Perubahan iklim dipastikan akan mempengaruhi produksi pangan dunia, Indonesia termasuk yang terkena dampak. Seperti apa kesiapan Indonesia menghadapi tantangan ini? Simak opini Fitrian Ardiansyah.
Iklan
Bukti ilmiah dari seluruh dunia menyepakati bahwa perubahan iklim akan mempengaruhi produksi komoditas pertanian dalam beberapa dekade mendatang. Publikasi yang dirilis Universitas Wageningen tahun 2016 menunjukkan bahwa petani terbatas secara waktu dan cakupan dalam mengatasi konsekuensi perubahan iklim, dan karenanya upaya pendampingan pekebun sangat dibutuhkan.
Diperkirakan, seperti yang terangkum dalam makalah kerja yang disusun pemerintah Indonesia dan JICA (Badan Kerjasama Internasional Jepang) tahun 2013, konsumsi beras di Indonesia lebih tinggi daripada produksi beras pada tahun 2010 dan seterusnya. Penyebab utama kondisi ini adalah ketersediaan lahan dan jika dampak perubahan iklim sepenuhnya dipertimbangkan, maka angka produksi pangan bisa jadi justru di bawah angka yang diprediksi tersebut.
Perubahan iklim tidak hanya menyebabkan jumlah hasil produksi pertanian berkurang namun juga mempengaruhi kondisi lainnya. Oleh karena itu, tiap pelaku yang terlibat dalam rantai suplai komoditas perlu menyadari kesiapan sektor pertanian menghadapi tantangan perubahan iklim.
Perlu merumuskan kebijakan dan program
Pemerintah sebagai pelaku utama, misalnya, perlu merumuskan kebijakan dan program, diantaranya yang dapat mendorong pengembangan varietas tanaman pangan yang mampu menghadapi tantangan iklim (yaitu ketahanan terhadap kekeringan, banjir dan penyakit) dan meningkatkan pengetahuan praktikal pekebun dalam menghadapi perubahan iklim dan variabilitas, perlu didukung lebih lanjut, terutama di tataran lokal (misalnya memastikan pekebun mendapatkan dukungan sehingga mereka dapat meningkatkan kapasitas yang adaptif).
IDH- Inisitatif Dagang Hijau menjalin kerja sama dengan ICCRI atau Puslitkoka (Institut Penelitian Coklat dan Kopi Indonesia), lembaga penelitian milik pemerintah, untuk memperkenalkan kepada pekebun dan mitra swasta di wilayah proyek IDH akan memilihkan varietas yang lebih tahan terhadap penyakit dan kekeringan. Program ini bertujuan untuk memberi pemahaman yang lebih baik bagi para petani dan mendukung peningkatkan produktivitas akibat perubahan iklim.
Bersama SCOPI (Platform Kopi Berkelanjutan di Indonesia) dan Kementerian Pertanian, IDH juga terlibat dalam merancang dua dokumen kurikulum nasional terkait penerapan perkebunan yang baik dan pasca-panen, baik untuk petani robusta dan arabica. Hadirnya kedua kurikulum ini juga diikuti dengan skema pelatihan bagi para penyuluh utama hingga nantinya diharapkan pada tahun 2020 akan ada sekitar 80.000 pekebun terlatih. Sebagian pekebun dan penyuluh yang dilatih dengan menggunakan perangkat ini telah terbukti mampu meningkatkan produktivitas mereka di atas standar nasional.
Sektor swasta juga perlu aktif berperan. Apalagi setiap tahun, kebakaran hutan dan lahan selama musim kemarau kerap mengancam warga, satwa dan lingkungan, berbagai perusahan membentuk koalisi yang mencegah kebakaran terjadi di tingkat desa, yaitu Aliansi Bebas Api (FFA). FFA, lembaga dimana IDH juga aktif terlibat, membuktikan bahwa sektor swasta yang didukung oleh organisasi lainnya dapat berkontribusi untuk mengatasi masalah kebakaran dan kabut asap yang kerap terjadi akibat pembakaran lahan.
