1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
KonflikLibya

Pertarungan Kekuasaan di Libya Bisa Sebabkan Perang Saudara

Kersten Knipp | Emad Hassan
31 Agustus 2022

Setelah bentrokan berdarah di Tripoli, gelombang kekerasan baru bisa mengancam Libya, negara yang mengalami krisis permanen itu. Eropa tampaknya tidak berdaya dan hanya jadi penonton, kata para pakar.

Pertempuran di Tripoli
Pertempuran di TripoliFoto: Hazem Ahmed/REUTERS

Fathi Baschagha tidak lagi diizinkan bepergian, setidaknya di Libya. Minggu malam lalu (28/8), pemerintahan Perdana Menteri Abdul-Hamid Dbeibah memberlakukan larangan perjalanan terhadap Baschagha. Alasan larangan itu adalah "penyelidikan yang sedang berlangsung terhadap agresi terhadap (ibu kota) Tripoli," katanya dalam sebuah pernyataan kepada pihak berwenang Libya yang ditugaskan untuk menerapkan larangan perjalanan.

Dengan larangan tersebut, perebutan kekuasaan antara dua perdana menteri yang bersaing kini juga memiliki komponen hukum. Bentrokan kekerasan di ibu kota Tripoli akhir pekan lalu menunjukkan betapa kerasnya kedua rival itu memperebutkan kekuasaan. Menurut laporan pers, para pendukung kedua pemerintah yang bersaing itu saling bertarung dengan senjata anti-pesawat dan roket. Sedikitnya 32 orang tewas dan sekitar 160 lainnya luka-luka. Namun pada kenyataannya, korban yang jatuh cenderung lebih banyak.

Kekerasan akhir pekan lalu adalah eskalasi terbaru dalam pertikaian politik selama berbulan-bulan dan kekacauan politik yang telah dialami Libya selama bertahun-tahun. Abdul-Hamid Dbeibah adalah perdana menteri pemerintahan transisi yang ditunjuk oleh komisi pemilihan nasional melalui mediasi PBB. Tugas utamanya menyelenggarakan pemilu pada Desember tahun lalu. Tapi ini tidak terwujud, namun dia tetap menjabat.

Di pihak lain mantan menteri dalam negeri Fathi Baschagha. Dia dilantik sebagai perdana menteri transisi pada Februari tahun ini oleh parlemen di Tobruk – yang melawan pemerintahan di Tripoli. Parlemen di Tobruk ini adalah hasill pemilihan umum tahun 2014.

Konflik terbaru bisa sebabkan perang saudara berkepanjanganFoto: AA/picture alliance

Kekerasan bisa terus berlanjut

Bentrokan baru-baru ini adalah bagian dari "kisah yang tidak pernah berakhir," tulis pakar Libya dari Yayasan Sains dan Politik Jerman Wolfram Lacher di Twitter. Dia juga menunjukkan kerapuhan Libya. Para aktor yang bertarung hari ini bisa berperang lagi untuk uang dan pengaruh besok.

Thomas Volk, pakar Libya dari yayasan politik Konrad-Adenauer-Stiftung (KAS), mengatakan ada risiko nyata bahwa bentrokan baru-baru ini akan mengarah pada kekerasan yang berkelanjutan. Dia menunjuk pada upaya mediasi yang sedang berlangsung oleh PBB dan Mesir. "Jika mereka gagal, mungkin akan ada spiral kekerasan baru," katanya kepada DW.

Analis politik Libia Abdullah al-Kabir, yang tinggal di London, khawatir bahwa kekerasan itu dapat menghancurkan negara Libya. Faktanya, Libya sudah menjadi negara yang terpecah, kata ilmuwan politik itu kepada DW.

Rusia bisa mendapatkan keuntungan

Faktanya, jika Libya runtuh, dunia akan berhadapan dengan dua negara yang pemimpinnya telah terbukti tidak mampu berkompromi dan bekerja sama dengan konstruktif. Bahkan tanpa perpecahan lebih lanjut dari wilayah itu, pecahnya kekerasan baru kemungkinan akan memiliki konsekuensi internasional yang serius. Eropa akan menghadapi tekanan yang lebih besar dari migrasi yang tidak teratur. Libya juga bisa absen selama bertahun-tahun sebagai pemasok energi yang sangat dibutuhkan Eropa saat ini.

Selain itu, Libia dapat lebih terpengaruh oleh ketidakstabilan yang telah menjadi ciri zona Sahel selama bertahun-tahun. Terutama karena Rusia sedang memperluas kehadirannya di sana setelah pasukan barat ditarik dari Mali, kata Thomas Volk. "Rusia ingin menciptakan ketidakstabilan dan kerusuhan… sehingga Eropa harus berurusan dengan titik panas baru di sekitar mereka." Pada saat yang sama, Rusia berusaha untuk mendapatkan pengaruh di seluruh wilayah Sahel. "Libya jelas memainkan peran penting sebagai pintu gerbang ke Eropa."

Peran Uni Eropa (UE) saat ini semakin mengecewakan, kata pakar Libya Thomas Volk. Pengaruhnya sangat terbatas: "Uni Eropa bergantung pada pendekatan kekuatan lunak, seperti yang setidaknya tercermin dalam kerja sama pembangunan. Tetapi ketika menyangkut kekuatan keras, Uni Eropa sayangnya tidak memiliki fungsi yang terlihat di mana pun di Afrika Utara." Analis Libya Abdullah al-Kabir setuju bahwa tekanan internasional yang lebih tegas diperlukan untuk menjaga agar kekerasan di Libya tidak meluas tak terkendali. (hp/yf)

Lewatkan bagian berikutnya Topik terkait