1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
Kebebasan PersEropa

Perusahaan Raksasa Teknologi Informasi Perparah Propaganda?

Alexandra Ivanova
22 Januari 2024

Situs pencari seperti Google dituding ikut mendukung propaganda pemerintah Rusia dan Belarus lewat algoritmanya. Jurnalis menyerukan adanya perbaruan algoritma.

Ilustrasi mesin pencari Google
Benarkah mesin pencari turut menyajikan propaganda rezim totaliter?Foto: imago

Google, Meta, dan raksasa teknologi lainnya dituding telah mempersulit akses terhadap konten media independen di Belarus, kata Natalia Belikova, jurnalis asal Belarus yang hidup dalam pengasingan kepada Komisi Eropa.

Dengan mematuhi pembatasan yang diberlakukan oleh pemerintahan Alexander Lukashenko, perusahaan-perusahaan teknologi informasi tersebut "menjadi alat bagi rezim totaliter dan otoriter untuk memberikan tekanan pada masyarakat sipil, alih-alih membantu mempromosikan media independen,” ujar Natalia Belikova, kepada Financial Times bulan ini.

Hal senada juga diungkapkan pemimpin oposisi Belarus, Svetlana Tsikhanouskaya, kepada DW di sela-sela Forum Ekonomi Dunia di Davos. "Kian jelas bahwa perusahaan-perusahaan teknologi mempunyai kekuasaan yang sangat besar. Mungkin, dalam beberapa kasus, bahkan lebih besar daripada mereka yang mempunyai kekuasaan politik," ujarnya.

"Penting bagi perusahaan-perusahaan ini untuk berada di pihak yang baik dan berkomitmen mempromosikan nilai-nilai demokrasi."

Algoritma dituding dukung situs propaganda

Masalah yang sama juga dihadapi oleh media di Rusia. "Jelas bagi kami bahwa algoritma Google, mesin pencari terbesar di dunia, berkontribusi terhadap propaganda negara Rusia karena tautannya ke media (yang didukung) negara dan pendukung pemerintah mendominasi hasil pencarian dan merekomendasikan berita yang dihasilkan untuk pengguna tertentu," kata Sarkis Darbinyan, salah satu pendiri organisasi Roskomsvoboda yang mengadvokasi hak-hak digital.

Jika pengguna mencoba mengakses perusahaan media yang diblokir, algoritma mesin pencari akan menandai tautan tersebut sebagai tidak aktif. Hal ini membuat situs web tersebut menghilang dari hasil pencarian. Sementara itu, hasil pencarian malah akan memunculkan media yang tidak diblokir dengan judul serupa.

Lev Gershenzon, mantan kepala layanan berita di mesin pencari terbesar Rusia, Yandex, dan pendiri portal berita The True Story, mengatakan kepada DW bahwa ada masalah lain.

Ia mengatakan bahwa algoritma Google tidak memperhitungkan bahwa rezim otoriter menghabiskan sumber daya yang sangat besar untuk mempopulerkan situs web artifisial. Menurutnya, Google terlalu fokus pada jumlah views, yang kemudian lebih mengutamakan situs-situs dengan berita palsu dan berisi teori konspirasi.

"Ketika algoritma ini dikembangkan, ide awalnya bagus: untuk mencegah situs dengan konten ilegal muncul di hasil pencarian," kata Darbinyan. 

Sarkis Darbinyan, salah satu pendiri organisasi hak digital RoskomsvobodaFoto: picture-alliance/dpa/RIA Novosti/R. Krivobok

Namun algoritma tersebut juga dapat dipakai untuk tujuan buruk. "Kami ingin platform-platform tersebut menghapus konten ilegal dari internet," kata Matthias Kettemann, salah satu kepala bagian kebijakan internet di Max Planck Institute for Comparative Public Law and International Law.

"Ini penting. Namun jika suatu negara menyalahgunakan hal ini, misalnya dengan menyatakan kritik apa pun terhadap pemerintah sebagai tindakan ilegal, hal tersebut adalah pelanggaran hukum. Maka Anda dapat menggunakan alat yang sama untuk menghilangkan kritik yang sah di internet."

