1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Persekusi Sistematis Terhadap Minoritas Bahai di Iran

9 Maret 2021

Keberadaan kaum Bahai di Iran sejak lama dianggap nista, dan sebabnya mengalami persekusi. Kini sebuah dokumen yang diterima DW mencatat betapa praktik diskriminasi dijalankan secara sistematis oleh negara.

Pengrusakan terhadap rumah warga Bahai di desa Ivel, 1 Mei 2007
Pengrusakan terhadap rumah warga Bahai di desa Ivel, 1 Mei 2007Foto: Bahá'í Persecution in Iran

Dokumen itu hanya berisikan dua lembar halaman, tapi mencatat salah satu kebijakan diskriminasi sistematis terhadap minoritas agama paling gencar di Iran. Di dalamnya, pemerintah kota Sari menyepakati tindak persekusi terhadap pengikut Bahai.

Bahai lahir di Iran pada abad ke19 dan kini memiliki lima juta pengikut di seluruh dunia. Tapi di tempat kelahirannya, menurut Utusan Khusus untuk isu HAM Jerman, Bärbel Kofler, penganut Bahai termasuk "minoritas yang paling dibatasi haknya. Mereka dianggap kelompok politis atau sekte, dan sebabnya dipersekusi," tulisnya kepada DW.

Menurut dokumen yang diterima DW itu, sebanyak 19 perwakilan pemerintah provinsi dan kota, kepolisian, lembaga pendidikan dan bisnism, serta dinas rahasia, bertemu dalam Komisi Etnik, Sekte dan Afama di Provinsi Mazandaran. Tujuan pertemuan itu adalah "untuk mengontrol gerakan menyimpang dari sekte Bahai."

Kedutaan Besar Iran di Berlin, Jerman, menolak berkomentar ketika ditanya perihal keberadaan dokumen tersebut. DW mendapat salinan dokumen dari organisasi HAM, Minority Rights Group, MRG, yang berkantor pusat di London, Inggris.

Bagi Direktur MRG, Joshua Castellino, isi protokol pertemuan mengejutkan, "karena membuktikan adanya strategi terpusat, di mana sebuah lembaga negara memberikan perintah persekusi terhadap Bahai kepada semua aktor pemerintah."

Protokol yang diterbitkan Kementerian Dalam Negeri Iran dalam menghadapi minoritas Bahai.Foto: DW

Hal serupa diungkapkan Wolfang Kaleck dari Pusat Hak Konstitusional dan Hak Asasi Manusia Eropa, ECCHR, di Berlin. Menurutnya, selama ini isu diskriminasi melawan minoritas Bahai sudah diproses oleh berbagai lembaga PBB.

"Tapi selama ini, pemerintah Iran bisa melepaskan tanggungjawab, dan mengatakan bahwa mereka tidak berurusan dengan praktik diskriminasi, melainkan gerakan tertentu di masyarakat yang menyerang kaum Bahai. Dokumen ini menjadi indikator, bahwa setidaknya di level provinsi, negara menjalankan kebijakan untuk mengucilkan kaum Bahai dari kehidupan publik," kata dia.

Perampasan tanah melalui pengadilan

Kasus di sebuah desa di Mazandaran menjadi contoh paling jelas. Desa Ivel menampung salah satu komunitas Bahai paling tua di dunia. Namun sejak 1983, warga Bahai perlahan diusir dari desa. Rumah mereka dihancurkan, sementara tanah mereka disita pemerintah.

Sejak itu pemerintah Mazandaran secara rutin mengirimkan bulldozer dan truk ke desa Ivel. Sebanyak 50 rumah warga Bahai tercatat dibuat rata dengan tanah. Pengusiran terhadap pengikut Bahai di Ivel diresmikan tahun lalu, ketika dua pengadilan membenarkan perampasan tanah oleh pemerintah.

Kuburan milik warga Bahai di Qorveh dibuat rata dengan tanah oleh pemerintah Iran, 14 Juli 2016Foto: Bahá'í Persecution in Iran

Akibatnya akhir Februari silam, warga Bahai menggelar kampanye di media sosial dengan tagar #ItsTheirLand yang memrotes perampasan tanah oleh Iran.

Menurut Kofler, pandemi corona "memperkuat diskriminasi politik, ekonomi dan sosial terhadap kaum Bahai." Dalam laporannya perihal nasib minoritas agama di seluruh dunia, pemerintah Jerman mencatat populasi pengikut Bahai di Iran mencapai 300.000 orang. "Mereka secara umum dianggap sebagai kaum penista agama. Dalam dakwaan di pengadilan, mereka dituduh membahayakan keamanan negara."

Persekusi hingga ke kuburan

Warga Bahai di Iran juga berulangkali menghadapi dakwaan mati, terutama di tahun-tahun pertama usai pendirian Republik Islam, kenang Heiner Bielefeldt, bekas Pemantau Khusus PBB untuk Kebebasan Agama dan Ideologi. Menurutnya, persekusi terhadap Bahai mencakup hampir semua lini kehidupan, " dan tidak berhenti setelah kematian."

"Apa yang terjadi adalah aksi pengrusakan terarah terhadap pemakaman. Tindakan tersebut bukan berbentuk corat-coret di kuburan seperti yang biasa dilakukan individu, melainkan penghancuran makam dengan menggunakan mesin penggilas."

Prof. Heiner BielefeldtFoto: Harald Sippel

Dia menyebut kebijakan pemerintah Iran sebagai "pengejaran sistematis dan teroganisir di setiap lini kehidupan," dengan tujuan "memusnahkan dan menghancurkan agama Bahai sampai ke akarnya."

Meski demikian, Bielefeldt juga mengakui bahwa "masyarakat Iran tidak terlibat secara langsung." Dia menegaskan "represi negara yang tahjam, tidak serta merta didukung oleh masyarakat." Hal ini terlihat ketika sejumlah pemuka Syiah mengritik perampasan tanah warga Bahai di Ivel.

"Iran mengabaikan kebebasan beragama," kata Bärbel Kofler kepada DW. "Padahal Iran sudah berkomitmen melindungi hak mereka lewat perjanjian internasional," imbuhnya merujuk pada konvensi internasional yang diratifikasi Iran empat tahun sebelum Revolusi Islam.

Konstitusi Iran saat ini tidak mengenal hak atas kebebasan beragama. Sebaliknya, UU Dasar yang menggantikan konstitusi 1906 itu mencantumkan Islam sebagai agama resmi, dan mentolerir keberadaan kaum minoritas agama. Kristen, Katolik, Yahudi atau Zoroaster termasuk di antaranya, kecuali agama Bahai.

rzn/hp

Lewatkan bagian berikutnya Topik terkait

Topik terkait

Tampilkan liputan lainnya