Dengan menggunakan wadah kolaboratif seperti FFA, berbagai perusahan dapat berbagi informasi, pengetahuan dan sumber daya dalam menerapkan solusi yang paling efisien dan ekonomis yang dapat digunakan untuk mengklaim suatu daerah dan desa, dimana mereka melakukan produksi di seluruh Indonesia, adalah daerah yang bebas api dan kabut asap. Program ini terdiri dari penghargaan bebas api, pemimpin kru, pendampingan pekebun, program kesadaran dan pemantauan kebakaran dan kabut asap.
Mengatasi perubahan iklim di sektor perkebunan juga membutuhkan perubahan dalam praktik bisnis, model dan instrastruktur. Semua ini tidak murah. Peremajaan atau penanaman kembali tanaman baru dengan produktivitas yang lebih tinggi dan lebih tahan terhadap perubahan iklim memerlukan investasi yang signifikan. Untuk melakukan penanaman kembali kelapa sawit, dibutuhkan sedikitnya 5.000 Dolar AS/hektar dan banyak pekebun yang tidak memiliki modal besar untuk melakukan hal itu.
Iklim: Negara Mana Bersedia Berkorban?
Sekitar 185 negara nyatakan bersedia turunkan jumlah emisi gas rumah kaca, sebelum Konferensi Iklim di Paris berakhir. Termasuk di antaranya negara yang bertanggungjawab atas 95% emisi di dunia. Ini delapan di antaranya.
Foto: picture-alliance/dpa/P. Pleul
Cina
Cina adalah negara dengan jumlah penduduk terbesar di dunia. Pemerintah negara itu menetapkan, akan mengurangi emisi CO2-nya sebanyak 60% hingga 65%, dari volume emisi yang tercatat tahun 2005. Cina rencanakan, hingga 2030 target pengurangan itu sudah akan tercapai.
Foto: Getty Images/AFP/W. Zhao
Amerika Serikat
Negara Paman Sam berjanji mengurangi emisi CO2 sebanyak 26-28% dari volume emisi tahun 2005. Pengurangan akan berjalan bertahap hingga 2025. Pembangkit tenaga listrik menargetkan akan mengurangi polusi karbon dioksida sebanyak 32% dari tingkat polusi tahun 2005. Itu akan dicapai tahun 2030. Foto: seorang polisi berjalan di dasar danau buatan O. C. Fisher Lake, Texas yang kering kerontang.
Foto: picture-alliance/AP/T. Gutierrez
Uni Eropa
28 negara anggota Uni Eropa berniat mengurangi emisi gas rumah kaca hingga sedikitnya 40% sampai tahun 2030. Jumlahnya ditetapkan berdasarkan tingkat emisi di tahun 1990. Uni Eropa juga sudah mencanangkan target, 27% energi akan berasal dari sumber alternatif dan efisien. Foto: PLTA Jochenstein di sungai Donau di Untergriesbach, kawasan Niederbayern, Jerman.
Foto: picture-alliance/ dpa
India
India nyatakan janji untuk mengurangi emisi karbon dioksida sebanyak 35% dari tingkat emisi tahun 2005, dan akan dicapai tahun 2030. Negara itu juga berjanji, hingga 2030 akan memanen 40% kebutuhan listrik dari sumber energi alternatif. Foto: lahan peternakan di Assam, India, yang digenangi banjir.
Foto: picture-alliance/dpa/Str
Rusia
Rusia menyatakan bersedia mengurangi jumlah emisinya sebanyak 25-30% dari jumlah emisi tahun 1990. Pengurangan itu akan tercapai tahun 2030. Namun Rusia menetapkan syarat, yaitu "pendosa" iklim lainnya juga harus menyatakan janji. Foto: tambang batu bara di Vorkuta, Komi, di bagian Rusia yang termasuk benua Eropa.
Foto: picture-alliance/dpa
Jepang
Jepang berjanji akan kurangi emisi sebanyak 26% dari jumlah emisi tahun 2013. Itu akan dicapai tahun 2030. Energi nuklir, yang berhenti digunakan sejak 2011 akibat bencana Fukushima, akan suplai kebutuhan listrik sebanyak 20-22% hingga 2030. Energi terbarukan seperti tenaga air akan ditingkatkan hingga 22-24%. 2014 jumlahnya hanya 11%. Foto: panel tenaga surya yang mengambang di atas air di Hyogo.
