Tahun politik 2019 masih menghitung bulan namun situasi sudah mulai memanas semenjak ditetapkannya 11 partai politik peserta pemilihan umum legislatif. Opini Nadya Karima Melati.
Iklan
Pemetaan masyarakat dan analisis menjadi penting karena dalam sistem demokrasi, seluruh rakyat diharapkan berpartisipasi aktif dalam menentukan masa depannya melalui selembar kertas di pemilihan umum.
Karena sistem demokrasi menuntut partisipasi rakyat, maka rakyat diasumsikan rasional dalam menyeleksi calon yang terbaik untuk mewakili dirinya dalam mengambil keputusan.
Kata ‘rakyat' muncul dalam kampanye taken for granted tanpa ada pertanyaan rakyat yang berada di kelas dan kelompok sosial mana? Tiap-tiap lapisan kelas dan kelompok sosial rakyat menjadi subjek sekaligus objek politik.Dan dalam iklim politik yang mulai menghangat ini, setiap tindakan individu menjadi politis.
Tapi individu bisa memilih karena ada pilihan, bagaimana jika toh dalam belantara partai politik tidak ada pilihan ideologi berdasarkan kelas sosial rakyat? maka individu itu sendiri, yang menjadi komoditi dalam jual beli ini. Dengan ketiadaan ideologi yang memantik rasionalitas individu, perasaan menjadi bahan jualan bagi para politikus untuk mengumpulkan simpati dan suara.
Emosi perasaan ‘suka atau tidak suka' bermain lebih dulu daripada keputusan memilih. Permainan perasaan baru mencari rasionalisasi ternyata terjadi pada skala yang lebih luas: politik Indonesia menjelang pemilu presiden 2019.
Tetap sebelum pemilu DPR dan Presiden berlangsung, rakyat sudah diberi latihan pemanasan melalui serangkaian pemilihan daerah. Jawa, sebagai kunci akan menghadapi pemilihan gubernur Jawa Barat dan Jawa Tengah. Sebagai penduduk Jawa Barat tulisan ini akan mengkritisi jalannya pemilu Jawa Barat pasca debat pertama.
Telah terpilih empat pasang calon gubernur dengan nomor urut sebagai berikut: Ridwan Kamil-Uu Ruzhanul (Rindu) yang disokong partai Nasdem, PPP, Hanura, dan PKB. Pasangan kedua Tb Hasanuddin-Anton Charliyan (Hasanah) yang diusung PDI-P. Disusul oleh, Sudrajat-Akhmad Syaikhu (Asyik) yang didukung koalisi PKS dan Gerindra. Dan yang terakhir, pasangan Deddy Mizwar-Dedi Mulyadi (2DM) yang diusung Demokrat dan Golkar. Pada tanggal 13 Maret lalu juga telah berlangsung juga debat terbuka sesi pertama antar pasangan cagub berlangsung dengan tema tema Ekonomi, Politik, Pemerintahan Daerah, Infrastruktur, Hukum, Pertahanan dan Keamanan, Industri, Perdagangan dan Teknologi, Umum dan Koperasi.
Melalui visi-misi para calon mencoba mengatasi permasalahan tersebut melalui program-program yang ditawarkannya.
Jawa Barat berbeda dengan DKI Jakarta secara demografik dan geografis. Apabila DKI Jakarta sebagai ibukota dengan kergaman penduduknya, Jawa Barat lebih cenderung homogen dengan dominasi etnis Sunda beragama Islam. Untuk isu kemungkinan isu SARA bergaung tidak sekencang DKI Jakarta yang ibukota dengan keragaman penduduknya.
Walau begitu, ada formula yang sama terjadi pada pemilihan umum di Indonesia pada umumnya. Demokrasi di Indonesia kehilangan atribut politik karena pemilihan calon pemimpin lebih menggunakan pendekatan tokoh yang tradisional-kharismatik. Emosi lebih ditekankan dalam menyeleksi dan bukan ideologi.
