Membaca adalah pengalaman tak tepermanai. Karena itu, jangan lewatkan untuk menikmati detik-detik membaca sebagai penyingkapan pengetahuan dan wawasan yang bersifat personal. Berikut opini Zacky Khairul Umam.
Iklan
Jika anda, terutama tokoh publik dan pejabat, berkunjung ke sebuah kota di negara maju, kurang afdal jika tak menginjakkan kaki ke perpustakaan umum. Hanya untuk melihat-lihat saja tidak mengapa. Syukur-syukur Anda mendaftar sebagai anggota, barang untuk sebulan saja. Setidaknya, Anda memiliki souvenir berupa satu kartu perpustakaan ternama di dunia.
Lebih tinggi lagi derajatnya jika Anda menelusuri rak-rak buku, sesuai dengan bidang yang anda minati, dan lalu mengambil sebuah buku berdasarkan momen eureka, “Aha ini dia buku bagus!” Membaca adalah pengalaman tak tepermanai. Karena itu, jangan lewatkan untuk menikmati detik-detik membaca sebagai sebuah revelation yang bersifat personal.
Bagi pencinta buku dan pengetahuan, mereka bisa betah menempati level tertinggi sebagai pembaca sekaligus peneliti. Tak hanya buku cetak saja, mereka juga harus memasuki ruangan buku langka dan koleksi arsip serta manuskrip. Memasuki ruangan ini seperti menemukan harta karun, dan tenggelam di dalamnya adalah sebuah keasyikan. Ada kalanya mereka terjerembab ke dalam teks-teks klasik yang ditulis tangan disertai dengan hiasan iluminasi yang indah. Ada kalanya pula mereka cukup bahagia melihat buku sebagai codex yang hidup: aspek materialitas buku yang mempunyai nilai historisnya sendiri.
Gambaran seperti ini tidak hanya dijumpai di kota-kota Eropa modern. Jika anda berziarah ke dunia Muslim, seperti Teheran, Kairo, dan Istanbul, anda dapat menjumpai himpunan pembaca yang berebut tempat duduk di banyak perpustakaan umum. Perempuan pun menghiasai, bahkan sering mereka lebih banyak sebagai pembaca ketimbang lelaki. Memang, tak seperti di Eropa atau Amerika, di negeri Muslim, mahasiswa pascasarjana secuil yang mendapatkan meja kerja. Sehingga mereka berbondong-bondong untuk berebut tempat duduk di perpustakaan umum.
Di antara mereka tak secuil yang membaca arsip dan manuskrip, seringkali dengan paleografi aksara Arab yang tak mudah diungkap. Ini mengingatkan kita pada sosok cantik jelita Lubna dari Kordoba, ahli tata bahasa dan penyair yang sekaligus menjabat sebagai kepala perpustakaan. Pada abad ke-10, Lubna beserta figur Yahudi terkemuka Abu Yusuf ben Yitzhak ben Ezra, beken sebagai Hasdai ben Shaprut, mendirikan perpustakaan agung di Madinat al-Zahra, kota-istana menawan yang disponsori khalifah Abdurrahman III al-Nasir.
Tak salah jika menganggap perpustakaan sebagai jantung dari peradaban Islam. Konrad Hirschler, guru besar sejarah Islam di Berlin, mengungkap kajian menarik. Pada abad ke-13, sebuah perpustakaan minor saja menyimpan 2000 buku. Biasanya banyak buku/manuskrip terdiri dari beberapa judul, entah dengan penulis sama, tema serupa, atau penulis berbeda. Hirschler mengemukakan bahwa jumlah ini sangat fantastik jika dibandingkan dengan banyak perpustakaan Eropa yang masing-masing hanya menyimpan kurang lebih 500 buku. Menjelang akhir abad ke-15, himpunan perpustakaan Universitas Cambridge menyimpan kurang dari 2000 judul. Jika sebuah perpustakaan kecil di Damaskus saja menyimpan sebanyak itu, bagaimana dengan perpustakaan besar?
