Bagaimana memahami peristiwa 1965 sehingga serangkaian persekusi terhadap orang-orang yang dituduh kiri terus terjadi? Bagaimana pula harus bersikap terhadap korban 1965? Opini Aris Santoso.
Foto: Getty Images/C. Goldstein
Iklan
Penyelesaian kasus pelanggaran HAM Peristiwa 1965 ibarat lorong gelap bagi setiap rezim, termasuk rezim Jokowi sekarang. Hal itu bisa terjadi, selain jumlah korbannya terbilang besar, dari segi ideologi juga sensitif.
Pemerintah selalu menghadapi dilema, semisal ketika akan memberi sedikit ruang bagi para korban, langsung akan mengundang reaksi dari ormas vigilante.
Bisa jadi ormas-ormas tersebut kurang paham juga bagaimana kejadian sebenarnya Peristiwa 1965 dahulu, sebagaimana elemen masyarakat lainnya, yang mereka terima hanyalah sejarah versi propaganda rezim Orde Baru.
Penulis: Aris Santoso Foto: privat
Mengingat tidak ada narasi pembanding, sehingga sejarah versi propaganda direproduksi terus, walaupun jalan ceritanya sebagian (besar) tidak nalar.
Pemahaman yang rancu atas Peristiwa 1965 berdampak pada tindakan yang "ganjil” pada para korban, seperti yang terjadi tepat tahun 2017 di halaman kantor YLBHI, sebuah LSM yang bergerak di bidang advokasi bagi warga kurang mampu.
Dari media sosial dan media elektronik, kita bisa menyaksikan, betapa emosionalnya para anggota ormas (vigilante) dalam bertindak terhadap korban yang rata-rata adalah manula.
Selain tidak mengenal sopan-santun, tindakan mereka juga tidak beradab, bagaimana mungkin mereka bisa berlaku bak orang kesurupan seperti itu.
Beda antara Jakarta dan daerah
Bagian paling sulit dalam memahami Peristiwa 1965 adalah, adanya peristiwa yang berjalan sendiri-sendiri antara Jakarta dan daerah, namun kemudian dipaksakan bahwa keduanya merupakan peristiwa linier.
Apa yang terjadi di Jakarta, tepat pada hari peralihan bulan, September ke Oktober, sulit untuk tidak disebut sebagai upaya kudeta pihak militer, dengan skenario yang teramat canggih, sungguh di luar imajinasi rakyat kebanyakan, sehingga secara sepintas tidak tampak sebagai kudeta.
Jauh di kemudian hari, publik baru sadar, bahwa itu sebenarnya sebuah kudeta (biasa), sesuatu yang umum dilakukan pihak militer di negara lain. Itupun setelah ada input dari indonesianist terkemuka seperti Benedict Anderson.
Sebuah konspirasi tingkat tinggi berhasil menggeser figur Soekarno, dengan memunculkan figur Mayjen Soeharto, Pangkostrad saat itu. Sampai kini belum jelas benar, apakah konspirasi itu di bawah kendali Soeharto sepenuhnya, atau Soeharto sekadar mengambil keuntungan dari situasi chaos saat itu.
Wacana ini masih akan terus berkembang, seiring fakta-fakta baru yang muncul kemudian. Bila pemahaman publik masih buram apa yang sebenarnya terjadi di Jakarta, tidak demikian halnya dengan yang terjadi di daerah, khususnya di Jateng dan Jatim.
Apa yang terjadi di pelosok negeri begitu terang benderang, yakni serangkaian persekusi terhadap orang-orang yang dituduh kiri, sebagai dampak distorsi opini yang disebarkan dari Jakarta.
Rahasia Amerika Terkait Pembantaian 1965
Dokumen rahasia AS mengungkap dosa kolektif Indonesia dalam pembantaian 1965. Selain ABRI, organisasi keagamaan dan warga sipil juga ikut terlibat membunuh simpatisan PKI yang tidak berurusan dengan Gerakan 30 September.
Foto: Getty Images/Keystone
08 Juni 1965
Pejabat konsulat AS di Medan, Robert Blackburn, melaporkan perwira militer membubarkan pemerintahan sipil lokal di bawah komando Dwikora yang dikeluarkan Presiden Sukarno untuk memperkuat ABRI dalam kampanye ganyang Malaysia. Pada 1 Oktober, perwira ABRI menggunakan kewenangan tersebut untuk mendeklarasikan darurat militer dan melancarkan gelombang pembantaian pertama terhadap simpatisan PKI.