Siapa Calon Pemimpin Indonesia?
Hasil survey Saiful Mujani Research Centre belum banyak mengubah peta elektabilitas tokoh politik di Indonesia. Siapa saja yang berpeluang maju ke pemilu kepresidenan 2019.
Foto: Imago/Zumapress
1. Joko Widodo
Presiden Joko Widodo kokoh bertengger di puncak elektabilitas dengan 38,9% suara. Popularitas presiden saat ini "cendrung meningkat," kata Direktur Eksekutif SMRC Djayadi Hanan.
Foto: Reuters/Beawiharta
2. Prabowo Subianto
Untuk sosok yang sering absen dari kancah politik praktis pasca pemilu, nama Prabowo masih mampu menarik minat pemilih. Sebanyak 12% responden mengaku akan memilih mantan Pangkostrad itu sebagai presiden RI.
Foto: Reuters
3. Anies Baswedan
Selain Jokowi dan Prabowo, nama-nama lain yang muncul dalam survey belum mendapat banyak dukungan. Gubernur terpilih DKI Jakarta, Anies Baswedan, misalnya hanya mendapat 0,9%.
Foto: Reuters/Antara Foto/M. Agung Rajasa
4. Basuki Tjahaja Purnama
Nasib serupa dialami bekas Gubernur DKI, Basuki Tjahaja Purnama. Sosok yang kini mendekam di penjara lantaran kasus penistaan agama itu memperoleh 0,8% suara. Jumlah yang sama juga didapat Wakil Presiden RI Jusuf Kalla.
Foto: Getty Images/T. Syuflana
5. Hary Tanoesoedibjo
Pemilik grup MNC ini mengubah haluan politiknya setelah terbelit kasus hukum berupa dugaan ancaman terhadap Kepala Subdirektorat Penyidik Jaksa Agung Muda Pidana Khusus Yulianto. Hary yang tadinya beroposisi, tiba-tiba merapat ke kubu Presiden Joko Widodo. Saat inielektabilitasnya bertengger di kisaran 0,6%
Foto: picture-alliance/AP Photo/A. Ibrahim
6. Agus Yudhoyono
Meski diusung sebagai calon pemimpin Indonesia masa depan, saat ini popularitas Agus Yudhoyono masih kalah dibanding ayahnya Soesilo Bambang Yudhoyono yang memperpoleh 1,9% suara. Agus yang mengorbankan karir di TNI demi berpolitik hanya mendapat 0,3% dukungan.
Foto: Getty Images/AFP/M. Naamani
7. Gatot Nurmantyo
Jumlah serupa didapat Panglima TNI Gatot Nurmantyo yang belakangan terkesan berusaha membangun basis dukungan. Nurmantyo hanya mendapat 0,3%. Meski begitu tingkat elektabilitas tokoh-tokoh ini akan banyak berubah jika bursa pencalonan sudah mulai dibuka, klaim SMRC.
Dalam neurosience, sebuah tindakan yang diputuskan oleh otak didasari oleh perasaan antara suka dan tidak suka baru tindakan dilakukan. Beberapa peneliti juga mengungkapkan bahwa emosi dihasilkan manusia sebagai respon untuk bertahan hidup, rasa takut saat mendekati kematian, rasa bersemangat saat akan bertemu pujaan hati atau rasa marah ketika makanan pesanan tak kunjung datang. Afek adalah perasaan yang timbul sebagai respon dari berinteraksi dengan objek sosial.
Sedangkan emosi adalah afek/perasaan yang ditimbulkan yang berkaitan dengan ingatan dan kondisi sosial. Emosi seperti marah-mengamuk muncul ketika kita membaca berita tentang isu kebangkitan PKI yang menyerang ustad di daerah. Afek dan kesadaran rasional bukan sesuatu yang terpisah ataupun saling bertolak belakang satu sama lain. Afek adalah respon terhadap stimulus tetapi juga stimulus menjadi respon dari perasaan itu sendiri. Afek adalah tindakan sehari-hari yang menjadi alasan kita melakukan sesuatu seperti membeli produk ataupun bergabung pada kelompok tertentu.
