Rencana Beijing membuat UU anti-sanksi yang akan menghukum perusahaan asing yang mematuhi sanksi luar negeri terhadap Cina membuat perusahaan asing di Hongkong khawatir.
Iklan
Pemerintah Cina berencana memperkenalkan undang-undang baru di Hongkong dan Makau untuk mencegah perusahaan dan individu asing mematuhi sanksi yang dijatuhkan luar negeri terhadap Cina. Dengan aturan baru itu, Beijing ingin membalas sanksi yang dijatuhkan AS dan Uni Eropa sebagai reaksi atas penangkapan aktivis dan penindasan oposisi di Hongkong dan pelanggaran hak asasi manusia terhadap minoritas Muslim Uighur di Xinjiang.
"UU anti sanksi asing" itu sudah diberlakukan di Cina daratan sejak Juni lalu. Karena Hongkong memiliki status otonomi khusus, UU itu tidak otomatis berlaku di pulau itu. Pemerintah pusat ingin agar UU itu sekarang diadopsi juga oleh otoritas Hongkong.
"Pejabat Cina telah menyatakan, mereka memandang sanksi asing bertentangan dengan prinsip dasar hukum internasional dan kepentingan serta keamanan nasional Cina," kata Nicholas Turner, pengacara di Steptoe & Johnson dan pakar sanksi ekonomi, kepada DW. "Undang-undang baru ini dirancang untuk menanggapi tindakan asing itu dan untuk melindungi kepentingan dan keamanan nasional Cina."
Apa yang tercantum dalam UU anti-sanksi?
Undang-undang anti sanksi yang diputuskan untuk Cina daratan mengancam entitas atau individu asing dengan pencabutan izin memasuki atau beroperasi di Cina. Mereka juga bisa dilarang melakukan bisnis dengan warga negara atau perusahaan Cina. Undang-undang itu juga memungkinkan perusahaan Cina menyeret mitra bisnis asing mereka ke pengadilan, jika bisnisnya menderita kerugian karena sanksi asing.
Iklan
Bulan Juli lalu, Cina menggunakan undang-undang baru itu untuk memberikan sanksi kepada mantan Menteri Perdagangan AS Wilbur Ross dan enam warga Amerika lainnya sebagai balasan atas sanksi AS terhadap pejabat Cina.
Cina juga mengeritik sikap AS dan Uni Eropa terkait Hongkong dan menolak ada ikut campur dalam apa yang disebutnya "masalah internal".
Rencana penerapan aturan anti sanksi di Hongkong memusingkan perusahaan-perusahaan asing yang sudah lama beroperasi di wilayah otonomi khusus bekas koloni Inggris itu.
Hong Kong: 20 Tahun Setelah Dikembalikan ke Cina
Hong Kong dikembalikan ke bawah kekuasaan Cina 20 tahun lalu, setelah dikuasai Inggris selama 156 tahun. Sejarah kawasan itu selama ini sudah ditandai sejumlah aksi protes terhadap Cina.
Foto: Reuters/B. Yip
1997: Momentum Bersejarah
Penyerahan Hong Kong dari Inggris kepada Cina terjadi tanggal 1 Juli 1997. Wilayah Hong Kong menjadi koloni Inggris tahun 1842 dan dikuasai Jepang selama Perang Dunia II. Setelah Hong Kong kembali ke Cina, situasi politiknya disebut "satu negara, dua sistem."
Foto: Reuters/D. Martinez
1999: Tidak Ada Reuni Keluarga
Keluarga-keluarga yang terpisah akibat perbatasan Hong Kong berharap akan bisa bersatu lagi, saat Hong Kong kembali ke Cina. Tetapi karena adanya kuota, hanya 150 orang Cina boleh tinggal di Hong Kong, banyak yang kecewa. Foto: Aksi protes warga Cina (1999) setelah permintaan izin tinggal ditolak oleh Hong Kong.
Foto: Reuters/B. Yip
2002: Harapan Yang Kandas
Masalah izin tinggal muncul lagi April 2002 ketika Hong Kong mulai mendeportasi sekitar 4.000 warga Cina yang "kalah perang" untuk dapat izin tinggal di daerah itu. Keluarga-keluarga yang melancarkan aksi protes di lapangan utama digiring secara paksa.
Foto: Reuters/K. Cheung
2003: Pandemi SARS
2003, virus SARS yang sangat mudah menular mencengkeram Hong Kong. Maret tahun itu, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menyatakan adanya pandemi di kawasan itu. Pria ini (foto) hadir dalam upacara penguburan Dokter Tse Yuen-man bulan Mei. Dr. Tse secara sukarela menangani pasien SARS dan tertular virus itu. Hong Kong dinyatakan bebas SARS Juni 2003. Hampir 300 orang tewas akibat penyakit ini.
