1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Persaingan Visi AS dan Cina di Asia Pasifik

William Yang
8 Juni 2022

Kunjungan Presiden AS Joe Biden baru-baru ini ke 4 negara Asia menegaskan lagi ambisinya di Asia-Pasifik sebagai “kekuatan demokrasi”. Tetapi Cina juga ingin tampil sebagai alternatif dengan menawarkan visi lain.

Pertemuan QUAD di Tokyo, Mei 2022
Pertemuan QUAD di Tokyo, Mei 2022Foto: Masanori Genko/The Yomiuri Shimbun/AP/picture alliance

Kunjungan perdana Presiden AS Joe Biden ke Asia pada bulan Mei lalu dipandang sebagai penegasan, bahwa tujuan kebijakan luar negeri jangka panjang Washington tetap terfokus pada Asia, bahkan ketika perang di Ukraina saat ini merebut perhatian global. Kunjungan empat hari Biden ke sekutu-sekutu utamanya di Asia, yakni Jepang dan Korea Selatan, juga merupakan upaya untuk memperbaiki hubungan dengan Seoul dan Tokyo yang rusak di bawah mantan Presiden Donald Trump.

Saat berada di Korea Selatan, Biden bertemu dengan Presiden Yoon Suk-yeol yang baru dilantik dan mencapai kesepakatan untuk memperkuat pengerahan aset militer AS ke Semenanjung Korea dan meningkatkan latihan militer bersama. Di Jepang, Biden bertemu dengan para pemimpin kelompok "Quad”, yang terdiri dari AS, Jepang, India dan Australia dan bertujuan untuk menyelaraskan kebijakan keamanan di Indo-Pasifik.

Menteri Luar Negeri AS Antony Blinken dengan jelas menyebutkan, ambisi geopolitik Beijing saat ini adalah "tantangan jangka panjang paling serius bagi tatanan internasional."

Ian Chong, ilmuwan politik di Universitas Nasional Singapura (NUS), mengatakan strategi Indo-Pasifik AS didasarkan pada standar-standar yang diakuinya, seperti tatanan demokrasi dan hukum serta aturan internasional. "Selama ada lebih banyak aktor yang menganut standar-standar ini” dan secara sukarela mematuhinya, hal itu dapat meningkatkan biaya bagi mereka yang ingin ikut dengan Cina.

Apa yang ditawarkan Beijing?

Selama bertahun-tahun, Cina telah bekerja untuk membangun apa yang disebutnya sebagai "alternatif dari tatanan internasional yang dipimpin AS” dan dianggapnya sudah ketinggalan zaman. Baru-baru ini, Beijing telah mengincar kemitraan dengan negara-negara kecil di Kepulauan Pasifik.

Menteri Luar Negeri Cina Wang Yi sebelumnya sudah melakukan tur 10 hari ke negara-negara kepulauan di Pasifik, antara lain untuk menandatangani kesepakatan perdagangan dan keamanan regional yang mencakup hal-hal seperti perdagangan, pelatihan polisi, dan ketahanan bencana.

Menlu Cina Wang Yi saat tiba di Kepulauan Solomon untuk menandatangani pakta keamanan dan kerjasama ekonomi, 26 Mei 2022Foto: AP Photo/picture alliance

"Jangan terlalu cemas dan jangan terlalu gugup, karena pembangunan dan kemakmuran bersama Cina dan semua negara berkembang lainnya akan berarti ada harmoni yang besar, keadilan yang lebih besar, dan kemajuan yang lebih besar bagi seluruh dunia," kata Wang Yi.

Pada September 2021, Cina mengajukan permohonan untuk bergabung dengan Perjanjian Komprehensif dan Progresif untuk Kemitraan Trans-Pasifik CPTPP, yang akan menjadikannya ekonomi terbesar dalam versi Kemitraan Trans-Pasifik (TPP) yang diperbarui.

TPP ditandatangani oleh 12 negara Lingkar Pasifik selama pemerintahan Obama, tidak termasuk Cina, sebagai perjanjian perdagangan bebas yang luas dan mencakup sekitar 40% dari PDB global. Tapi mantan Presiden Trump kemudian mengeluarkan AS dari pakta tersebut hanya beberapa hari setelah menjabat pada tahun 2017.

Namun, China sudah menjadi bagian dari kesepakatan perdagangan terbesar di dunia, Kemitraan Ekonomi Komprehensif Regional (RCEP), yang mencakup 10 anggota Perhimpunan Bangsa-Bangsa Asia Tenggara (ASEAN), Jepang, Korea Selatan, Australia, dan Selandia Baru. Itu tidak termasuk AS.

Kunjungan diplomatik Presiden AS Biden baru-baru ini telah meyakinkan sekutu tentang komitmen Washington untuk Asia. Tetapi China ingin menampilkan dirinya sebagai alternatif dari tatanan yang dipimpin AS.

Persaingan AS-Cina tidak terhindarkan?

Menlu AS Anthony Blinken menekankan, Washington tidak mencari konflik atau Perang Dingin baru, melainkan berniat untuk memperkuat hukum dan perjanjian internasional sehingga semua negara dapat "berdampingan dan bekerja sama" dalam "sistem internasional yang terbuka dan inklusif."

Blinken lebih jauh mengatakan, kebijakan AS tidak bermaksud menghalangi Cina dari perannya sebagai kekuatan global utama atau mencoba mencegah Beijing memajukan kepentingan rakyatnya. "Tetapi kami akan membela dan memperkuat hukum internasional, perjanjian, prinsip, dan institusi yang menjaga perdamaian dan keamanan, melindungi hak-hak individu dan negara berdaulat, dan memungkinkan semua negara — termasuk Amerika Serikat dan Cina — untuk hidup berdampingan dan kooperatif,” tegasnya.

Sedangkan Menteri Luar Negeri Cina Wang Yi mengatakan, pandangan Washington tentang Cina dan hubungan bilateral antara kedua ekonomi utama dunia itu telah menjadi "sangat kacau." Dia menuduh AS sebagai sumber kekacauan itu yang telah "mengguncang tatanan internasional saat ini."

Ian Chong dari NUS mengatakan, iklim politik di AS dan Cina saat ini, masih mempersulit kerja sama.

(hp/as)

 

Lewatkan bagian berikutnya Topik terkait