Pesenam Jerman Lawan Seksualisasi dengan Baju Lebih Tertutup
27 Juli 2021
Tim senam Jerman mengenakan setelan panjang yang lebih tertutup selama kualifikasi di Olimpiade Tokyo, sebagai bentuk protes terhadap seksualisasi perempuan dalam olahraga. Tindakan ini mendapat pujian dari sesama atlet.
Iklan
Tim pesenam Jerman mengambil sikap menentang seksualisasi terhadap perempuan dalam olahraga dengan mengenakan unitard atau baju yang lebih panjang dan tertutup, alih-alih mengenakan baju ketat berpotongan bikini.
Tim yang terdiri dari Sarah Voss, Pauline Schäfer, Elisabeth Seitz dan Kim Bui, telah mengenakan unitard selama pelatihan pada Kamis (22/07). Namun, keputusan untuk menggunakan setelan tersebut saat bertanding baru dibuat beberapa saat sebelum pertandingan di Olimpiade Tokyo 2020 dimulai.
"Kami duduk bersama hari itu dan berkata, oke, kami ingin memiliki kompetisi yang besar," kata Voss, berusia 21 tahun.
"Saat kamu tumbuh sebagai seorang perempuan, cukup sulit untuk membiasakan diri dengan tubuh barumu,‘‘ tambahnya.
"Kami ingin memastikan semua orang merasa nyaman dan kami menunjukkan kepada semua orang bahwa mereka dapat mengenakan apa pun yang mereka inginkan dan terlihat luar biasa, merasa luar biasa, apakah itu dalam triko panjang atau pendek," lanjutnya.
Ingin jadi panutan
Voss mengatakan mereka ingin menjadi "panutan", dan tindakan mereka mendapat pujian dari rekan sesama atlet.
"Saya pikir sangat keren bahwa mereka memiliki nyali untuk berdiri di arena yang begitu besar dan menunjukkan kepada gadis-gadis dari seluruh dunia bahwa kamu dapat mengenakan apa pun yang kamu inginkan," kata pesenam Norwegia Julie Erichsen. "Saya memuji mereka untuk itu," tambahnya.
Ketika tim mengenakan unitard mereka untuk pertama kalinya pada bulan April, Seitz mengatakan kepada DW bahwa dia berharap perempuan di cabang olahraga lain akan mengikuti jejak mereka.
"Saya ingin setiap perempuan di setiap olahraga memiliki kesempatan untuk memutuskan sendiri apa yang ingin dia kenakan," katanya.
Pakaian penutup kaki diizinkan dalam kompetisi internasional tetapi sampai sekarang pemakaiannya hampir secara eksklusif untuk alasan agama.
Saat berita ini diturunkan, tim senam Jerman tidak lolos ke final.
Paviliun Tokyo: Pameran Luar Ruangan Terinspirasi Olimpiade
Karena COVID-19, Olimpiade Tokyo meniadakan kehadiran penonton selama kompetisi. Namun, pandemi tidak surutkan tekad seniman Jepang untuk pamerkan karyanya yang merupakan bagian dari program acara kebudayaan.
Foto: Aimie Eliot/DW
Kastel Jepang karya Makoto Aida
Lewat dua kastel dari karton dan terpal biru yang menyimbolkan tradisi kekuatan dan tenaga, Makoto Aida merefleksikan keabadian: “Material yang bagus ini tidak hanya kokoh, namun melambangkan sesuatu yang bersifat temporer, seperti daerah-daerah di Jepang yang kita ketahui sering terdampak bencana alam,” jelas seniman tersebut, sambil menekankan pentingnya untuk menghadapi semua cobaan.
Foto: Aimie Eliot/DW
Kedai Teh “Go-an” oleh Terunobu Fujimori
“Kedai teh perlu ketinggian karena berikan sebuah perspektif baru tentang dunia. Setelah naik ke atas dan masuk lewat pintu sempit yang gelap, akan terlihat pemandangan yang sangat berbeda. Ini terlihat unik di kedai teh,” jelas seniman Terunobu Fujimori, yang terpukau konsep tersebut dan menciptakan sebuah kedai teh, bagian utama dari arsitektur tradisional Jepang.
Foto: Aimie Eliot/DW
Panorama kontras dari ketinggian kedai teh
Lantai satu kedai teh ini menyajikan pemandangan ke Stadion Nasional yang dirancang arsitek Kengo Kuma. Sebuah kontras antara ruang tradisional untuk upacara minum teh dan desain stadion abad 21 menonjolkan hal yang berseberangan, bagian utama dalam budaya kontemporer Jepang: Dapatkah mereka berdampingan, saat pandemi, bencana alam dan gejolak sosial yang berbeda dengan budaya asli?
Foto: Aimie Eliot/DW
Ruang Lenyap karya Yayoi Kusuma
Tema upacara minum teh berlanjut pada Ruang Lenyap karya seniman Yayoi Kusama. Fokusnya adalah aspek penghancuran diri, akibat ritual yang terus berulang. Ruangan berwarna putih ini akan menghilang jika makin banyak pengunjung menempelkan stiker polkadot. Semakin banyak polkadot yang ditempel, semua akan membentuk kesatuan dan “terserap menjadi sesatu yang abadi.”
Foto: Aimie Eliot/DW
Seni Mural Raksasa Tokyo oleh Tadanori Yokoo dan Mimi Yokoo
Mural berskala besar ini menutupi dinding kaca di gedung Marunouchi dan New Marunouchi, membentuk sepasang kanvas yang merupakan karya dari seniman Tadanori Yokoo dan Mimi Yokoo. Mural menyimbolkan energi dari elemen air dan api: “Karya ini tentang keinginan untuk menyalurkan energi, gelombang besar kehidupan, dari Tokyo untuk dunia dan masa depan,” jelas kedua seniman tersebut.
Foto: Aimie Eliot/DW
Taman Teater Jalanan karya Teppei Fujiwara
Teppei Fujiware ciptakan “teater untuk orang dan tumbuhan,” didesain sebagai hutan kota denggan perpaduan kompleks antara tanaman dan kayu. Paviliun ini cerminan tradisi yang diturunkan bergenerasi sejak periode Edo, saat warga meletakkan pot tanaman di depan rumah mereka. Budaya ini berlanjut di Tokyo sekarang, ciptakan ruang bagi orang untuk beristirahat. (mh/as)