Foto: Carol Goldstein/Keystone/Getty Images
05 Agustus 1965
Sjafruddin Prawiranegara, tokoh Partai Masyumi, menyurati direktur dana bantuan AS, USAID, Edwin L. Fox, untuk menyampaikan "dukungan antusias" atas perang Vietnam. Menurutnya Washington "mengikuti satu-satunya jalan yang benar untuk menghadang agresi Komunisme." Kemenlu AS menulis surat Sjafruddin "luar biasa" mengingat sikap oposisi kelompok anti-PKI terhadap kebijakan luar negeri AS saat itu.
Foto: Getty Images/P. Christain
12 Oktober 1965
Duta Besar AS untuk Indonesia, Marshall Green, mengutip duta besar Jerman di Indonesia yang mengklaim "tentara mempertimbangkan kemungkinan mengkudeta Sukarno dan mendekati sejumlah kedutaan negara barat untuk mengabarkan kemungkinan itu." Isu tersebut dibocorkan oleh Mabes ABRI setelah Sukarno menolak permintaan militer yang ingin menunjukkan bukti-bukti "pengkhianatan Gerakan 30 September."
Foto: Imago/Xinhua
23 Oktober 1965
Adnan Buyung Nasution yang ketika itu menjabat sebagai jaksa di usia 31 tahun mengatakan kepada Sekretaris Kedutaan Besar AS Robert Rich bahwa "tentara telah mengeksekusi banyak orang komunis. Tapi fakta itu harus disembunyikan." Dalam percakapan yang dilaporkan melalui telegram kepada Kemenlu AS itu Buyung juga mengklaim "represi tentara terhadap PKI harus disembunyikan dari Soekarno."
Foto: Getty Images/AFP/B. Ismoyo
30 November 1965
Kedutaan AS melaporkan "dalam sejumlah pertemuan dengan tokoh pemuda, Jendral Nasution mengungkapkan tekadnya melanjutkan kampanye represif terhadapn PKI" yang diduga dilakukan atas perintah Suharto. Organisasi pemuda muslim di banyak kota ikut dilibatkan dalam gelombang pembunuhan lanjutan yang diprakarsai oleh ABRI.
Foto: Getty Images/C. Goldstein
28 Desember 1965
Kawat diplomatik mengungkap pembantaian berlanjut di Jawa Timur, "tapi dalam skala yang lebih kecil dan dirahasiakan." Korban dibawa keluar dari kota untuk dibantai. Kepada Washington, kedubes AS mengabarkan Nahdlatul Ulama ikut membantu "kampanye melenyapkan PKI." Bahkan Kapolda Jawa Timur Sumarsono mengatakan pihaknya "sulit menghentikan gelombang pembunuhan."
Foto: Carol Goldstein/Keystone/Getty Images
20 Juni 1967
Sebuah telegram dari kedutaan besar AS di Jakarta kepada Menlu Dean Rusk di Washington merekam sikap kritis Menlu Indonesia terhadap Suharto lantaran menggandeng Partai Nasional Indonesia. Adam Malik meyakini Suharto ingin menggunakan PNI sebagai "kekuatan tandingan" terhadap "organisasi Islam" yang kian berpengaruh dan dianggap mulai mengancam kekuasaan ABRI.
Bagaimana ada sebagian warga, yang merasa dirinya kiri, rela antri untuk "menyerahkan” lehernya. Mereka berbaris rapi di tepi lubang, tempat dirinya nanti dikubur secara massal usai dieksekusi.
Tindakan orang (yang menyerahkan lehernya) itu, mengingatkan kita pada peristiwa baru-baru ini terjadi pada mantan Menteri Sosial Idrus Marham, yang sudah menyatakan dirinya "tersangka”, sebelum ada pernyataan resmi dari KPK.
Kita bisa membayangkan, tindakan persekusi dan kriminalisasi demikian masifnya, sebuah fenomena abad pertengahan (di Eropa) namun baru terjadi di negeri ini pada abad 20.
Demikian juga dengan orang-orang itu, mereka telah memvonis dirinya sendiri bersalah, tanpa pernah mereka tahu pasti apa kesalahan mereka.
Kita akan sulit memastikan, pihak mana yang bersalah dalam kasus seperti itu, kelompok yang dengan sukarela menyerahkan lehernya, atau kelompok yang bersiap "menerima leher”, yang bisa jadi itu adalah leher kerabat atau tetangganya.
Kita bisa saja menyebut konyol pada pihak yang dengan sukarela menyerahkan lehernya, mengapa mereka tidak kabur saja, pergi ke tempat yang jauh, dengan mengaburkan identitas.
Yang bisa kita lakukan hanyalah memberi penilaian (sementara) atas hari-hari gelap tersebut, tampaknya situasinya memang begitu chaos. Sehingga pilihan bagi wong cilik menjadi sangat terbatas.
