 70 persen melalui Pergub yang berlaku sejak 1 Januari 2019.
Foto: DW/K. Surya Sanjaya
Tampil maksimal dengan baju adat
TPS di Sulawesi Selatan ini makin meriah dengan lantunan lagu-lagu nasional sepanjang proses pemungutan suara. Para panitia baik wanita dan pria di TPS 04 di Kelurahan Bombongan, Tana Toraja ini juga tampil maksimal dengan baju adat Toraja. Ada sebanyak 225 DPT di TPS ini.
Foto: DW/J. Tonapa
TPS ala pengantin
Masih dari Sulawesi Selatan, panitia di TPS 03 kelurahan La’latang, Kecamatan Tallo tak mau lewatkan pesta demokrsi lima tahunan ini tanpa kehadiran pakaian adat suku Bugis. TPS juga mendapat dekorasi berupa pernak-pernik ala pengantin Bugis.
Foto: DW/N. Amir
TPS berwarna emas
Warna emas tak hanya mendominasi dekorasi, tapi juga busana panitia. Seluruh panitia pria menggunakan Songkok atau penutup kepala pria dan dilengkapi dengan sarung sutra Bugis. Sebanyak 306 warga terdaftar jadi pemilih tetap di sini.
Foto: DW/N. Amir
Naga lambang kekuatan
TPS 08 yang terletak di Jalan Kemenangan III, Kecamatan Taman Sari, Jakarta Barat ini merupakan TPS percontohan. Kecamatan Taman Sari ini didominasi oleh komunitas etnis Tionghoa. Itulah sebabnya, ornamen Tionghoa dipilih untuk mempercantik TPS, selain tentunya bendera merah-putih.
Foto: DW/M. R. Djafar
Warga juga ikut berkostum
Jay Sen Ye, salah seorang warga sengaja hadir dengan tampil maksimal mengenakan kostum ala dewa rezeki dari Cina. Ornamen naga juga digantungkan di TPS yang dihadiri 295 DPT tersebut. Naga adalah figur yang turut diagungkan dalam budaya Tionghoa, sebab naga bermakna kekuatan dan martabat.
Foto: DW/M. R. Djafar
Sarapan di TPS
Untuk warga yang belum sempat sarapan, maka panitia di TPS 06, Desa Cilame, Bandung menyediakan buah pisang sebagai santapan sebelum warga memberikan hak suaranya. Tak tanggung-tanggung, sebatang pisang pun diangkut ke TPS, selain buahnya bisa langsung dipetik warga, kehadirannya juga mempercantik lokasi pemilihan.
Foto: DW/I. Baruna
Anak-anak senang di TPS
Penitia juga telah mengantisipasi kehadiran warga yang datang membawa serta anak mereka. Aneka permen digantung memagari TPS. Ada 237 warga tercatat sebagai pemilih tetap di Kabupaten Bandung Barat ini. (ga/ts)
Foto: DW/I. Baruna
9 foto1 | 9
Yang kedua, memang korban jiwa tidak akan sepadan dengan nilai kompensasi yang akan mereka terima. Tetapi ada keluarga yang ditinggalkan. Itu menurut saya yang harus dipikirkan oleh negara. KPU mengatakan negara sudah menyetujui kompensasi 36 juta bagi para korban. Saya kira dari sisi angka itu tidak akan pernah bisa menggantikan jiwa seseorang yang harus meninggalkan keluarga dan lain sebagainya. Tetapi bagaimana pun, itu harus diberikan. Termasuk juga korban sakit dan korban kecelakaan kerja, baik kecelakaan ringan maupun kecelakaan berat. Dan kemudian apresiasi dan penghargaan imateriil yang harus kita pikirkan. Mereka bukan hanya menyelamatkan pemilu Indonesia tapi juga menjaga nama baik marwah bangsa sebagai negara demokrasi. Saya kira itu yang harus kita berikan dan abadikan kepada lebih dari 300 korban ini, dan yang terpenting evaluasi semua pihak terhadap proses pemilu, terutama pembentuk undang undang. Ini harus menjadi pembelajaran bahwa membuat UU pemilu tidak boleh tergesa-gesa dan harus murni didasarkan dengan itikad baik. Dari sisi sistem harus dapat diaplikasikan dan bisa dijalankan di lapangan.
