Waktu pertemuan hanya seperempat hari. Namun makna pertemuan adalah terwujudnya perdamaian di dunia. Demikian keinginan dua sahabat: Jokowi dan Presiden Afghanistan, Ashraf Ghani.
Iklan
Serangan teror bom mobil di Kabul, ibu kota Afghanistan, jelang jadwal kunjungan kenegaraannya tidak membuat Presiden Joko Widodo ciut. Bahkan beberapa jam setelah serangan bom susulan, didampingi ibu negara, Presiden Jokowi menjejakkan kakinya di Afghanistan. Ia menjadi Presiden Republik Indonesia kedua setelah Presiden Sukarno yang mengunjungi negara Afghanistan tahun 1961.
Namun keberadaan Presiden Joko Widodo dan Ibu Negara Iriana di Kabul hanya sekitar enam jam. Tiba hari Senin, 29 Januari, rombongan Jokowi tiba di Kabul pada pukul 11.40 waktu setempat dan pada petang harinya telah meninggalkan negara itu.
Menembus hujan salju dan cuaca dingin menggigit dari bandara internasional Hamid Karzai, Kabul, Afghanistan, Presiden Jokowi dan Ibu Iriana menempuh perjalanan dengan mobil selama 10 menit untuk tiba di Istana Presiden Agr. Pelukan hangat Presiden Ashraf Ghani menyambut kedatangan Jokowi, demikian isi keterangan pers Bidang Protokol, Pers, dan Media Sekretariat Presiden. Pertemuan kedua kepala negara ini tampak seperti dua orang sahabat yang sudah lama tak berjumpa.
Jokowi Jadi Presiden Kedua yang Kunjungi Afghanistan Setelah Sukarno
Setelah 57 tahun, Presiden Republik Indonesia kembali melawat ke Afghanistan.
Foto: Bey Machmudin
Setelah Sukarno
Presiden Joko Widodo dan Ibu Negara Iriana tiba di Bandara Internasional Hamid Karzai, Kabul, Afghanistan, Senin 29 Januari 2018 pukul 11.40 waktu setempat. Kunjungan Kenegaraan Presiden Jokowi ke Afghanistan merupakan kunjungan kedua Presiden Republik Indonesia ke Afghanistan setelah Kunjungan Kenegaraan Presiden Sukarno pada tahun 1961.
Foto: Bey Machmudin
Hujan salju
Udara dingin bahkan hujan salju yang selimuti Kabul tidak mengurangi hangatnya penyambutan yang dilakukan pemerintah Afghanistan. Pejabat Afghanistan yang menyambut: Wakil Presiden Sarwar Danish, Menteri Luar Negeri Salahudin Rabbani, Menteri Keuangan Eklil Hakimi, Dubes Afghanistan untuk Indonesia Roya Rahmani, Gubernur Kabul Mohammad Yaqoub Haidan, Walikota Kabul Abdullah Habibzal.
Foto: Bey Machmudin
Kunjungan pasca teror
Presiden Afghanistan Ashraf Ghani mengucapkan terima kasih kepada pemimpin Indonesia atas kunjungannya dan belasungkawa yang diungkapkan Widodo untuk korban rangkaian serangan di Kabul sebelum kedatangannya.
Foto: Bey Machmudin
Soal keamanan
Joko Widodo mengadakan pembicaraan dengan para pejabat tinggi tingkat tinggi lainnya di Afghanistan dan membahas masalah bilateral. Ghani mengatakan bahwa dia berharap Afghanistan dapat memanfaatkan pengalaman Indonesia dalam mendapatkan dukungan para ulama untuk menghadapi ekstremisme.
Foto: Bey Machmudin
Konflik berkepanjangan
Afghanistan dililt konflik berkepanjangan. Ledakan bom di penghujung Januari ini bahkan menewaskan lebih dari 100 orang. Baru-baru ini delegasi Dewan Perdamaian Tinggi Afganistan, yang bertugas mempromosikan upaya perdamaian dengan Taliban dan kelompok gerilyawan lainnya, melakukan perjalanan ke Indonesia. Indonesia menegaskan kembali dukungan terhadap proses perdamaian Afghanistan.
