CDU dan SPD Capai Terobosan Hal Penyatuan Keluarga Pengungsi
30 Januari 2018
Kanselir Merkel dan partainya CDU telah sepakat dengan SPD untuk menetapkan batas bulanan penerimaan penyatuan keluarga pengungsi. Tema ini adalah hambatan utama dalam negosiasi koalisi besar pembentukan pemerintahan.
Iklan
CDU menyingkirkan salah satu rintangan paling sulit dalam negosiasi koalisi besar pada hari Selasa (30/01), yang berpotensi membuka jalan bagi masa jabatan ke-empat Angela Merkel sebagai kanselir.
Dalam perundingan koalisi antara dua partai terbesar di Jerman, CDU setuju dengan Partai Sosial Demokrat (SPD)bahwa jumlah batas reuni untuk keluarga pengungsi tidak akan melebihi 1000 dalam sebulan. Angka yang sama yang ditetapkan di akhir pembicaraan penjajakan awal bulan ini.
Kubu SPD dengan cepat mengklaim kesepakatan tersebut sebagai sebuah kemenangan. Pemimpin partai Martin Schulz mengklaim bahwa kesepakatan tersebut sebenaranya adalah "peraturan 1.000+," karena "SPD memastikan akan ada tambahan sesuai dari hasil pembicaraan penjajakan sebelumnya."
Pengungsi Terpaksa Hidup di Hutan dalam Cuaca Dingin
Ratusan pengungsi berkemah di kawasan perbatasan Serbia-Korasia, dalam upaya memasuki Uni Eropa. Kondisi mengenaskan berusaha mereka atasi dengan berbagai cara. Reporter DW melaporkan dari Šid, Serbia.
Foto: Dimitris Tosidis
Tidak termasuk gerombolan
Dragan (tengah) adalah imigran dari Macedonia. Ia bersembunyi di hutan-hutan dekat perbatasan Serbia-Kroasia, ketika ia berusaha menyeberang ke Eropa Tengah dengan imigran dari negara Arab lainnya. Dragan, bersama seorang imigran dari Cina tidak termasuk ratusan pengungsi Suriah dan Afghanistan yang juga terdampar di Šid, Serbia.
Foto: Dimitris Tosidis
Merencanakan langkah berikutnya
Pengungsi dari Afghanistan di atas atap sebuah pabrik yang tidak digunakan lagi di Šid, yang mereka jadikan tempat tinggal sementara. Selama bernaung di situ mereka membuat rencana berikutnya untuk mencapai negara Eropa barat.
Foto: Dimitris Tosidis
Melangkah dengan risiko nyawa
Imigran berjalan di atas jalur kereta api yang menghubungkan Serbia dan Kroasia di dekat Šid, di bagian utara Serbia. Menurut laporan, dua orang ditabrak kereta setelah mereka tertidur di rel kereta api.
Foto: Dimitris Tosidis
Tinggal di "rimba"
Lebih dari 150 orang bersembunyi di apa yang disebut "rimba". Yaitu daerah dengan semak rimbun di dekat rel kereta api yang menghubungkan Serbia dan Kroasia. Sebagian besar dari mereka sudah pernah berusaha menyeberang ke Eropa Barat dengan berbagai cara. Misalnya: dengan bantuan penyelundup, sendirian, berkelompok, naik truk atau bersembunyi di gerbong kereta.
Foto: Dimitris Tosidis
Membersihkan diri
Ibrahim dari Afghanistan mandi dengan air dari sungai yang dingin, di bawah jembatan dekat kota Šid di Serbia. Ratusan pengungsi hidup dalam kondisi mengenaskan, tanpa fasilitas yang hidup yang layak.
Foto: Dimitris Tosidis
Sarapan di atas rel
"Dapur Tanpa Nama" dibuka oleh sekelompok sukarelawan yang membagikan sarapan dan menyediakan bantuan untuk pengungsi yang "terdampar" di perbatasan Serbia-Kroasia. Pemerintah sudah tidak membantu mereka lagi.
Foto: Dimitris Tosidis
Mungkin lain kali
Jadali (22) dari Afghanistan baru kembali lagi ke Šid setelah gagal dalam usahanya masuk ke Eropa Barat. Ia dipenjara dua hari di Kroasia, kemudian dibebaskan lagi. Menurutnya, aparat berwenang memperlakukannya dengan kasar.
Foto: Dimitris Tosidis
Bersyukur jika bisa makan
Menjelang malam, dua orang memasak makanan untuk mereka yang berkumpul di bekas pabrik dekat perbatasan Serbia. Ratusan pengungsi terancam kelaparan juga kekerasan yang bisa timbul kapan saja.
Foto: Dimitris Tosidis
Jalur tetesan air mata
Seorang imigran berjalan mendekati kereta barang. Ia akan berusaha bersembunyi di gerbong yang kosong dan berusaha mencapai negara Eropa lainnya.