Diskusi Pemilu Presiden 2019 Ala Milenial Indonesia di Jerman
Diskusi seputar Pemilu 2019 kerap mereka lakukan. Dengan diskusi yang mengedepankan nilai positif dari masing-masing calon presiden, mereka percaya Pemilu 2019 akan menjadi pesta demokrasi yang meriah dan menyenangkan.
Foto: DW/R. A. Putra
Pengalaman berharga
Mengikuti Pemilu 2019 di luar negeri yang akan dialami pertama kali oleh empat sekawan Ardan, Qinta, Sina dan Kevin membuat mereka bersemangat. “Kami antusias sekali pada Pemilu ini, ditambah lagi kami sedang di luar negeri, suasananya berbeda, cara memilihnya berbeda,” kata mahasiswa Indonesia bernama lengkap Hamzah Shafardan tersebut.
Foto: DW/R. A. Putra
Berdiskusi untuk masa depan Indonesia
Kondisi politik Indonesia serta banyaknya berita hoax, mendorong mereka sering mengadakan diskusi membahas pemberitaan seputar Pemilu Presiden 2019. “Kita biasa lihat berita dari media sosial contohnya Instagram atau Youtube tentang Pemilu Presiden. Dari situ muncul diskusi tentang kandidat mana yang pantas kita pilih,” kata mahasiswa Universität Bonn asal Tangerang, Kevin Olindo.
Foto: DW/R. A. Putra
Tukar pikiran tentang calon presiden
Dikotomi politik yang begitu kentara di tanah air terkadang membuat mereka jengah. Menurut Qinta Kurnia Fathia “Kita semua pasti menginginkan pilihan yang terbaik, jadi lebih baik kita bertukar pikiran berfokus pada nilai positifnya dibanding saling menjatuhkan”.
Foto: DW/R. A. Putra
Saling menghormati pilihan masing-masing
Walau mereka sering berdiskusi, pilihan politik masing-masing individu tentu berbeda. Namun mereka tidak pernah mempersoalkan hal tersebut. “Bila kita memperdebatkan pilihan politik orang lain, itu tidak etis. Setiap orang memiliki hak untuk berpendapat dan memilih sesuai yang ia yakini,” kata Ardan.
Foto: DW/R. A. Putra
Pendidikan yang utama
Sebagai mahasiswa mereka sangat berharap, presiden yang terpilih nantinya akan makin memperhatikan dunia pendidikan di Indonesia. Seperti yang diungkapkan Sinatryasti Purwi Agfianingrum, “yang jelas presiden yang bisa membawa Indonesia ke arah yang lebih baik, juga dapat meningkatkan mutu sumber daya manusianya melalui pendidikan”. (Rizki Akbar Putra/yp/as)
Foto: DW/R. A. Putra
5 foto1 | 5
Lantas, seperti apa desain pemilu rasional yang Perludem gagas?
Kami usulkan dua pemilu serentak dengan durasi waktu jeda 2,5 tahun. Jadi yang pertama pemilu serentak nasional tiga surat suara, jadi DPR, DPD dan presiden/wakil presiden. Kenapa usulnya digabungkan presiden, DPR dan DPD? Karena efek elektoral, pemilih cenderung memilih partai politik yang mengusung calon presiden yang juga dia pilih agar presiden terpilih juga mendapat dukungan yang baik dari parlemen itu tetap harus dipertahankan. Dengan catatan ambang batas pemilihan presiden atau yang dikenal dengan presidential threshold juga harus dihapuskan. Sehingga partai itu bisa optimal untuk berkampanye untuk pilpres sendiri yang dia usung dan juga berkampanye untuk pemilu legislatif DPR.