Beberapa peneliti afek mengelompokan afek memiliki menjadi dua yakni afek positif dan negatif. Bapak teori afek modern, Silvian Tomkins mengelompokan sembilan jenis afek yang berdasarkan respon ekspresi wajah anaknya sewaktu bayi yakni; interest-excitement (tertarik-bersemangat), enjoyment-joy (kenikmatan-kebahagiaan), surprise-startle (terkejut-kaget), distress-anguish (tertekan-cemas), anger-rage (marah-mengamuk), fear-terror (takut-horor), shame-humiliation (malu-merendahkan), disgust (jijik) dan dissmell (jijik karena bau).
6 Kabar Hoax yang Menyulut Perang
Ia bisa memicu konflik, menggulingkan pemerintahan dan memecah belah satu bangsa: kabar bohong alias Hoax sejak lama ikut menggerakkan sejarah peradaban manusia. Inilah kisahnya:
Foto: Fotolia
Fenomena Beracun
Kabar bohong kembali mengalami kebangkitan di seluruh dunia, termasuk Indonesia. Pada hakikatnya, berita palsu yang marak di media-media sosial saat ini tidak berbeda dengan propaganda hitam yang disebar buat memicu perang dan kebencian pada abad silam. Fenomena itu mengandalkan jumlah massa untuk membumikan sebuah kebohongan. Karena semakin banyak yang percaya, semakin nyata juga sebuah berita
Foto: Fotolia/svort
Oplah Berganda buat Hearst
Pada 1889 pengusaha AS William Hearst ingin agar AS mengobarkan perang terhadap Spanyol di Amerika Selatan. Untuk itu ia memanfaatkan surat kabarnya, Morning Journal, buat menyebar kabar bohong dan menyeret opini publik, antara lain tentang serdadu Spanyol yang menelanjangi perempuan AS. Hearst mengintip peluang bisnis. Karena sejak perang berkecamuk, oplah Morning Journal berlipat ganda
Kebohongan Memicu Perang Dunia
Awal September 1939, Adolf Hitler mengabarkan kepada parlemen Jerman bahwa militer Polandia telah "menembaki tentara Jerman pada pukul 05:45." Ia lalu bersumpah akan membalas dendam. Kebohongan yang memicu Perang Dunia II itu terungkap setelah ketahuan tentara Jerman sendiri yang membunuh pasukan perbatasan Polandia. Karena sejak 1938 Jerman sudah mempersiapkan pendudukan terhadap jirannya itu.
Foto: Getty Images/H.Hoffmann
Kampanye Hitam McNamara
Kementerian Pertahanan AS mengabarkan bahwa kapal perang USS Maddox ditembaki kapal Vietnam Utara pada 2 dan 4 Agustus 1964. Insiden di Teluk Tonkin itu mendorong Kongres AS menerbitkan resolusi yang menjadi landasan hukum buat Presiden Lyndon B. Johnson untuk menyerang Vietnam. Tapi tahun 1995 bekas menhan AS, Robert McNamara, mengakui insiden tersebut adalah berita palsu.
Foto: NATIONAL ARCHIVES/AFP/Getty Images
Kesaksian Palsu Nariyah
Seorang remaja putri Kuwait, Nariyah, bersaksi di depan kongres AS pada 19.10.1990 tentang kebiadaban prajurit Irak yang membunuh puluhan balita. Kesaksian tersebut ikut menyulut Perang Teluk. Belakangan ketahuan Nariyah adalah putri duta besar Kuwait dan kesaksiannya merupakan bagian dari kampanye perusahaan iklan, Hill & Knowlton atas permintaan pemerintah Kuwait.
