1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Perubahan Haluan Klub "Diktator" Arab

30 Maret 2012

Liga Arab dulu dicemooh. Namun, sejak bergulirnya revolusi di negara-negara kawasan tersebut, mereka kembali berperan penting di panggung politik.

Foto: picture-alliance/dpa

Muammar Gaddafi dari Libya, Hosni Mubarak dari Mesir atau Zine el Abidin Ben Ali dari Tunisia. Liga Arab untuk waktu lama adalah klub para diktator. 22 negara berbahasa Arab di Afrika dan Timur Tengah mencerminkan kekakuan politik negara anggotanya.

KTT Liga Arab selalu berakhir dengan kesepakatan yang sama. Tidak ada yang menganggap serius mereka. Tidak warga di kawasan tersebut, ataupun politisi blok timur dan barat. Hal ini berubah begitu dunia Arab mengalami 'kebangkitan'. Liga Arab menjadi penting kembali.

Antara tuntutan demokrasi dan kekuasaan politik

Metamorfosa dimulai awal 2011. Dulu Liga Arab melawan diktator Libya Muammar Gaddafi, membekukan sementara keanggotaan Libya dan mendukung sanksi PBB bagi pasukan Gaddafi.

Diktator Suriah Bashar al Assad juga ditentang Liga. November tahun lalu, Suriah tidak dibolehkan mengikuti semua pertemuan. Dua minggu kemudian, Liga Arab bahkan menjatuhkan sanksi bagi negara itu. Ini belum pernah terjadi dalam sejarah Liga Arab.

Secara resmi, liga ini bertugas menyebarkan demokrasi dan melindungi hak asasi manusia. Namun, di belakangnya banyak ketertarikan politik regional. Hamadi El-Aouni, pakar Timur Tengah dari Universitas Berlin mengatakan, "Liga Arab selalu mencerminkan negara-negara yang mendominasi di kawasan tersebut. Kini yang mendominasi adalah negara-negara Teluk, yang dengan kekayaan minyak bumi dan gerakan Islam, mencapai kekuasaan di Libya, Tunisia dan Mesir."

KTT Liga Arab di IrakFoto: dapd

Bersama melawan Iran

Negara-negara Teluk merasa terancam oleh Iran. Sekutu terpenting Iran di kawasan tersebut adalah Suriah. Jika rezim Bashar al Assad jatuh, Iran akan kehilangan sosok yang menjadi penghubungnya ke Hizbullah di Libanon dan Hamas di Palestina. Ini berarti pengaruhnya berkurang.

Iran yang melemah dan negara-negara Teluk yang semakin kuat juga diinginkan oleh negara-negara barat. "Negara-negara Teluk", ujar Hamadi El-Aouni, "didukung oleh pihak barat dengan semua sarana politik dan militer." Ada pangkalan militer AS besar di Qatar, Arab Saudi dan Bahrain. Kritik terhadap kondisi yang tidak demokratis di wilayah Teluk tidak diucapkan secara terbuka.

Aouni skeptis dengan politik baru Liga Arab yang dimotori negara-negara Teluk. "Liga menjadi instrumen untuk melegitimasi pelaksanaan keinginan negara-negara barat di kawasan itu."

Polarisasi Liga Arab

Haluan baru Liga Arab tidak disetujui oleh semua anggotanya. Negara-negara seperti Aljazair atau Sudan skeptis dengan politik konfrontasi terhadap Suriah. Liga Arab terpilah.

Kepala pemerintahan Irak, Nuri al Maliki, tuan rumah KTT Liga Arab juga tidak tertarik dengan perubahan kekuasaan di Suriah. Maliki yang berasal dari kelompok Syiah, tengah berebut kekuasaan dengan minoritas kaum Sunni di negaranya sendiri. Jika oposisi Sunni mengambil alih kekuasaan di Suriah, maka kelompok Syiah di Irak akan melemah. Karena itu, pemerintah Irak mendukung rezim Assad sejak revolusi Suriah secara keuangan.

Di dunia internasional, Liga Arab mendapat pengakuan lebih besar melalui politik barunya. Sekjen Liga Nabil al-Arabi menjadi mitra dialog yang diinginkan semua pihak. Politisi internasional ternama lalu lalang di markas Liga Arab di Kairo. Mantan sekjen PBB Kofi Annan juga menjadi mediator bagi Liga Arab dan PBB dalam konflik Suriah.

Satu hal yang jelas: Liga Arab masih belum sepenuhnya menjadi klub penganut demokrasi. Cepat atau lambat, keinginan untuk melakukan revolusi akan berbalik menyerang para otokrat di jajaran pejabat Liga sendiri.

 

Nils Naumann / Vidi Legowo-Zipperer

Editor: Dyan Kostermans

Lewatkan bagian berikutnya Topik terkait