Studi menemukan air mungkin didistribusikan ke seluruh permukaan bulan di lebih banyak tempat dan jumlah lebih besar dari dugaan sebelumnya. Astronot masa depan bisa memanfaatkannya untuk minum atau bahan bakar roket.
Iklan
Dua studi terbaru yang diterbitkan di jurnal Nature Astronomy pada hari Senin (26/10), menunjukkan kemungkinan ada lebih banyak air daripada yang diperkirakan sebelumnya, termasuk es yang tersimpan dalam bayangan "perangkap dingin" permanen di daerah kutub bulan.
"Kami mengumumkan bahwa, untuk pertama kalinya, kami telah mengonfirmasi H2O di daerah yang diterangi matahari di bulan. Ini menunjukkan bahwa air mungkin tersebar di seluruh permukaan bulan," cuit NASA pada hari Senin (26/10) dari akun NASA Moon.
Selama beberapa dekade, bulan dianggap kering kerontang. Tetapi 11 tahun yang lalu, penelitian menemukan bahwa air relatif tersebar luas dalam jumlah kecil di sisi gelap bulan. Sebuah tim peneliti sekarang melaporkan deteksi jelas pertama dari molekul air di area yang diterangi matahari.
Bumi Tanpa Bulan
Bulan tanpa disadari, ikut mendikte fenomena cuaca dan kehidupan mahluk hidup di permukaan Bumi. Tapi apa yang terjadi jika Bulan tidak pernah terbentuk? Hasilnya adalah sebuah planet yang penuh fenomena ekstrim
Foto: picture-alliance/dpa/M. Schutt
Theia Membidani Kelahiran Bulan
Bulan telah mendampingi Bumi sejak 4,5 miliar tahun silam. Saat itu Bumi muda bertabrakan dengan obyek langit lain sebesar Mars yang bernama Theia. Peristiwa dahsyat itu melontarkan sebagian permukaan Bumi ke luar angkasa yang kemudian membentuk Bulan. Sebab itu Bulan dan Bumi memilikim komposisi geologi yang serupa.
Foto: picture-alliance/dpa/M. Schutt
Hidup Tanpa Pendamping
Tapi apa yang terjadi jika Theia tidak menghantam Bumi dan Bulan tidak pernah terbentuk? Benda langit satelit Bumi itu mempengaruhi kehidupan mahluk hidup lewat pantulan cahaya dan gaya gravitasinya. Tanpa kedua elemen tersebut wajah planet Bumi akan sama sekali berbeda. Inilah skenario yang dibayangkan ilmuwan jika Bumi tidak memiliki Bulan.
Foto: NASA
Samudera Hampa
Bukan rahasia lagi jika gaya gravitasi Bulan menjadi mesin penggerak pasang surut air lautdi Bumi. Tanpa gravitasi itu gelombang pasang di Bumi akan jauh lebih kecil lantaran Bumi hanya terpengaruh gaya gravitasi Matahari yang kekuatannya cuma 40% dibandingkan gravitasi Bulan.
Foto: picture-alliance/dpa/A. Lander
Malam Kelam
Tanpa cahaya Bulan, malam hari di permukaan Bumi akan terasa lebih gelap. Tanpa Bulan, obyek langit paling bercahaya di malam hari adalah planet Venus. Namun intensitas cahaya yang dipantulkan planet kecil itu 2000 kali lebih lemah dibanding cahaya bulan purnama. Tapi dengan bertambah gelapnya langit malam, manusia akan bisa melihat bintang dan galaksi dengan lebih jelas.
Foto: picture-alliance/dpa/F. Rumpenhorst
Separuh Matahari
Tanpa Bulan, siang hari di Bumi hanya akan berlangsung selama enam hingga 12 jam. Selain itu jumlah hari dalam satu tahun bisa mencapai 1.000-1.400 hari. Pasalnya gaya gravitasi Bulan memperlambat kecepatan rotasi Bumi. Saat ini pun rotasi Bumi melambat 1.4 millidetik setiap 100 tahun.
Foto: picture-alliance/chromorange
Petaka dari Langit
Rotasi Bumi yang semakin cepat berdampak pada pola cuaca. Ilmuwan meyakini tanpa Bulan, Bumi akan mengalami musim badai dua kali lebih panjang dan lebih intensif, akibat meningkatnya kecepatan angin dan turbulensi udara. Perbedaan massa pada pergerakan udara juga akan menggandakan jumlah petir.
Foto: Fotolia/Daniel Loretto
Sumbu Liar
Dampak paling dahsyat ada pada sudut kemiringan Bumi. Bulan ikut menjaga sudut kemiringan Bumi terhadap sumbu rotasi pada 23,5 derajat. Tanpanya, Bumi akan alami perubahan berkala sudut kemiringan yang bisa ubah wajah planet secara drastis. Wilayah tropis seperti Indonesia bisa menjadi kutub dan membeku, sebaliknya Antartika dan Arktik lumer dan menghijau. Mars adalah contoh fenomena sumbu liar
Foto: AP
Evolusi Satwa
Banyak satwa yang memanfaatkan cahaya bulan untuk berburu di malam hari, hiu adalah salah satunya. Jika Bumi tidak lagi bermandikan cahaya Bulan, satwa-satwa tersebut harus mencari cara lain untuk tetap bisa berburu mangsa di malam hari. Bayi penyu pun berorientasi pada cahaya bulan ketika menetas dan mencari jalan ke laut.
Foto: Fotolia/James Thew
8 foto1 | 8
Air minum, bahan bakar roket
Lebih dari 15.400 mil persegi (40.000 kilometer persegi) medan bulan memiliki kemampuan untuk memerangkap air dalam bentuk es, menurut kepala tim penelitian Paul Hayne dari University of Colorado. Hayne menjelaskan daerah itu kira-kira 20% lebih besar dari perkiraan sebelumnya.
Iklan
Ia menambahkan bahwa suhu di ''perangkap dingin'' ini sangat rendah yakni minus 261 derajat Fahrenheit (minus 163 derajat Celcius), yang berarti bisa menyimpan es selama jutaan atau bahkan miliaran tahun.
Dengan menggunakan data dari Lunar Reconnaissance Orbiter NASA, para ilmuwan menemukan perangkap dingin dari yang berukuran kecil beberapa meter, lebar 18 mil (30 kilometer), dan masih banyak lagi.
Penemuan ini meningkatkan prospek menggiurkan bahwa astronot dalam misi masa depan dapat memanfaatkan sumber daya ini untuk kebutuhan minum, dan mengubahnya menjadi hidrogen dan oksigen untuk bahan bakar roket atau oksigen untuk bernapas.
"Kami yakin ini akan membantu memperluas kemungkinan tempat pendaratan untuk misi pencarian air bulan di masa depan, membuka daerah yang sebelumnya dianggap 'terlarang' karena kering kerontang,'' kata Hayne kepada Associated Press.
Anggota tim penulis lainnya Casey Honniball dari Institut Geofisika dan Planetologi Hawaii, mengatakan air mungkin terperangkap dalam manik-manik kaca, atau zat lain yang melindunginya dari lingkungan bulan yang ekstrem. Dia mengatakan bahwa jika air ditemukan "cukup melimpah di lokasi tertentu", astronot mungkin dapat menggunakannya sebagai sumber daya untuk eksplorasi manusia.
Ilmuwan percaya air bulan berasal dari komet, asteroid, debu planet, angin surya, atau letusan gunung api bulan. Menurut Hayne, para peneliti akan memiliki pemahaman yang lebih baik tentang penemuan air di bulan "jika kita bisa turun ke permukaan dan menganalisis sampel es."