Foto: Dimitris Tosidis
Perhentian berikutnya di Eropa Barat?
Mereka yang bisa membayar, menggunakan metode "penyelundupan" dengan membayar taksi yang membawa mereka menyeberangi Kroasia. Ongkos sekali perjalanan sekitar 1, 200 Euro, atau 19 juta Rupiah. Penulis: Dimitris Tosidis (ml/yf)
Foto: Dimitris Tosidis
10 foto1 | 10
Eva Högl dari SPD mengatakan kepada wartawan di Berlin bahwa izin tinggal masih dapat diberikan atas dasar kemanusiaan, dan pada tanggal 1 Agustus, "reuni keluarga untuk orang-orang dengan perlindungan 'subsidiary' akhirnya akan diizinkan lagi." "Saya senang kita mencapai kesepakatan yang baik mengenai reuni keluarga hari ini," tambahnya. "Reuni keluarga penting dan tepat untuk semua keluarga - terlepas dari status perlindungan mereka di Jerman."
Subsidiary protection adalah adalah status intermediate yang dalam hukum Eropa didefinisikan sebagai: "berlaku bila tidak ada perlindungan bagi pengungsi atau hak atas suaka yang dapat diberikan namun terancam bahaya serius di negara asal," demikian dikutip dari situs badan pengungsi federal Jerman, BAMF. Setelah diberikan status tersebut, pengungsi mendapat ijin tinggal satu tahun, yang dapat diperpanjang dan juga berhak untuk bekerja.
Pemerintah Jerman telah menangguhkan penyatuan keluarga untuk pengungsi yang berstatus 'subsidary protection', namun penangguhan tersebut akan berakhir pada 31 Juli.
Pada hari Kamis (01/02), parlemen Jerman akan memutuskan apakah masa penangguhan tersebut akan diperpanjang atau tidak.
Misteri Tentara Jerman Yang Menyamar Sebagai Pengungsi Suriah
Letnan berusia 28 tahun, Franco A., jalani kehidupan ganda dengan menyamar sebagai pengungsi yang akan lancarkan serangan teror. Skandal meluas setelah tersangka diketahui sejak lama memiliki pandangan ekstrim kanan.
Foto: picture-alliance/dpa/S. Sauer
Terungkap Berkat Sidik Jari
Tiga bulan sebelum ditangkap, Franco A. berada di Wina Austria. Menurut harian Die Welt, ia menyembunyikan pistol berpeluru di toilet bandara Wina. Ia tidak ditahan karena tidak cukup bukti. Tapi sidik jarinya diperiksa oleh polisi Austria, dan identik dengan sidik jari "David Benjamin" yang tercatat sebagai pencari suaka di Jerman. Kepolisian Jerman langsung dihubungi.
Foto: picture-alliance/dpa/U. Anspach
Penjual Buah David Benjamin
Berprofesi tentara, ayahnya dari Italia dan ibunya Jerman, menyamar menjadi penjual buah asal Damaskus bernama "David Benjamin" yang beragama Katolik, keturunan Yahudi, dan melarikan diri dari ISIS. Permohonannya sebagai pengungsi disetujui, walau tidak bisa berbahasa Arab, Ia mendapat fasilitas tempat tinggal dan uang tunjangan bulanan dari pemerintah Jerman. (Foto simbol)
Foto: picture-alliance/dpa/F. von Erichsen
Ditangkap Saat Latihan Militer
Polisi menangkap Letnan Franco A. di kamp pelatihan militer dekat Hammelburg, kota kecil di negara bagian Bayern Rabu malam (26/04). Ia bergabung dengan militer Jerman-Bundeswehr 8 tahun yang lalu dan telah melewati pemeriksaan keamanan secara rutin.
Foto: Getty Images/AFP/F. Florin
Target Sasaran Muslim dan Pengungsi
Bersamaan dengan penangkapan Franco A., polisi merazia apartemen temannya, mahasiswa teknik industri Matthias F., 24 tahun. Keduanya berkomuniksi via SMS untuk menjadikan pencari suaka dan muslim sebagai target serangan teror. Di apartemen Mathias, petugas menemukan granat dan dinamit.
Foto: picture-alliance/dpa/S. Rampfel
Berpaham Ekstrim Kanan
Skandal meluas, setelah majalah berita Der Spiegel melaporkan, tersangka mengekspresikan pandangan ekstrim kanannya pada makalah akademis 2014, namun tidak mendapat hukuman disipliner. Dinas intelijen militer Jerman MAD saat ini sedang menginvestigasi anggota Bundeswehr yang dituduh mendukung aliran ekstrim kanan.
Foto: picture alliance / Marcel Kusch/dpa
"Nol Toleransi"
Menteri Pertahanan Jerman Ursula von der Leyen menegaskan kepada stasiun TV ZDF: "Kami bisa mentolerir banyak hal, tetapi tidak memberi toleransi bagi pandangan ekstrimisme politik, ekstrim kanan, atau ektrimis bermotivasi agama".