Foto: imago/Xinhua
Iran
Iran berjanji tanpa syarat akan mengurangi emisi gas rumah kacanya sebanyak 4%, tahun 2030. Di samping itu, pemerintah di Teheran juga akan tambah mengurangi emisi sebanyak 8%, jika mendapat sokongan finansial dan teknologi, dan jika sanksi yang disebutnya "tidak adil" dicabut. Foto: ibukota Iran, Teheran yang diselubungi polusi udara.
Foto: MEHR
Brazil
Brazil berjanji mengurangi emisi gas rumah kaca sebanyak 37% dari tingkat emisi di tahun 2005. Tujuan itu akan tercapai 2025. Jumlah pengurangan akan bertambah jadi 43% di tahun 2030. Foto: emisi bauksit dari pabrik penyulingan aluminium di Estado do Para.
Foto: picture-alliance/dpa
Indonesia
Indonesia menargetkan pengurangan emisi karbon sebesar 29% hingga tahun 2030, dari tingkat emisi yang dicapai sekarang, tanpa melakukan aksi apapun. Dengan sokongan finansial dan teknis jumlahnya bisa ditingkatkan jadi 41%. Foto: Palangkaraya yang tertutup asap dari kebakaran hutan (27 Oktober 2015).
Foto: Getty Images/AFP/B. Ismoyo
9 foto1 | 9
Lembaga keuangan nampaknya masih memandang sektor perkebunan sebagai salah satu sektor yang paling beresiko untuk berinvestasi. Penyaluran dana yang inovatif dan inklusif sangat dibutuhkan. Penyediaan fasilitas kredit dengan suku bunga yang rendah, jangka panjang serta dengan masa tenggang yang fleksibel bagi pekebun merupakan kunci peningkatan produktivitas dalam memberi dukungan finansial untuk penanaman kembali dan/atau peremajaan tanaman tua. Desain seperti itu sekarang merupaan bagian dari portofolio andgreen.fund –yang dikembangkan oleh IDH dan mitranya untuk menghubungkan secara atraktif lembaga keuangan dan pelaku usaha dan petani dengan skema permodalan yang rendah risiko, yang juga mencakup perjanjian perlindungan hutan, gambut dan lingkungan – sehingga diharapkan dapat menjawab permintaan pasar dan tantangan tata kelola lahan.
Kombinasi antara intervensi dan perangkat insentif yang dapat meningkatkan produktivitas, membantu organisasi pekebun., mengembangkan model usaha di tataran petkebun dan desa merupakan cara yang paling efektif untuk mengatasi tantangan untuk mengembangkan komoditas yang produktif sekaligus tantangan akibat perubahan iklim.
Pembahasan tentang perubahan iklim dapat dilakukan di tataran global namun intervensi secara terstruktur perlu diterapkan di negara-negara berkembang seperti Indonesia Sudah saatnya inovasi seperti ini diimplementasikan dan ditingkatkan sehingga kita bisa "memproduksi secara lebih banyak dengan upaya minim" dan "dengan cara bijak".
Penulis: Fitrian Ardiansyah
Penulis adalah direktur IDH-Sustainable Trade Initiative Indonesia. Dia dapat dihubungi melalui Ardiansyah@idhtrade.org.
Dampak Dahsyat Perubahan Iklim
Perubahan iklim akan membawa efek dahsyat bagi manusia penghuni Bumi. Penerbangan, pelayaran dan aktivitas sehari-hari terancam bahaya berbagai fenomena alam ekstrem dan dampaknya.
Foto: picture-alliance/dpa
Badai dan Petir Makin Intensif
Energi panas beraksi seperti bahan bakar bagi awan badai. Jika temperatur global terus naik, aktivitas badai dan petir akan makin intensif. warga di kawasan badai akan makin menderita. Jumlah kebakaran hutan akibat sambaran petir akan meningkat. Petir ciptakan gas rumah kaca NOx di atmosfir yang secara tak langsung meregulasi gas rumah kaca lainnya, seperti ozon dan methana.
Foto: picture-alliance/dpa
Gunung Es Sumbat Samudra
Gletser di Greenland lumer dan pecah menjadi bongkahan gunung es yang mengapung di samudra Atlantik Utara. Lembaga maritim internasional melaporkan, bulan April 2017 tercatat 400 bongkahan gunung es menghalangi jalur pelayaran. Naiknya temperatur memicu makin banyak gunjung es pecah dan mengapung ke laut terbuka.