Foto: Reuters/B. Yip
2004: Demonstrasi bagi Demokrasi
Politik Cina "satu negara, dua sistem" kerap sebabkan ketegangan. 2004, dalam peringatan ke tujuh penyerahan kembali Hong Kong, ratusan ribu orang memprotes, dan menuntut reformasi politik. Mereka menyerukan demokrasi dan pemilihan pemimpin Hong Kong berikutnya.
Foto: Reuters/B. Yip
2008: Tidak Ada Tempat Tinggal
Harga properti yang sangat tinggi sebabkan biaya sewa yang juga tinggi. 2008 rasanya tak aneh jika melihat orang seperti Kong Siu-kau tinggal di apa yang disebut "rumah kandang." Besarnya 1,4 m persegi, dikelilingi kawat besi, dan dalam satu ruang biasanya ada delapan. Sekarang sekitar 200.000 orang menyebut sebuah "kandang" atau satu tempat tidur di apartemen yang disewa bersama, sebagai rumah.
Foto: Reuters/V. Fraile
2009: Mengingat Lapangan Tiananmen
Saat peringatan 20 tahun pembantaian brutal pemerintah Cina di Lapangan Tiananmen (4 Juni 1989), penduduk Hong Kong berkumpul dan menyalakan lilin di Victoria Park. Ini menunjukkan perbedaan besar antara Hong Kong dan Cina. Di Cina pembantaian atas orang-orang dan mahasiswa yang prodemokrasi hanya disebut Insiden Empat Juni.
Foto: Reuters/A. Tam
2014: Aksi Occupy Central
Sejak September 2014, protes skala besar yang menuntut lebih luasnya otonomi mencengkeram Hong Kong selama lebih dari dua bulan. Ketika itu Beijing mengumumkan Cina akan memutuskan calon pemimpin eksekutif Hong Kong dalam pemilihan 2017. Aksi protes disebut Revolusi Payung, karena demonstran menggunakan payung untuk melindungi diri dari semprotan merica dan gas air mata.
Foto: Reuters/T. Siu
2015: Olah Raga Yang Penuh Politik
Kurang dari setahun setelah Occupy Central berakhir, Cina bertanding lawan Hong Kong dalam pertandingan kualifikasi Piala Dunia sepak bola, 17 November 2015. Para pendukung Cina tidak disambut di Hong Kong. Para fans Hong Kong mengejek dan berteriak-teriak ketika lagu kebangsaan Cina dimainkan, dan mengangkat poster bertuliskan "Hong Kong bukan Cina." Pertandingan berakhir 0-0.
Foto: Reuters/B. Yip
2016: Kekerasan Baru
February 2016 tindakan brutal polisi Hong Kong kembali jadi kepala berita. Pihak berwenang berusaha singkirkan pedagang ilegal di jalanan dari kawasan pemukiman kaum buruh di Hong Kong. Mereka mengirim polisi anti huru-hara, yang menggunakan pentungan dan semprotan merica. Bentrokan ini yang terbesar setelah Revolusi Payung 2014. Penulis: Carla Bleiker (ml/hp)
Foto: Reuters/B. Yip
10 foto1 | 10
Status Hongkong sebagai pusat keuangan terancam?
"Perusahaan AS yang beroperasi di Cina terjebak dalam sengketa geopolitik," kata Doug Barry dari Dewan Bisnis AS-Chia kepada DW. "Mereka diharuskan untuk secara bersamaan mematuhi dua perangkat hukum berbeda: hukum AS dan hukum Cina."
Para pengamat mengatakan, UU baru itu bisa merusak reputasi Hongkong sebagai salah satu pusat keuangan global. Dan membuat investor asing yang sejak lama khawatir dengan erosi bertahap dari status otonomi yang dijanjikan Beijing kepada Hongkong makin gamang. Juni tahun lalu, Cina mengesahkan undang-undang keamanan nasional untuk menindak aktivis pro-demokrasi dan memperketat pengawasan di Hongkong.
"Bank-bank internasional dan lembaga keuangan khususnya mungkin diharuskan untuk menerapkan sanksi dari AS, namun hal itu dapat membuat mereka menghadapi risiko hukum di Hongkong di bawah kerangka hukum anti sanksi asing yang baru," kata Shaun Wu, mitra di firma hukum Paul Hastings, kepada DW.
Masih belum jelas, seberapa ketat Beijing akan menegakkan aturan baru itu di Hongkong. Itu kemungkinan akan bergantung pada seberapa besar sanksi Washington terhadap perusahaan-perusahaan yang dianggap melanggar sanksi AS terhadap Cina.