Foto: picture-alliance/dpa/R. Gul
5 foto1 | 5
Perdamaian adalah kunci
Kedua kepala negara langsung berjalan kaki berdampingan untuk mengikuti upacara kenegaraan. Diselimuti suhu udara 1 derajat celsius dan terpaan hujan salju mereka melakukan inspeksi pasukan.
Keduanya menebar senyum sebagai pesan kepada dunia bahwa persahabatan dan perdamaian adalah kunci dalam memanifestasikan kesejahteraan.
Dalam pertemuan empat mata, tidak tampak ada ketegangan yang memperlihatkan mereka berada di kota yang baru diguncang ledakan bom beberapa jam sebelumnya, demikian disebutkan dalam keterangan pers. Demikian pula saat pertemuan bilateral. Perbincangan berlangsung hangat diwarnai gelak tawa dari delegasi kedua negara.
Persahabatan kedua pemimpin semakin terjalin saat keduanya saling bertukar menukar penutup kepala. Presiden Jokowi menerima longi, yakni topi panjang yang menjuntai dan juga mengenakan chapan, jubah khas Afganistan. Juntaian longi ini bila dibentangkan mencapai 7 meter. Sementara Presiden Ashraf Ghani mengganti pakulnya dengan peci berwarna hitam yang langsung dikenakan oleh Presiden Jokowi. Setelah tukar menukar tutup kepala, keduanya menunaikan salat zuhur berjamaah di masjid yang berada di Istana Presiden Agr.
Lawatan Jokowi di Afghanistan
01:42
Jokowi terima penghargaan
Presiden Ashraf Ghani kemudian mengemukakan: "Kedatangan Yang Mulia tidak perlu membawa emas, tapi membawa hujan dan salju. Hujan dan salju merupakan berkah bagi kami. Salju dan hujan tidak pernah memilih akan turun pada orang kaya atau orang miskin.”
Pada jamuan santap siang kenegaraan di Istana Presiden Arg, Presiden Jokowi menerima ‘Medal of Ghazi Amanullah' dari Presiden Afghanistan. Penyematan medali ini sebagai penghormatan kepada Presiden Jokowi atas keteguhan dan keberanian dalam memajukan hubungan bilateral Indonesia-Afghanistan, terutama dalam mengupayakan perdamaian di Afghanistan. "Terimakasih atas anugerah Medal Ghazi Amanullah. Medal ini akan menjadi spirit baru upaya meningkatkan hubungan bilateral dan perdamaian,” jawab Presiden Jokowi.
Kunjungan Presiden Jokowi dan Ibu Iriana di Kabul, Afghanistan, yang berlangsung seperempat hari terlalu singkat. Tapi bagi Presiden Jokowi sudah cukup untuk menyampaikan dukungan agar perdamaian segera terwujud di Afghanistan. Demikian pula bagi Presiden Gani, kehadiran Presiden Jokowi di Afghanistan sudah cukup untuk menunjukkan kepada dunia bahwa mereka mampu memberikan jaminan keamanan kepada tamu negara dan perdamaian harus segera diwujudkan.
Menteri Luar Negeri Retno Marsudi di dalam Pesawat Kepresidenan Indonesia-1 mengutip apa yang dikatakan Presiden Jokowi, "Perdamaian bukan hal yang jatuh dari langit. Perdamaian harus diupayakan. Marilah kita bergandeng tangan menciptakan perdamaian. Marilah kita bergandengan tangan memelihara perdamaian."
ap/hp (Pernyataan Pers bidang Protokol, Pers, dan Media Sekretariat Presiden)
Perempuan Afghanistan - Dulu dan Sekarang
Situasi perempuan di Afghanistan banyak mengalami kemunduran sejak dekade 1960an. Ironisnya foto-foto masa lalu ini justru menunjukkan kehidupan modern kaum hawa yang kini tertutup dan terisolir berkat kekuasaan Taliban.