Foto: picture alliance/CPA Media
Operasi Tapal Besi
April 2000 pemerintah Bulgaria meneruskan laporan dinas rahasia Jerman tentang rencana pembersihan etnis ala Holocaust oleh Serbia terhadap etnis Albania dan Kosovo. Buktinya adalah citra udara dari lokasi kamp konsentrasi. Laporan tersebut menggerakkan NATO untuk melancarkan serangan udara terhadap Serbia. Rencana yang diberi kode "Operasi Tapal Besi" itu tidak pernah terbukti hingga kini.
Foto: Yugoslav Army/RL
Bukti Kosong Powell
Pada 5 Februari 2003 Menteri Luar Negeri AS, Colin Powell, mengklaim memiliki bukti kepemilikan senjata pemusnah massal oleh Irak pada sebuah sidang Dewan Keamanan PBB. Meski tak mendapat mandat PBB, Presiden AS George W. Bush, akhirnya tetap menginvasi Irak buat meruntuhkan rejim Saddam Hussein. Hingga kini senjata biologi dan kimia yang diklaim dimiliki Irak tidak pernah ditemukan.
Foto: AFP/Getty Images
7 foto1 | 7
Demokrasi tanpa politik
Dalam debat cagub Jabar lalu, terlihat seluruh pasangan calon mengajukan dua hal. Nasionalis-Islami. Pasangan nomor satu RK-Uu menonjolkan campuran RK yang nasionalis dengan Uu yang berkostum putih dan selendang hijau khas NU, pasangan nomor dua Hasanudin dan Anton yang menawarkan kepemimpinan modern-Islami walau tanpa simbol keagamaan yang muncul. Pasangan ketiga Sudrajat-Syaikhu terang-terangan menyebut akan "melindungi Ulama dari serangan orang gila” dari awal pernyataan pertamanya. Sedangkan pasangan terakhir Deddy-Dedi menghadirkan penampilan Charlie Setia Band yang menyatakan ‘salawat-salawat' yang identik dengan ritual agama Islam dan citra nasionalis yang melekat dari pernyataan-pernyataan Deddy Mizwar sepanjang debat berlangsung.
Berdasarkan program kerja yang ditawarkan juga visi-misi yang diajukan, dominasi nasionalis-Islami kental sekali dan ini menandakan krisis Ideologi secara umum soal lapangan kerja berpadu dengan ahlak mulia. Walau Jawa Barat didominasi oleh Sunda-Muslim, para calon mencitrakan bahwa mereka akan melindung mayoritas, bukan minoritas baik agama maupun seksual. Padahal, angka Intoleransi di Jawa Barat berdasarkan penelitian dari Wahid Foundation menempati posisi tertinggi di Indonesia.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Timo Duile dan Jonas Bens berjudul "Indonesia and the ‘conflictual consensus'” dalam Critical Asian Studies (2017) bahwa mengukur kualitas demokrasi tidak hanya melalui keberadaan institusi-institusi seperti pemilu yang jujur dan adil dan trias politica. Pandangan pos Marxis memperlihatkan bagaimana spanduk kampanye yang bertebaran setiap menjelang pemilihan umum merepresentasikan absennya (P)olitik dalam kerangka konsensual konflik.
Konsensual konflik diambil dari pemikiran Chantal Mouffe yang menyatakan bahwa politik adalah sebagai pertarungan ide dan wacana. Sedangkan apa yang nampak dalam poster dan spanduk kampanye hari ini, ideologi Islami dan nasionalis bersanding dan keduanya berusaha untuk menjadi rukun dan harmonis.
Penyatuan dua ideologi Islam-Nasionalis justru menggerus demokrasi itu sendiri karena tidak adanya pertarungan ideologi politik.
Akibat tidak adanya ideologi yang menjadi lokomotif pemikiran rasional, emosi menjadi objektifikasi untuk memilih dan berkelompok sekaligus menggerakan gelombang dan arah politik dalam demokrasi. Celakanya, pada demokrasi yang dituntut adalah bagaimana politikus berkampanye menjual program kerja dan ideologi yang berguna meningkatkan rasionalitas pada calon pemilih agar mereka bisa memilih yang terbaik.