Lalu 30 bulan setelah pemilu nasional dilaksanakan pemilu daerah. 4 surat suara, untuk memilih DPRD Propinsi, DPRD Kabupaten/kota, Gubernur, Bupati dan Walikota. Tapi harus dipertimbangkan untuk pemilu serentak daerah karena ada 4 surat suara yang dikelola ya. Gubernur, bupati/walikota calonnya kan relatif lebih sedikit. Tidak ada yang lebih dari puluhan. Juga perlu dipertimbangkan bahwa petugas untuk pemilu serentak daerah juga ditambah jumlahnya, sehingga manajemen untuk tata kelola TPS itu menjadi maksimal. Tetapi apapun itu, kebijakan apa pun itu tidak boleh diputuskan secara tergesa-gesa. Dan yang kedua bagaimana tata kelola pemilu yang dapat dikelola, dan diaplikasikan di lapangan. UU pemilu harus inklusif, tidak boleh disahkan secara tergesa-gesa, harus mendengar semua pemangku kepentingan terutama penyelenggara beserta evaluasinya dan betul-betul harus didasari dengan itikad baik bahwa UU pemilu yang akan datang adalah UU yang memang berjuang untuk membawa praktik pemilu yang jurdil dan demokratis.
Wawancara dilakukan oleh Jurnalis Deutsche Welle Nurzakiah Ahmad.
Titi Anggraini adalah Direktur Perludem (Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi). Perludem adalah organisasi nirlaba mandiri yang menjalankan riset, advokasi, pemantauan, pendidikan dan pelatihan di bidang kepemiluan dan demokrasi untuk pembuat kebijakan, penyelenggara, peserta, dan pemilih, yang sumber dananya berasal dari penggalangan serta bantuan lain yang tidak mengikat. Perludem memiliki visi terwujudnya negara demokrasi dan terselenggarakannya Pemilu yang mampu menampung kebebasan rakyat dan menjaga kedaulatan rakyat.
Pemilu Serentak WNI di Jerman
WNI yang tinggal Jerman mendatangi tiga Tempat Pemungutan Suara yang disediakan oleh Panitia Pemilihan Luar Negeri (PPLN) di Berlin, Hamburg dan Frankfurt pada Sabtu (13/04), untuk tunaikan hak demokrasi mereka.
Foto: DW/S. Caroline
Warga antusias
Suhu udara yang hanya empat derajat celcius di Frankfurt tidak membuat antusiasme warga surut untuk mendatangi TPS.
Foto: DW/C. Kusumawati
Pemilih di Hamburg
Surat suara yang tersedia di TPS di Hamburg berjumlah 1.035 sudah dengan surat cadangan 2% dari kebutuhan DPT TPS.
Foto: KJRI Hamburg
Dubes Indonesia untuk Jerman ikut memilih
Dubes Indonesia untuk Jerman, Arif Havas Oegroseno, memasukkan surat suaranya ke kotak suara di TPSLN di Berlin.
Foto: DW/S. Caroline
Contoh surat suara
Contoh surat suara untuk pemilihan calon anggota legislatif berikut cara pemilihan yang dianggap sah.
Foto: DW/G. Anggasta
Surat suara tersegel
Logistik pemilu termasuk surat suara yang masih tersegel siap menanti para pemilih yang berhak mencoblos pada Sabtu (13/04) di Jerman.
Foto: DW/S. Caroline
Antusiasme pemilih muda
TPS di Berlin banyak didatangi kaum muda dan para pelajar Indonesia, slaah satunya yaitu Giovenny Rebeccamari Winardi (20) pelajar di Technische Universität Berlin.
Foto: DW/S. Caroline
Persiapan di TPS sejak dini hari
Berdasarkan pengamatan tim Deutsche Welle, panitia sudah terlihat membangun TPS mulai pukul 5 pagi waktu setempat. Berbagai logistik pemilu hingga makanan juga mulai dipersiapkan.
Foto: DW/G. Anggasta
Pemilu serentak
Dalam pemilu kali ini, warga memilih calon presiden dan wakil presiden sekaligus anggota legislatif. (Teks dan Foto: Arti Ekawati, Anggatira Gollmer, Sorta Caroline, Geofani Anggasta, Caesaria Kusumawati)