Foto: picture-alliance/dpa
Bebas Berkarya
Dua mahasiswi kedokteran di Universitas Kabul menyimak penjelasan dosen (ka) tentang sebuah organ manusia. Gambar ini diambil tahun 1962. Dulu kaum perempuan aktif berkarya di Afghanistan dan tidak kesulitan mengenyam pendidikan tinggi.
Foto: Getty Images/AFP
Tertutup dan Terisolasi
Sejak Taliban berkuasa, semua perempuan diwajibkan mengenakan burka di tempat-tempat umum. Saat kekuasaan kelompok radikal itu runtuh seiring invasi militer Amerika Serikat, perempuan dibebaskan. Tapi hingga kini cuma sedikit yang berani melepaskan burka.
Foto: Getty Images/A. Karimi
Mode Barat di Jalan Ibukota
Dua perempuan berbusana modern meninggalkan gedung Radio Kabul pada Oktober 1962. Sejak Taliban berkuasa pada dekade 1990an, semua instansi pemerintah dipaksa memecat pegawai perempuan.
Foto: picture-alliance/dpa
"Sumber Malapetaka"
Seorang jurubicara Taliban pernah berucap, wajah perempuan "adalah sumber malapetaka buat laki-laki yang bukan muhrim." Tidak banyak yang berubah di Afghanistan sejak demokrasi berjejak.
Foto: picture-alliance/AP Photo/E. Morenatti
Persamaan Hak
Pertengahan dekade 1970an perempuan masih menjadi pemandangan normal di lembaga pendidikan tinggi. 20 tahun kemudian universitas dilarang menerima mahasiswi. Kini konstitusi baru Afghanistan menggariskan persamaan antara perempuan dan laki-laki.
Foto: Getty Images/Hulton Archive/Zh. Angelov
Pendidikan Dini
Empat miliar Dollar AS dikucurkan buat memperbaiki situasi kaum perempuan di Afghanistan sejak 2001. Kini organisasi nirlaba Oxfam mencatat sebanyak empat juta bocah perempuan duduk di bangku sekolah. Namun tekanan sosial terhadap perempuan tidak banyak berubah.
Foto: picture-alliance/Photoshot
Tanpa Batasan Gender
Mahasiswi di Kabul tahun 1981 tidak jengah berkumpul dengan teman laki-lakinya. Dua tahun sebelumnya serdadu Uni Soviet menyerbu negara itu. Invasi Soviet berujung pada sepuluh tahun perang berdarah. Setelahnya, Taliban merebut kekuasaan.
Foto: Getty Images/AFP
Bukan Cuma Burka
Masalah perempuan di Afghanistan tidak banyak berhubungan dengan burka. Tapi kaum perempuan hingga kini masih dibatasi dalam hubungan sosial. Buat mereka ada aturan tak tertulis tentang apa yang boleh dibicarakan, siapa yang boleh ditemui dan kemana seorang perempuan boleh berpergian.
Foto: W.Kohsar/AFP/GettyImages
Perempuan Bersenjata
Sekelompok serdadu perempuan Afghanistan terlibat dalam perayaan setahun revolusi April tahun 1979. Generasi pertama perempuan di militer ini kelak akan menjadi salah satu tulang punggung angkatan bersenjata baru yang dibentuk setelah invasi AS.
Foto: picture-alliance/Bildarchiv
Berjilbab di Medan Perang
Dalam hal ini cuma penampilannya saja yang berubah. Sejak dibentuk kembali tahun 2001, militer Afghanistan kembali menerima perempuan. Khatol Mohammadzai bahkan menjadi perempuan pertama yang mencapai pangkat jendral bintang empat di Hindukush.