Penulis: Nadya Karima Melati (ap/vlz)
Essais dan pengamat masalah sosial.
@Nadyazura
*Setiap tulisan yang dimuat dalam #DWNesia menjadi tanggung jawab penulis
7 Fakta Pilkada 2017
Pilkada Jakarta menjadi salah satu pertempuran politik panas dalam era demokratisasi di tanah air. Pertarungan untuk memimpin kota berpenduduk lebih dari 10 juta jiwa itu memicu ketegangan politik.
Gubernur petahana ini mengambil alih kepemimpinan Jakarta tahun 2014, setelah Joko Widodo memenangkan kursi kepresidenan.Di era reformasi, ia jadi gubernur Jakarta pertama beretnis Cina-beragama Kristen. Saat proses Pilkada berjalan, ia tersandung kasus dugaan penistaan agama. Komitmen Ahok termasuk penganggulangan banjir kronis, mengatasi kemacetan lalu lintas & meningkatkan kinerja birokrasi.
Foto: Reuters/Antara Foto/H. Mubarak
Dari militer ke politik: Agus H. Yudhoyono
Dia adalah putra tertua mantan presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan pensiun dari militer pada usia 38 tahun dan ingin menjadi gubernur. Dia didukung oleh Partai Demokrat dan beberapa partai-partai Islam. Kampanye Agus yang didampingi Sylviana Murni berfokus pada peningkatan kehidupan kaum miskin Jakarta dan berjanji menyokong dana tunai untuk keluarga berpenghasilan rendah.
Foto: Reuters/Antara Foto/R. Esnir
Calon akademisi: Anies Baswedan
Baswedan, 47, adalah mantan menteri pendidikan di pemerintah Joko Widodo.Dia didukung oleh Gerindra, partai yang dipimpin Prabowo Subianto. Kampanye Anies Baswedan dan pasangannya pengusaha Sandiaga Uno berfokus pada peningkatan pendidikan publik dan memerangi tingginya biaya hidup di ibukota.
Foto: Reuters/Antara Foto/M. Agung Rajasa
Proses voting di Jakarta
Hasil resmi pemungutan suara diperkirakan akan diumumkan 08-10 April 2017. Jika tidak ada kandidat mencapai suara mayoritas di babak pertama, maka dua kandidat yang mengamankan suara terbanyak akan kembali bersaing di putaran kedua. Kandidat yang tidak puas dengan hasil pemilu dapat membawa sengketa hasil pemungutan suara ke Mahkamah Konstitusi.
Foto: Reuters
Situasi khusus
Jika Ahok memenangkan pemilihan di Jakarta tapi divonis bersalah di pengadilan untuk kasus hukum dugaaan penistaan agama, maka ia masih diperbolehkan tetap menjabat sebagai gubernur selama proses banding masih berlangsung.
Foto: picture alliance / dpa
Fokus KPU: ancaman keras bagi politik uang
Dalam UU Pilkada diatur: "Setiap orang yang dengan sengaja menjanjikan atau memberikan uang atau materi lainnya sebagai imbalan kepada WNI untuk mempengaruhi pemilih agar tidak menggunakan hak pilih, gunakan hak pilih dengan cara tertentu sehingga suara jadi tidak sah, memilih calon tertentu, atau tidak memilih calon tertentu diancam penjara antara 36-72 bulan dan denda Rp.200 juta- 1 milyar.
Foto: Reuters
Bukan hanya di Jakarta
7,1 juta orang terdaftar untuk memilih di Jakarta. Namun, pilkada bukan hanya diadakan di Jakarta. Pilkada serentak diikuti 101 daerah yang tersebar di 31 provinsi. Tujuh provinsi termasuk Jakarta akan memilih gubernur. Di 31 provinsi berlangsung pemilihan walikota dan bupati. Ed: ap/yf (rtr/kpu)