1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
Ekonomi

Perusahaan Asing di Hongkong Terhimpit Adu Kuat AS-Cina

18 Agustus 2021

Rencana Beijing membuat UU anti-sanksi yang akan menghukum perusahaan asing yang mematuhi sanksi luar negeri terhadap Cina membuat perusahaan asing di Hongkong khawatir.

Foto ilustrasi AS-Cina
Foto ilustrasi AS-CinaFoto: Getty Images/AFP/J. Eisele

Pemerintah Cina berencana memperkenalkan undang-undang baru di Hongkong dan Makau untuk mencegah perusahaan dan individu asing mematuhi sanksi yang dijatuhkan luar negeri terhadap Cina. Dengan aturan baru itu, Beijing ingin membalas sanksi yang dijatuhkan AS dan Uni Eropa sebagai reaksi atas penangkapan aktivis dan penindasan oposisi di Hongkong dan pelanggaran hak asasi manusia terhadap minoritas Muslim Uighur di Xinjiang.

"UU anti sanksi asing" itu sudah diberlakukan di Cina daratan sejak Juni lalu. Karena Hongkong memiliki status otonomi khusus, UU itu tidak otomatis berlaku di pulau itu. Pemerintah pusat ingin agar UU itu sekarang diadopsi juga oleh otoritas Hongkong.

"Pejabat Cina telah menyatakan, mereka memandang sanksi asing bertentangan dengan prinsip dasar hukum internasional dan kepentingan serta keamanan nasional Cina," kata Nicholas Turner, pengacara di Steptoe & Johnson dan pakar sanksi ekonomi, kepada DW. "Undang-undang baru ini dirancang untuk menanggapi tindakan asing itu dan untuk melindungi kepentingan dan keamanan nasional Cina."

Carrie Lam, pemimpin otoritas otonomi HongkongFoto: Vincent Vu/AP Photo/picture alliance

Apa yang tercantum dalam UU anti-sanksi?

Undang-undang anti sanksi yang diputuskan untuk Cina daratan mengancam entitas atau individu asing dengan pencabutan izin memasuki atau beroperasi di Cina. Mereka juga bisa dilarang melakukan bisnis dengan warga negara atau perusahaan Cina. Undang-undang itu juga memungkinkan perusahaan Cina menyeret mitra bisnis asing mereka ke pengadilan, jika bisnisnya menderita kerugian karena sanksi asing.

Bulan Juli lalu, Cina menggunakan undang-undang baru itu untuk memberikan sanksi kepada mantan Menteri Perdagangan AS Wilbur Ross dan enam warga Amerika lainnya sebagai balasan atas sanksi AS terhadap pejabat Cina.

Cina juga mengeritik sikap AS dan Uni Eropa terkait Hongkong dan menolak ada ikut campur dalam apa yang disebutnya "masalah internal".

Rencana penerapan aturan anti sanksi di Hongkong memusingkan perusahaan-perusahaan asing yang sudah lama beroperasi di wilayah otonomi khusus bekas koloni Inggris itu.

Status Hongkong sebagai pusat keuangan terancam?

"Perusahaan AS yang beroperasi di Cina terjebak dalam sengketa geopolitik," kata Doug Barry dari Dewan Bisnis AS-Chia kepada DW. "Mereka diharuskan untuk secara bersamaan mematuhi dua perangkat hukum berbeda: hukum AS dan hukum Cina."

Para pengamat mengatakan, UU baru itu bisa merusak reputasi Hongkong sebagai salah satu pusat keuangan global. Dan membuat investor asing yang sejak lama khawatir dengan erosi bertahap dari status otonomi yang dijanjikan Beijing kepada Hongkong makin gamang. Juni tahun lalu, Cina mengesahkan undang-undang keamanan nasional untuk menindak aktivis pro-demokrasi dan memperketat pengawasan di Hongkong.

"Bank-bank internasional dan lembaga keuangan khususnya mungkin diharuskan untuk menerapkan sanksi dari AS, namun hal itu dapat membuat mereka menghadapi risiko hukum di Hongkong di bawah kerangka hukum anti sanksi asing yang baru," kata Shaun Wu, mitra di firma hukum Paul Hastings, kepada DW.

Masih belum jelas, seberapa ketat Beijing akan menegakkan aturan baru itu di Hongkong. Itu kemungkinan akan bergantung pada seberapa besar sanksi Washington terhadap perusahaan-perusahaan yang dianggap melanggar sanksi AS terhadap Cina.

(hp/as)

Lewatkan bagian berikutnya Topik terkait