Menyelamatkan Naskah Islam Kuno Timbuktu
Ketika kelompok Islamis menaklukkan Mali utara pada tahun 2012, ribuan naskah bersejarah terancam hancur. Tapi rakyat Mali memahami pentingnya nilai warisan budaya mereka dan mengorganisir penyelamatan.
Foto: DW/P. Breu
Harta Karun Bersejarah
Naskah kuno dari Timbuktu memiliki nilai sejarah yang tak ternilai, yakni penelitian ratusan tahun tentang Islam. Dahulu kala, Timbuktu adalah Pusat Studi Islam dan Al Quran di Afrika.
Foto: DW/P. Breu
Naskah Diamankan
Tahun 2012, situs bersejarah di Mali Utara mulai dihancurkan kelompok ekstrimis. Untuk menyelamatkan dokumen penting itu, banyak naskah diselundupkan dari Timbuktu ke ibukota Bamako. Di sana, naskah disimpan di sebuah gedung apartemen, dalam kotak logam, menunggu untuk didigitalisasikan serta diawetkan.
Foto: DW/P. Breu
Menyelamatkan Naskah
Abdel Kader Haidara memimpin operasi penyelamatan. Pemilik perpustakaan keluarga ini tidak hanya menyelamatkan naskah-naskahnya sendiri, tetapi juga semua dokumen yang terancam mengalami kehancuran di Timbuktu.
Foto: DW/P. Breu
Perpustakaan Digital
Dalam sistem pengarsipan di Bamako, naskah didigitalisasi. Untuk mencapai tujuan ini, setiap halaman ditempatkan di bawah kamera, difoto, diperiksa dan kemudian dikatalogkan dalam arsip pusat. Raksasa internet Google telah menyatakan minatnya dalam penyimpanan naskah.
Foto: DW/P. Breu
Pengetahuan bagi Semua
Digitalisasi memiliki dua tujuan: Melestarikan naskah untuk anak cucu, sebagai antisipasi naskah aslinya yang rentan cuaca di Bamako. Tujuan keduanya, agar naskah ini tersedia untuk masyarakat umum. Sebelum konflik terjadi tidak ada proyek digitalisasi dokumen.
Foto: DW/P. Breu
Kotak Diukur
Setelah digitalisasi, naskah disimpan dalam kotak bebas asam, di mana dokumen bisa disimpan secara permanen. Karena setiap naskah memiliki formatnya sendiri, semua karton untuk naskah haruslah buatan tangan.
Foto: DW/P. Breu
Rak-rak Tetap Kosong
Tak ada buku lagi di perpustakaan Mamma-Haidara. Banyak yang berpendapat bahwa naskah-naskah lebih aman berada di Bamako. Namun kalangan lain berpendapat berbeda, status pusat budaya kota Timbuktu tanpa naskah-naskah ini jadi terancam.
Foto: DW/P. Breu
Perpustakaan Kosong
Institut Ahmed Baba dibangun dengan dana dari Aga Khan Foundation dan dengan dana dari Afrika Selatan serta Arab Saudi. Di sini, bukan hanya terdapat perpustakaan dan arsip, tetapi juga ada perangkat dan peralatan untuk pelestarian dan digitalisasi manuskrip.
Foto: DW/P. Breu
Peringatan
Ketika kelompok Islam datang, mereka ingin menunjukkan kekuatan mereka ke hadapan dunia Barat. Buku-buku dikumpulkan dan beberapa naskah dibakar di halaman Institut Ahmed Baba di Timbuktu. Sekitar 4000 jurnal hilang begitu saja. Sisa pembakaran sekarang disimpan di institut - sebagai peringatan.
