1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
Sosial

Pertanian Kakao, Cokelat Murah, dan Pekerja Anak

27 November 2020

Pekerja anak tetap menjadi masalah di pertanian kakao. Selama bertahun-tahun, industri cokelat berjanji untuk menghentikan praktik tersebut, tetapi sebuah studi baru menunjukkan bahwa hal itu justru meningkat.

Potret anak-anak yang bekerja di pertanian kakao
Foto: AP

"Jalan menuju neraka ditaburi dengan niat baik," kata pepatah terkenal, dan memang tidak ada niat baik untuk menghapus pekerja anak di pertanian kakao. Namun terlepas dari janji puluhan tahun lalu, praktik mempekerjakan anak masih terus dilakukan, seperti yang diungkap oleh sebuah studi dari lembaga penelitian NORD di Universitas Chicago, Amerika Serikat (AS).

Studi itu menyebutkan ada sekitar 1,6 juta anak di Pantai Gading dan Ghana dipekerjakan di pertanian kakao. Kedua negara tersebut merupakan penghasil kakao terbesar di dunia.

Di setiap kebun kakao di dua negara itu, anak-anak berusia lima tahun terpaksa bekerja lantaran orangtua mereka terlalu miskin untuk menyewa tenaga petani. Bahkan anak-anak juga melakukan pekerjaan yang lebih berbahaya, seperti menyiangi atau memanen kakao dengan parang.

Janji 20 tahun silam perusahaan kakao soal pekerja anak

Sejak sekitar 20 tahun lalu, produsen cokelat besar seperti Mars dan Nestle telah berjanji untuk mengakhiri bentuk-bentuk pekerjaan terburuk terhadap anak-anak. Mereka bahkan menetapkan tujuan dan tenggat waktu yang jelas dengan menandatangani Protokol Harkin-Engel pada tahun 2001.

Ketika target meleset, mereka berulang kali menunda. "Pada 2005, batas waktu diperpanjang hingga 2008, lalu 2008 hingga 2010," kata Johannes Schorling dari Inkota, jaringan kebijakan pembangunan yang berbasis di Berlin, Jerman.

Pada tahun 2010, target revisi diumumkan, dengan rencana mengurangi pekerja anak sebesar 70% pada tahun 2020. "Itu juga tidak terjadi, sebaliknya pekerja anak justru meningkat selama 10 tahun terakhir," kata Schorling kepada DW.

Menurut studi NORC, pekerja anak saat ini mencapai 45%, meningkat 14 poin. Dengan target pengurangan 70%, peningkatan seperti itu mungkin bisa disebut sebagai kegagalan total.

Terlalu ambisius?

Perwakilan industri kokoa, Richard Scobey lebih suka menjelaskannya secara lebih halus. “Pekerja anak masih menjadi masalah yang belum terselesaikan - dan target yang kami tetapkan pada tahun 2010 tidak sepenuhnya tercapai,” katanya kepada DW.

Scobey adalah Presiden World Cocoa Foundation (WCF), sebuah organisasi yang menaungi sekitar 100 perusahaan terkemuka, termasuk pengolah kakao seperti Barry Callebaut (Swiss), Olam International (Singapura), dan Cargill (AS). Organisasi itu juga mencakup produsen cokelat seperti Nestle (Swiss), Mars dan Hershey (AS) dan pengecer seperti Starbucks.

Menurut Scobey, target mengurangi pekerja anak itu bukan meleset karena industri kurang komitmen, tapi karena target (permintaan kakao) terlalu ambisius.

"Studi NORC mengakui bahwa target itu tidak realistis," kata Scobey. Ketika tujuan ditetapkan kembali pada tahun 2010, target itu "tidak ditetapkan dengan pemahaman tentang kompleksitas dan skala tantangan yang sangat didorong oleh kemiskinan, norma dan adat istiadat tradisional, kelemahan di pasar tenaga kerja, dan infrastruktur sosial, serta perekonomian yang buruk."

Tidak cukup produktif?

Namun saat ini lebih banyak informasi tentang bagaimana menghentikan pekerja anak, kata Scobey, berkat studi akademis seperti yang dilakukan oleh NORC (penelitian yang dibayar oleh Departemen Tenaga Kerja AS). Industri kakao juga sudah mendanai banyak program untuk mengatasi masalah tersebut, tambahnya.