Tidak ada dialog publik

Pada musim panas, Roskomsvoboda termasuk di antara banyak organisasi hak asasi manusia yang menandatangani makalah yang dipresentasikan ke Google oleh LSM hak digital AS, Access Now, pada konferensi global tahunan RightsCon di Kosta Rika. Makalah ini menyoroti tantangan yang dihadapi media independen akibat pembatasan yang diberlakukan oleh raksasa perusahaan teknologi informasi.

Menyusul sanksi terhadap Rusia, banyak perusahaan teknologi menutup kantor, layanan, dan dukungan mereka di sana, serta membatasi akses pengguna. Penutupan ini mempersulit pekerjaan di media independen, dan masyarakat Rusia menjadi semakin terisolasi dalam menghadapi propaganda negara, menurut laporan tersebut.

"Masih belum ada dialog publik dengan perusahaan-perusahaan teknologi besar," kata Gershenzon, yang telah menangani masalah ini selama sekitar satu tahun.

Darbinyan mengatakan Google "tidak begitu tertarik mengubah algoritmanya hanya karena ada (protes) dari beberapa kelompok hak asasi manusia." Sementara Meta lebih terbuka terhadap masyarakat sipil, ujarnya. 

Algoritma Internet Bias Gender dan Seksisme

03:06

This browser does not support the video element.

Perbaiki algoritma perlu biaya tinggi

Kettemann mengatakan Google dan perusahaan lain di Rusia, Belarus dan Cina berada dalam keadaan terikat. Mereka terpaksa mematuhi persyaratan pihak berwenang untuk menjamin keselamatan para karyawan.

Jika Komisi Eropa mengancam untuk menjatuhkan sanksi kepada Google agar mereka membuka blokir situs media independen, perusahaan tersebut berisiko akan dilarang beroperasi sama sekali di Rusia. "Hal ini, pada gilirannya, akan mengakibatkan pemotongan yang lebih parah, baik dari segi pendapatan perusahaan maupun di area komunikasi," kata Kettemann.

Darbinyan mengatakan Google telah secara efektif meninggalkan pasar Rusia. "Produk berbayar tidak lagi berfungsi di Rusia karena masalah dengan Visa dan Mastercard," kata Darbinyan. "Namun Google juga belum memulihkan opsi pembayaran bagi pengguna atau memonetisasi saluran Rusia untuk mendukung media independen dan blogger yang hidup dari pendapatan iklan."

Guna lebih mendukung media independen di Rusia dan Belarus, mesin pencari harus mengubah algoritmanya di seluruh dunia, dan hal ini akan memakan biaya yang sangat mahal. 

"Hal ini juga dapat sangat mempengaruhi optimasi SEO yang digunakan oleh ribuan atau bahkan jutaan perusahaan di internet, kata Darbinyan.

Menurut laporan Financial Times, para pejabat UE mengatakan mereka tidak punya dasar untuk mengenakan denda atau mengambil tindakan hukum terhadap perusahaan teknologi informasi yang tidak membantu jurnalis dan penulis pengkritik pemerintah di Belarus dan negara lain.

"Secara formal, Komisi Uni Eropa punya pilihan terbatas terkait langkah-langkah perusahaan Amerika di negara ketiga," kata Kettemann.

"Namun, sebagai bagian dari penegakan Undang-Undang Layanan Digital, komisi tersebut tentu saja dapat memantau platform yang juga aktif di Eropa, setidaknya mengenai aktivitas mereka di Eropa. Dalam konteks ini, komisi juga dapat memberikan panduan tentang bagaimana platform tersebut seharusnya berperilaku di negara-negara selain Eropa."

Gershenzon mengatakan pemaksaan oleh politisi dan perwakilan masyarakat akan menjadi "cara yang buruk," karena para pejabat tidak sepenuhnya memahami cara kerja teknologi. Sebaliknya, perusahaan teknologi sebaiknya mengenali masalahnya, bertanggung jawab, dan mengambil tindakan.

"Tapi hal ini belum terlihat,” kata Gershenzon, "dan perjuangan melawan kepalsuan dan propaganda hanya terjadi secara lisan." (ae/)

 

Jangan lewatkan konten-konten eksklusif berbahasa Indonesia dari DW. Ayo berlangganan gratis newsletter mingguan Wednesday Bite. Recharge pengetahuanmu di tengah minggu, biar topik obrolan makin seru!

Lewatkan bagian berikutnya Topik terkait