Foto: Getty Images/J. Raedle
Aktivitas Vulkanik Meningkat
Sepertinya tidak ada korelasi antara perubahan iklim dengan naiknya aktivitas gunung api. Nyatanya Bumi memiliki dinamika yang sulit diprediksi. Contohnya di Islandia, gunung api dan gletser sudah ko-eksis puluhan ribu tahun. Saat lapisan es setebal 2 km mencair, tekanan terhadap kerak Bumi berkurang dan akibatnya aktivitas vulkanisme dan magmatisme meningkat tajam.
Foto: Getty Images/S. Crespo
Gurun Makin Gersang dan Meluas
Gurun pasir sebetulnya penuh dengan kehidupan. Baik di tingkat bakteria maupun flora dan fauna khas. Tapi jika suhu terus naik, koloni bakteri akan musnah, dan juga flora dan fauna gurun mati. Akibatnya gurun makin gampang dilanda erosi dan terus meluas.
Foto: picture-alliance/Zuma Press/B. Wick
Turbulensi Udara Makin Hebat
Perubahan iklim akibat aktivitas manusia juga memiliki kaitan dengan makin hebatnya turbulensi udara di atmosfir. Penelitian yang dilakukan Universitas Reading, Inggris meenunjukkan, jika kadar karbon dioksida meningkat dua kali lipat, kasus turbulensi udara di jalur penerbangan akan naik sekitar 150 persen. Ini berarti ancaman risiko penerbangan juga meningkat.
Foto: Colourbox/M. Gann
Laut Jadi Keruh dan Pekat
Akibat perubahan iklim, curah hujan meningkat, dan sungai-sungai yang bermuara ke laut makin banyak membawa sedimen lumpur. Laut jadi keruh dan gelap. Fenomena ini sudah diamati terjadi di pesisir Norwegia. Dampaknya banyak flora dan fauna laut tidak lagi mendapat cahaya matahari dan mati.
Foto: imago/OceanPhoto
Manusia Jadi Lebih Mudah Stres
Situasi perasaan manusia juga amat peka terhadap perubahan iklim. Para hali psikologi sosial sejak lama mengamati fenomena makin hangatnya iklim dengan naiknya perilaku impulsiv dan aksi kekerasan. Terutama di negara kawasan khatulistiwa diamati orang makin mudah stres. Juga pemanasan global bisa memicu konflik global, akibat perebutan sumber daya alam seperti air dan bahan pangan.
Foto: Fotolia/Nicole Effinger
Kasus Alergi Makin Parah
Makin hangat Bumi, di belahan Bumi utara musim semi datang lebih cepat dan musim panas tambah panjang. Dampaknya tanaman pemicu alergi makin panjang masa berbunganya. Penghitungan volume serbuk sari pemicu alergi diramalkan naik 2 kali lipat dalam tiga dekade mendatang. Artinya musim alergi juga tambah panjang dan penderitaan penderitanya makin parah.
Foto: imago/Science Photo Library
Hewan Lakukan Evolusi Jadi Kerdil
Hewan kecil, terutama mamalia, populasinya akan berkembang biak dengan cepat. Inilah respons evolusi yang lazim yang terlihat dalam beberapa periode pemanasan global jutaan tahun silam. Di zaman Paleocen hingga Eocen sekitar 50 juta tahun silam, saat suhu Bumi naik sampai 8 derajat Celsius, hampir semua mamalia "mengkerdilkan" diri untuk beradaptasi.
Foto: Fotolia/khmel
Penyebaran Benih Tanaman Terhambat
Yang juga sering diremehkan terkait efek pemanasan global, adalah perilaku serangga, misalnya semut. Riset Harvard Forrest di Massachusetts menunjukkan, semut yang berperan dalam penyebaran benih tanaman, memilih tidak beraktivitas jika suhu naik. Juga kegiatan koloni melakukan sirkulasi nutrisi pada tanah berhenti. Semut akan aktiv lagi jika suhu kembali normal. Editor:Ineke Mules(as/ap)