Sekitar 8000 perusahaan beraset total 24 triliun Dolar AS mendesak konferensi iklim menetapkan pajak CO2. Komitmen membayar emisi sendiri itu adalah langkah historis, kata Georg Kell, Direktur UN Global Impact kepada DW
Iklan
Amerika Serikat dan Cina mengumumkan kesepakatan bersama untuk mengurangi emisi karbondioksida. Komitmen kedua negara adidaya tersebut bernilai historis dan diyakini akan menggandakan tekanan kepada negara lain buat menetapkan sasaran iklimnya. Saat yang bersamaan sekitar 8000 perusahaan multinasional yang berpayung di bawah UN Global Impact dan mengelola aset senilai 24 triliun Dolar ASr juga berkomitmen untuk memerangi perubahan iklim. Soal dinamika baru ini Deutsche Welle berbincang dengan Georg Kell, Direktur UN Global Compact, lembaga PBB yang berkecimpung di dunia bisnis.
DW: Dunia bisnis pun kini menyatakan perang terhadap pemanasan global. Apakah perkembangan ini berdampak positif pada perlindungan iklim?
Georg Kell: Untuk pertama kali dunia bisnis berkomitmen membayar emisi CO2 yang mereka sebabkan. Ini adalah terobosan historis, karena selama ini aktivitas lobi dari perusahaan mampu mencegah pemerintah di banyak negara maju untuk menetapkan sasaran pengurangan emisi. Kini perusahaan multinasional dan investor mendukung penetapan harga CO2 yang signifikan di seluruh dunia. Ini belum pernah ada sebelumnya. Dan perkembangan ini akan mendorong politisi dan pemerintah di seluruh dunia untuk aktif memerangi pemanasan global.
DW: Perundingan iklim sejauh ini menemui jalan buntu akibat lobi gencar perusahaan multinasional. Apakah sekarang semua itu berubah?
Saat ini ada 73 negara, termasuk Rusia dan Cina, yang sudah menandatangani pernyataan bersama untuk menetapkan sasaran pengurangan emisi CO2. 120 kepala negara, di antaranya Presiden Barack Obama dan Presiden Perancis, Francois Hollande, ikut serta pada konferensi iklim PBB September lalu. Ban Ki Moon memobilisasi 400.000 massa dalam gerak jalan demi iklim.
Tapi yang terpenting adalah bahwa sekarang 1000 perusahaan, di antaranya raksasa bisnis bernilai miliaran Dolar AS, meminta harga untuk emisi CO2 yang mereka harus bayar. Dulu hal ini mustahil.
DW: Apa yang memicu perubahan sikap ini?
Badai, banjir, kekeringan dan kelangkaan air adalah faktor yang mengganggu kegiatan bisnis semua perusahaan. Kini ada semacam kekhawatiran besar. Dan risiko buat mereka kini berlipatganda. Perubahan iklim tidak baik buat bisnis.
DW: Selama berabad-abad industri minyak menjadi musuh paling berpengaruh buat energi terbarukan. Kini sejumlah perusahaan besar, termasuk Royal Dutch Shell, BP dan Statoil mendukung pemberlakuan batas emisi CO2 buat perusahaan. Apakah anda puas?
Ikut menggandeng industri minyak adalah hal yang sangat penting. Sejak hampir sepuluh tahun kita di UN Global Impact bekerjasama dengan organisasi lain untuk meyakinkan perusahaan besar bahwa keberlangsungan dan lingkungan yang mampu menopang hidup kita semua adalah hal yang baik buat dunia bisnis. Banyak perusahaan mengakui, efisiensi energi dan emisi CO2 yang rendah membantu mereka dalam persaingan dagang. Sekarang harga emisi gas rumah kaca akan sangat mahal
DW: Seberapa mahal?
Pemerintah Norwegia menetapkan pajak CO2 buat industri minyak sebesar 75 Dolar AS per ton. Norwegia saat ini menjadi contoh buat negara lain. Helge Lund, direktur perusahaan negara Statoil mengatakan, pajak CO2 dalam skala internasional harus berkisar 100 Dolar AS per ton.
DW: Cina adalah penyumbang emisi karbon terbesar. Apakah Beijing akan bersedia menelurkan komitmen iklim?
Perang demi menyelamatkan iklim bumi menawarkan kesempatan besar untuk kerjasama transnasional yang lebih erat. Cina tahun depan akan menetapkan pajak CO2. Ini akan menjadi pasar emisi dalam negeri paling besar. Terlebih Cina saat ini pun sudah menjadi investor terbesar di dunia di bidang energi terbarukan.
Berada Di Front Perubahan Iklim
Menurut perkiraan IPCC, permukaan laut akan naik antara 26 dan 82 sentimeter akhir abad ini. DW meninjau bagaimana langkah yang diambil negara-negara pulau yang letaknya rendah.