Foto: DW/P. Breu
Timbuktu yang Terancam
Konflik pada tahun 2012 tidak hanya berdampak bagi dunia wisata di Timbuktu, namun juga budaya. Tampaknya Timbuktu sekarang benar-benar kehilangan, karena ada di kota ini hampir tidak ada naskah tersisa. Apakah naskah-naskah ini akan kembali ke Timbuktu, tidak jelas.
Foto: DW/P. Breu
Beberapa Naskah
Beberapa perpustakaan pribadi masih ada yang tersisa. Seorang warga Timbuktu, yang mewarisi dari kakeknya beberapa halaman naskah, dengan bangga memamerkan harta benda yang paling berharga.
Foto: DW/P. Breu
Masa Depan yang Tak Pasti
Situasi politik tetap tegang di Mali dan tentara Mali terlalu lemah untuk menjamin keamanan. Tahun 2012, banyak penduduk melarikan diri dari Timbuktu dan belum kembali karena tak percaya perdamaian akan berlangsung kekal. Kota ini memiliki masa depan yang tak pasti.
Foto: DW/P. Breu
12 foto1 | 12
Pentingnya arsip
Gambaran perpustakaan masa lalu itulah yang kini terus dihidupkan di kota-kota negeri Muslim. Terlebih ketika abad ke-19, berkat pengaruh Eropa, kesadaran arsip menjadi lebih penting lagi sebagai salah satu syarat modernitas. Sentuhan Eropa yang mulai bergeliat ikut mempengaruhi perkembangan perpustakaan di dunia Muslim, terutama karena kolonialisme atau misi Katolik terpelajar seperti ordo Jesuit dan Dominikan. Begitu halnya di Indonesia, perpustakaan dan arsip nasional kita, misalnya, merupakan warisan dari Belanda. Namun di dalamnya, jika kita sedikit mau berkunjung ke sana, kita menjumpai banyak koleksi yang dihimpun dari banyak perpustakaan di Aceh, Banten, dan pusat-pusat keislaman lainnya.
Aceh, wilayah yang dulu menguasai dunia Melayu, baik secara politik maupun transmisi pengetahuan, menyimpan khazanah perpustakaan yang sebetulnya menarik diungkap sebagai leitmotiv untuk “mencerdaskan kehidupan bangsa.” Dari Dayah Tanoh Abee, yang sempat kami kunjungi tahun lalu, menyimpan banyak sekali data-data tentang dinamika kebudayaan Muslim di Samudera Hindia.
Kita perlu meneladani figur nasional semacam Prof. Ali Hasjmy, yang tak hanya tekun menulis, melainkan pula mengayomi pelestarian budaya tulis, terutama naskah-naskah terbengkalai di Aceh. Kawan baik saya yang sedang mendalami filologi Aceh di Hamburg mengungkap kegelisahannya tetang praktik jual-beli manuskrip ke negeri jiran yang sangat haus akan identitas kebangsaan.
Jika upaya memelihara manuskrip saja tak mampu, bisa dipastikan bahwa kemampuan kita dalam mengelola perpustakaan masih sangat rendah. Kala Mas Jokowi masih menjabat sebagai gubernur Jakarta, ada slentingan berita beredar bahwa pejabat daerah yang malas akan dimutasikan ke perpustakaan. Ini menyiratkan sebuah pesan gamblang: perpustakaan adalah lembaga terbelakang yang tak punya arti.
Menyelamatkan 'Harta Karun' di Weimar
Perpustakaan Anna Amalia di Weimar, bukan hanya tujuan menarik bagi wisatawan, namun juga para peneliti Jerman dan manca negara. Perpustakaan ini juga rumah bagi ribuan naskah tulisan tangan yang amat penting.
Foto: imago/Karina Hessland
Situs penting UNESCO
Didirikan pada tahun 1691, Perpustakaan Anna Amalia di Weimar merupakan Situs Warisan Budaya Dunia UNESCO. Perpustakaan bergaya Rococo ini, adalah salah satu perpustakaan yang menyimpan karya-karya sastra, terutama dari Jerman, mulai dari dari Abad Pencerahan hingga periode Romantisisme. Ketika api melahap pepustakaan pada tanggal 2 September 2004, sejumlah teks berharga rusak atau hancur.