Ini benar, kata Schoring dari jaringan LSM Inkota. "Tapi mengingat janji untuk menyelesaikan masalah ini dibuat 19 tahun lalu, terlalu sedikit yang (sudah) dilakukan."

Masalah besar bagi petani adalah rendahnya harga kakao yang diambil di pasar dunia. Dalam beberapa tahun terakhir, satu ton biji kakao menghasilkan lebih dari $ 2.000 (Rp 28,2 juta), hanya setengah dari harga yang diambil pada tahun 1970-an.

Oleh karena itu, para petani harus lebih produktif, kata Presiden WCF. "Investasi terbesar industri dalam 10 tahun terakhir adalah meningkatkan hasil dan profitabilitas petani," kata Scobey, menambahkan bahwa metode pertanian berkelanjutan dihargai dengan bonus pendapatan.

Tetapi semua upaya ini tidak banyak meningkatkan penghasilan dan menurunkan prevalensi pekerja anak, kata Schorling dari Inkota. "Itu sebabnya kita harus bicara tentang harga yang adil."

Berapa harga yang pantas?

Dan di sinilah masalahnya menjadi rumit. Kekuatan pasar sendiri tampaknya tidak dapat memastikan bahwa petani benar-benar dapat memperoleh mata pencaharian. Pohon kakao membutuhkan waktu bertahun-tahun untuk menghasilkan buah yang baik, sehingga petani tidak bisa begitu saja menanam tanaman lain saat harga turun.

Petani juga merupakan mata rantai terlemah dalam rantai nilai global. Mereka hanya menerima sebagian kecil dari apa yang dibayar pelanggan untuk sebatang cokelat. Sebagian besar uang masuk ke perusahaan cokelat dan rantai ritel, yang sebagian besar berbasis di AS dan Eropa, dan semakin berkembang di Asia.

Siapa yang paling diuntungkan dalam industri cokelat?

Tahun lalu, Ghana dan Pantai Gading membentuk apa yang disebut "OPEC untuk kakao." Sejak Oktober, pembeli biji kakao harus membayar premi sekitar $ 400 (Rp 5,6 juta) per ton.

"(Premi) ini akan menghasilkan sekitar $ 1,2 miliar (Rp 16,9 triliun) pendapatan tambahan bagi petani kakao," kata Scobey.

"Kedua pemerintah telah berbuat lebih banyak untuk menetapkan harga yang lebih adil dibanding yang telah dilakukan industri selama bertahun-tahun," kata Schorling.

Tapi bagaimana tepatnya markup akan mempengaruhi pendapatan petani masih harus diselidiki. Sebelum diperkenalkan, petani kakao di Pantai Gading berpenghasilan rata-rata hanya $ 0,78 (Rp 11 ribu) per hari, menurut sebuah studi oleh Fairtrade, sebuah LSM, jauh di bawah upah hidup layak $ 2,51 (Rp 35 ribu).

Apakah hukum rantai pasokan membantu?

Setelah berkali-kali gagal memenuhi tujuannya sendiri untuk mengakhiri pekerja anak, industri kakao tidak lagi menetapkan target pengurangan yang konkret, tetapi lebih fokus pada peningkatan hasil.

Selama lima tahun ke depan, perusahaan besar berencana untuk melatih semua petani dalam rantai pasokan mereka agar menjadi lebih produktif. Industri juga ingin memperluas program di mana petani kakao sendiri memantau pekerja anak di desa mereka dan memberikan pendidikan. Pada tahun 2025, program ini akan mencakup 100% rantai pasokan di Ghana dan Pantai Gading, dibandingkan dengan hanya 20% saat ini.

Namun, Inkota dan LSM lainnya meragukan komitmen industri akan terwujud. Mereka juga melobi agar perusahaan bertanggung jawab atas apa yang terjadi dalam rantai pasokan mereka.

ha/hp

Budidaya Alami Cokelat ala Suku Ngöbe Selamatkan Hutan

06:14

This browser does not support the video element.

Andreas Becker Editor bisnis dengan fokus pada perdagangan global, kebijakan moneter dan globalisasi.
Lewatkan bagian berikutnya Topik terkait