Foto: AFP/Getty Images
Hilangnya Firdaus
Negara-negara pulau di seluruh dunia sudah mulai merasakan dampak naiknya permukaan air. Mungkin Maladewa di Samudra Hindia yang terutama merasakannya. Negara itu dianggap yang terendah di seluruh dunia. Tingginya 26 atol itu hanya 1,5 meter di atas permukaan laut.
Foto: Ahmed Zahid - Fotolia
Di Bawah Air
Meningginya air menyebabkan sebagian penduduk pindah ke daerah yang lebih tinggi. Di pulau Kiribati di Samudra Pasifik, sebuah desa sudah sepenuhnya tertutup air. Petani lokal juga khawatir akan dampak air asin terhadap panen mereka. Air laut yang makin tinggi menguranggi lahan pertanian.
Foto: John Corcoran
Perlindungan Sementara dari Air
Sekitar 113.000 orang bertanah air di kepulauan Kiribati. Penduduk lokal yang terpaksa meninggalkan rumah kerap mengungsi ke pulau Tarawa Selatan. Pulau itu punya tembok yang melindungi kawasan yang rendah di tepi pantai, dari air yang meninggi. Tapi ini bukan solusi permanen.
Foto: picture-alliance/AP
Menahan Gelombang
Belanda terkenal dengan kemampuan untuk menekan air laut dari daratan. Tanggul mereka yang dirancang untuk menjaga daratan dari air laut didirikan 1.000 tahun lalu. Sekarang, sistem dam dan tanggul yang canggih memungkinkan dua pertiga populasi tinggal lebih rendah dari permukaan air laut. Namun demikian, naiknya permukaan laut masih sebabkan kekhawatiran, dan rencana penguatan tanggul sudah ada.
Foto: picture-alliance/Ton Koene
Warisan Budaya Yang Tenggelam
Venesia di Italia timur laut sudah lama mengenal banjir, dan menurut pakar, kota yang jadi ikon kebudayaan itu semakin tergenang air. Italia telah menginvestasikan sekitar 9.6 milyar Euro dalam proyek tanggul MOSE yang dirancang untuk menjaga lokasi warisan budaya dari air pasang yang tinggi dan naiknya permukaan laut. Proyek direncanakan selesai tahun 2016.
Foto: AP
Krisis di Karibia
Banyak pulau-pulau kecil di lautan tidak punya dana untuk membiayai langkah mitigasi berskala besar terhadap perubaan iklim. Mereka juga kerap tidak hanya menghadapi air laut yang meningkat. Mereka juga hadapi ancaman badai dan topan. Pulau St. Lucia dan Dominica, di kepulauan Karibia sering hadapi badai yang akibatkan rusaknya pertanian.
Foto: picture-alliance/Robert Harding World Imagery
Badai Lebih Sering
Kehancuran yang disebabkan topan Haiyan di Filipina November 2013 adalah contoh jelas bagaimana rentannya pulau-pulau atas peristiwa cuaca. Lebih dari 6.200 orang tewas. Banyak rumah di jalur yang dilewati angin topan tidak dibuat untuk tahan badai yang awalnya seolah akan melalui bagian utara negara itu.
Foto: DW/T.Kruchem
‘Dampak Krisis Iklim Adalah Kegilaan’
Orang banyak yang berpendapat bahwa negara-negara yang lebih miskin dan masih berkembang kini menderita akibat dampak industrialisasi yang diadakan Barat. Pada Konferensi Iklim Internasional (COP) 19 di Warsawa, Komisaris Filipina untuk perubahan iklim Yeb Saño menyerukan semua pihak untuk bertindak sambil mengatakan, "Yang dihadapi negara saya sebagai dampak krisis iklim adalah kegilaan."
Foto: DW/ A. Rönsberg
Mengambang di Atas Banjir
Bangladesh adalah bagian dari dataran Asia, tetapi menghadapi risiko perubahan iklim karena letaknya yang rendah dan kepadatan penduduk yang tinggi. Naiknya permukaan laut sebanyak satu meter akan menyebabkan separuh negeri tergenang air. Banyak komunitas sudah mulai menyesuaikan diri dengan menggunakan teknologi pertanian mengambang.
Foto: dapd
Pengungsi Jenis Baru
Ada kekhawatiran, bahwa naiknya permukaan laut akan menyebabkan pengungsian seluruh populasi dan menciptakan gelombang pengungsi akibat perubahan iklim. Sebuah ide dicetuskan Presiden Kiribati, Anote Tong beberapa tahun lalu. Yaitu pembuatan pulau artifisial untuk penduduk yang terpaksa mengungsi. Mungkin mereka bisa belajar dari proyek pulau artifisial di Dubai.