Foto: AP
Terlalap api
Sebenarnya sudah ada rencana merenovasi perpustakaan ini pada tahun 2004, namun akhirnya terhambat insiden kebakaran. Kedua bagian di bawah atap dalam perpustakaan ditelan api. Bukan hanya Weimar, tapi penggemar sastra di seluruh dunia dikejutkan oleh tragedi ini. Diduga, kebakaran tersebut disebabkan oleh sambungan listrik yang rusak.
Foto: picture-alliance/dpa
Kehancuran situs budaya
Sebagian dari ruang Rococo itu hancur oleh api, sedangkan bagian lain dari gedung itu rusak parah akibat air yang digunakan untuk memadamkan api. Sekitar 50.000 buku sejarah hilang, sementara 62.000 buku lainnya rusak oleh api dan air.
Foto: picture alliance/dpa
Pemulihan dramatik
Ketika api melahap perpustakaan ini pada tahun 2004, teks penting Nicolaus Copernicus, "De Revolutionibus orbium coelestium, Libri VI" (1543), hilang. Tapi tanggal 15 Agustus 2014, direktur perpustakaan Michael Knoche mengumumkan telah menemukannya di antara karya yang direstorasi. Buku Copernicus itu memegang bukti bahwa bumi berputar pada porosnya sendiri dan berputar mengelilingi matahari.
Foto: Candy Welz/Klassik Stiftung Weimar
Menyelamatkan yang tersisa
Ini penampakan perpustakaan setelah api dipadamkan. Api menghancurkan seperlima buku sejarah dan sepersepuluh dari total datu juta buku di perpustakaan itu. Direktur perpustakaan, Michael Knoche dan karyawannya hanya mampu menyelamatkan 28.000 buku - termasuk kitab Luther yang berharga.
Foto: picture-alliance/dpa
Jejak Goethe di perpustakaan
Inilah perpustakaan Anna Amalia sebelum kebakaran. Putera Anna Amalia, Karl August, yang merupakan bangsawan Sachsen-Weimar, memperluas perpustakaan ini tahun 1775. Dua tahun kemudian, ia meminta Johann Wolfgang von Goethe untuk mengurusi perpustakaan itu hingga tahun 1832.
Foto: picture alliance/dpa
Puluhan juta Euro terkucur
Sebanyak 38,8 juta euro sumbangan dan dana publik plus swasta telah dikumpulkan sejak tahun 2004 untuk pemulihan perpustakaan. Dari jumlah itu, sudah habis 20 juta euro. Perpustakaan ini dibuka kembali pada 24 Oktober 2007 - tapi restorasi diperkirakan akan terus berlanjut selama 15 tahun ke depan.
Foto: picture-alliance/dpa
Satu demi satu dipulihkan
36,000 buku telah tersedia kembali dengan bantuan teknologi terbaru. Tapi pemulihan buku yang rusak sangat parah masih dalam proses. Sepertlima dari 50 ribu buku Yang rusak masih bisa dipulihkan lagi, tapi buku ynag unik banyak juga ynag teka terselamatkan.
Foto: picture-alliance/dpa
Perluasan gedung
Lima bulan setelah kebakaran perpustakaan terbesar dalam sejarah pasca-perang, perluasan yang modern dari gedung perpustakaan Anna Amalia (lokasinya terletak berdekatan dengan bangunan yang rusak ) dibuka pada Februari 2005. Cakupannya lebih dari dari 100.000 multimedia. Bagian baru ini juga termasuk dua kamar bawah tanah yang terhubung dengan perpustakaan tua tersebut.
