1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
SejarahBelanda

Raja Belanda: Permintaan Maaf Awali Proses Panjang

26 Desember 2022

Raja Willem-Alexander menyambut permintaan maaf pemerintah Belanda atas praktik perbudakan selama 250 tahun kolonialisme. Dia menyebut langkah tersebut sebagai “awal dari sebuah perjalanan panjang.”

Raja Wilhelm-Alexander (ka.) dan Ratu Maxima
Raja Wilhelm-Alexander (ka.) dan Ratu MaximaFoto: Stefan Zeitz/imago images

Pernyataan Raja Willem-Alexander itu diungkapkan dalam sebuah pidato menyambut Hari Natal, Minggu (25/12). Awal pekan lalu, Perdana Menteri Mark Rutte secara resmi meminta maaf atas praktik perbudakan oleh pemerintah Belanda, yang dicapnya sebagai "kejahatan terhadap kemanusiaan.”

"Tidak seorangpun yang hidup saat ini bertanggungjawab atas tindakan tidak manusiawi yang dikenakan terhadap para pria, perempuan dan anak-anak,” kata Willem-Alexander di Istana Huis ten Bosch di ibu kota Den Haag. 

"Tapi dengan secara jujur menghadapi sejarah kita bersama dan mengakui adanya kejahatan terhadap kemanusiaan, yaitu perbudakan, kita merintis masa depan untuk semua. Sebuah masa depan, di mana kita menolak semua bentuk diskriminasi, eksploitasi dan ketidakadilan.”

"Permintaan maaf yang disampaikan pemerintah adalah awal dari sebuah perjalanan panjang.”

Minim tindakan konkret

Tahun depan, pemerintah Belanda sudah merencanaan sejumlah acara peringatan dan menjanjikan dana sebesar 200 juta Euro untuk berbagai inisiatif sosial. 

Willem-Alexander mengaku sejarah perbudakan akan mendominasi agenda monarki dan berjanji bahwa anggota keluarga kerajaan akan "terlibat” aktif dalam proyek nasional ini.

Meski begitu, warga keturunan budak di Pulau Sint Maarten di Karibik dan Suriname di Amerika Selatan mengritik sikap pemerintah Belanda yang menjauhi dialog. Salah satu titik perselisihan adalah uang kompensasi.

"Saya tidak melihat adanya tindakan nyata oleh Belanda dan ini disayangkan,” kata Iwan Wijngaarde, kepala Federasi Afro-Suriname kepada AFP. "Apa yang kurang adalah tanggungjawab dan pengawasan,”imbuh Armand Zunder, Presiden Komisi Reparasi Nasional Suriname.

Perbudakan di Nusantara

Belanda mencatat "masa keemasan” pada abad ke16 dan 17, di tengah puncak kolonialisme. Saat itu, kerajaan di Den Haag menguasai dua wilayah kepulauan di Hindia Timur dan Barat atau Karibik.

Menurut PM Rutte, hingga tahun 1814 lebih dari 600.000 orang budak Afrika dikirim Belanda ke wilayah jajahannya di Amerika Selatan, terutama "Suriname, Curacao dan St. Eustatius,” kata dia, Senin (19/12) lalu. 

Tapi ketika sejarah perbudakan transatlantik oleh Belanda sudah banyak dikenal, perdagangan manusia di bekas koloninya di Asia cendrung minim penelitian. 

Perbudakan di Asia Tenggara, termasuk Nusantara, sudah membumi sejak sebelum era koloniaisme. Namun fenomena ini baru membludak sejak kedatangan pedagang Eropa sekitar tahun 1500. Kebanyakan budak dijualbelikan sebagai buruh kasar atau pelayan rumah tangga.

Belanda secara resmi melarang perbudakan pada 1860 di Asia dan 1863 di Amerika. Meski demikian, praktik perbudakan terus dilakukan secara tidak langsung, terutama di Indonesia. Menurut perkiraan pakar sejarah, praktik perbudakan oleh Belanda hingga awal abad ke 20 di Asia jumlah korbannya jauh lebih banyak ketimbang budak dari Afrika.

rzn/as (rtr,ap)

Lewatkan bagian berikutnya Topik terkait