Foto: picture alliance/dpa
Menjadi ruang baca
Bagian yang hancur dari ruang bergaya Rococo di perpustakaan tua itu tidak dikembalikan ke bentuk aslinya, namun dibangun kembali sebagai ruang baca. Naskah, tulisan tangan, dan lainnya dapat ditemukan di sini. Dalam foto di atas, bagian yang terbakar dan dipulihkan terlihat jelas.
Foto: Klassik Stiftung Weimar
Penting bagi penelitian
Perpustakaan Anna Amalia tidak hanya menjadi tujuan favorit bagi wisatawan, tetapi juga bagi para peneliti dari Jerman dan luar negeri. Perpustakaan ini berfokus pada sastra Jerman dari Abad Pencerahan hingga periode Romantisisme. Di antara 'harta karun‘ ini terdapat 2.600 naskah tulisan tangan, 8600 peta dan 29 bola dunia, serta dengan berbagai rekaman suara, microform & dokumen elektronik.
Foto: imago/Karina Hessland
11 foto1 | 11
Pantas saja jika literasi bangsa kita rendah, baik literasi aksara dan/atau pengetahuan Arab maupun Latin. Anak-anak sekolah, ilustrasi lainnya, lumrahnya hanya menghapal judul karya sastra kita, dan sedikit yang disuguhkan untuk membacanya tuntas.
Belum banyak penulis di tanah air yang menulis novel yang bisa menjebak pembacanya ke dalam dunia perpustakaan seperti novelis Orhan Pamuk, Jostein Gaarder, atau Donna Leon, menyampaikan pesan lain tentang realitas sosial kita; yakni, larut dalam dunia buku identik dengan manusia kuno dengan masa depan yang tak menjanjikan. Kita terjebak dalam tren digital sehingga lebih mementingkan untuk meramaikan perpustakaan digital.
Bagaimanapun, seperti di negeri maju, menghidupkan perpustakaan umum tetap yang terpenting. Kita, setidaknya di kota-kota besar, orang berlomba-lomba mengoleksi buku dan menyusun perpustakaan pribadi, kemudian menjadi prestise sosial tersendiri. Perpustakaan swasta yang baik tak banyak yang bertahan lama.
Abnormal tanpa perpustakaan berkualitas
Sedikit yang berupaya untuk menghidupkan perpustakaan sebagai kristal pengetahuan seperti Universitas Indonesia, meskipun masih banyak pekerjaan untuk menghidupkan jiwanya. Dan ironisnya, dari banyaknya anggaran pendidikan kita, banyak terserap ke pembentukan lembaga baru, tetapi masih kurang untuk memperbesar kapasitas perpustakaan beserta sumber daya manusia di dalamnya.
Seorang kawan bahkan membisik, proyek pengadaan buku di kampus-kampus diselenggarakan secara asal-asalan. Tidak heran jika dunia pendidikan kita umumnya masih membisu pada tentara yang membubarkan perpustakaan jalanan di Bandung, 20 Agustus 2016 silam.
Detak jantung peradaban kita bisa tiba-tiba abnormal tanpa kualitas perpustakaan yang memadai. Apakah kita akan menggali khazanah keislaman tentang pustaka yang sangat kaya itu, atau meniru Barat mengenai manajemen perpustakaan mutakhir, adalah sebuah pilihan atau perpaduan yang tak bakal terwujud tanpa adanya kehendak, terutama kehendak politik dari negara.
Penulis: Zacky Khairul Umam
Ketua Tanfidz Nahdlatul Ulama di Jerman, kandidat doktor di Freie Universitaet Berlin.
*Setiap tulisan yang dimuat dalam #DWNesia menjadi tanggung jawab penulis.
#PustakaBergerak Tebar Buku Hingga ke Pelosok Terpencil
Di tengah maraknya pemberangusan buku, Pustaka Bergerak tak kenal lelah bangkitkan minat baca dengan perahu, motor, becak bendi,dll. hingga ke pedalaman. Di Mandar, Nusa Pustaka dibangun sekaligus jadi museum maritim.
Foto: Maman Suherman
Perpustakaan di Mandar
Nusa Pustaka adalah perpustakaan milik Muhammad Ridwan Alimuddin di Desa Pambusuang Kecamatan Balanipa, Kabupaten Polewali Mandar (Polman), Sulawesi barat yang diresmikan Maret 2016.
Foto: Maman Suherman
Armada pustaka
Mengandalkan Armada Pustaka untuk membuka ruang baca ke masyarakat Sulawesi Barat, Muhammad Ridwan Alimuddin mendirikan ativitas literasi lewat Nusa Pustaka di Kabupaten Polewali Mandar, Sulawesi Barat.
Foto: Maman Suherman
Ridwan, pejuang literasi
Muhammad Ridwan Alimuddin dulunya merupakan mantan wartawan. Ia punya kepedulian luar biasa terhadap buku dan usaha membangkitkan minat baca hingga ke pelosok.
Foto: M. Ridwan
Dengan perahu
Dengan perahu atau sampan, Ridwan berkelana membawa buku ke pulau-pulau kecil, agar bisa sampai kepada anak-anak di pelosok terpencil yang haus buku bacaan .
Foto: M. Ridwan
Museum maritim
Perpustakaan ini sekaligus merupakan museum maritim Mandar. Saat ini Perpustakaan Museum Nusa Pustaka mengoleksi lebih dari 6000 buku dan beberapa artefak kebaharian. Misalnya tiga unit sandeq, replika perahu, beberapa alat bantu kerja nelayan dan artefak bangkai perahu Mandar.
Foto: Maman Suherman
#TebarVirusLiterasi
Tujuan utama dibangunnya Nusa Pustaka adalah agar buku-buku dapat dimanfaatkan secara maksimal, mudah diakses masyarakat yang ingin membaca dan meminjam buku setiap saat.
Foto: Maman Suherman
Bisa membaca dimana saja
Nusa Pustaka itu menampung sedikitnya 6.000 buku bacaan, baik buku sastra, komik, budaya, maritim, maupun buku ilmu pengetahuan umum. Anak-anak bisa membaca di mana saja dengan santai, bahkan di luar perpustakaan.
Foto: Maman Suherman
Dukungan sahabat
Motivator dan penulis Maman Suherman setia menemani perjuangan Ridwan. Ketika Maman ikut berlayar bersama perahu pustaka, perahu terbalik di lautan pada 13 Maret 2016, tepat pada hari peresmian Nusa Pustaka. Hampir semua warga di pantai bergegas berupaya menyelamatkan mereka dan buku-buku yang karam ke laut.
Foto: DW/M. Ridwan
Minat besar
Masyarakat setempat khususnya anak-anak amat antusias menyambut Nusa Pustaka. Bahkan ketika masih persiapan pembangunannya pun beberapa pelajar setiap hari sudah mampir ke Nusa Pustaka untuk bisa membaca buku.
Foto: Maman Suherman
Dukungan dari manca negara
David Van Reybrouck, sejarawan dari Belgia memberikan dukungan bagi inisiatif ini. Penulis karya sastra non-fiksi, novel, puisi dan drama ini berkunjung ke Nusa Pustaka dan berdiskusi dengan masyarakat setempat.
Foto: Maman Suherman
Andalkan berbagai armada demi ilmu pengetahuan
Armada Pustaka selain memiliki Perahu Pustaka, juga menyebar buku lewat Motor Pustaka, Sepeda Pustaka, Bendi Pustaka dan Becak Pustaka, yang menjadi tonggak gerakan literasi bersama.
Foto: Maman Suherman
Bendi pustaka
Delman atau bendi lazimnya juga disulap oleh para pegiat literasi ini menjadi perpustakaan keliling di Polewali Mandar, Sulawesi Barat.
Foto: Maman Suherman
Sang sais Bendi Pustaka
Rahmat Muchtar, keua dari kiri, adalah sais Bendi Pustaka. Ia berfoto bersama Maman dan Ridwan.