Meragukan genosida
Saat masih menjadi Menkopolhukam (2015-2016), Luhut B Panjaitan sempat meragukan bahwa genosida itu memang sunguh terjadi.
Luhut kemudian menghimbau pihak-pihak (terutama NGO di bidang advokasi HAM), yang sekiranya memiliki data atas kasus kasus tersebut, untuk menyerahkan data tersebut pada lembaga yang dipimpin Luhut.
Sungguh sebuah logika terbalik, bagaimana mungkin lembaga negara (dalam hal ini Kemenkopolhukam) justru minta bantuan pada NGO, yang kapasitas dan sumberdayanya lebih terbatas.
Keraguan Luhut atas adanya genosida pada penggal terakhir tahun 1965, bisa jadi merupakan representasi aparatus negara pada umumnya yang tidak ingin berurusan dengan masalah seputar tragedi 1965.
Kalau itu memang sudah menjadi kehendak sebagian elite politik negeri ini, tentu tidak ada kekuatan lain yang bisa melarangnya, kecuali nurani mereka sendiri.
Suharto - Jalan Darah Menuju Istana
Demi menyingkirkan Soekarno, Suharto menunggangi pergolakan di tanah air dan mengorganisir pembantaian jutaan pendukung PKI. Dia sebenarnya bisa mencegah peristiwa G30S, tetapi memilih diam, lalu memanfaatkannya.
Foto: picture-alliance/dpa
Prajurit Tak Bertuan
Suharto banyak berurusan dengan pemberontakan Darul Islam selama meniti karir militernya. Pasca kemerdekaan ia juga aktif memberantas kelompok kiri di antara pasukannya. Tahun 1959, ia nyaris dipecat oleh Jendral Nasution dan diseret ke mahkamah militer oleh Kolonel Ahmad Yani karena meminta uang kepada perusahaan-perusahaan di Jawa Tengah. Namun karirnya diselamatkan oleh Jendral Gatot Subroto.
Foto: picture alliance/United Archives/WHA
Dua Musuh di Bawah Bayang Soekarno
Seperti banyak prajurit yang lain, Suharto mencurigai kedekatan Soekarno dan pimpinan Partai Komunis Indonesia (dalam gambar D.N. Aidit). Terutama sejak pemberontakan komunis di Madiun 1948, eksistensi PKI sangat bergantung pada dukungan Soekarno. Tanpanya PKI akan lumat oleh tentara. Permusuhan ABRI dan PKI tidak cuma beraroma politis, melainkan juga dipenuhi unsur kebencian.
Foto: picture-alliance/United Archives/TopFoto
Bibit Perpecahan
Suharto sibuk membenahi karir ketika permusuhan ABRI dan PKI mulai memanas. Buat mencegah PKI memenangkan pemilu dan menguasai pemerintahan, ABRI yang saat itu dipimpin duet Ahmad Yani dan A.H. Nasution mengajukan mosi menjadikan Soekarno sebagai presiden seumur hidup. Saat itu, konstelasi politik sudah mulai bergeser: Soekarno tidak lagi melihat ABRI sebagai sekutu utamanya, melainkan PKI.
Foto: AFP/Getty Images
Berkaca Pada Tiongkok
Meniru gerakan kaum komunis di Tiongkok, PKI berupaya memperluas kuasa dengan niat mempersenjatai petani dan praktik land reform. Soekarno menyetujui yang kedua dengan mengesahkan UU Pokok Agraria 1960. Tiga tahun kemudian, PKI melakukan aksi sepihak dengan merebut tanah milik para Kyai di Jawa dan membagikannya pada petani miskin. Langkah itu menciptakan musuh baru buat PKI, yakni kelompok Islam.
Foto: AP
Sikap Diam Suharto
Enam jam sebelum peristiwa G30S, Kolonel Abdul Latief mendatangi Soeharto buat mengabarkan perihal rencana Cakrabirawa menculik tujuh Jendral. Latief saat itu mengira, Suharto adalah loyalis Soekarno dan akan memberikan dukungan. Kesaksian Latief menyebut, Suharto cuma berdiam diri. Setelah peristiwa penculikan jendral, Suharto yang menjabat Panglima Kostrad lalu mengambil alih komando ABRI.
Foto: picture-alliance/dpa
Kehancuran PKI, Kebangkitan Suharto
Pada 30 September, pasukan pengamanan Presiden, Cakrabirawa, mengeksekusi tujuh dari 11 pimpinan ABRI yang diduga kuat ingin mengkudeta Soekarno. Suharto lalu memerintahkan pembubaran PKI dan penangkapan orang-orang yang terlibat. Letnan Kolonel Untung, komandan Cakrabirawa yang sebenarnya kenalan dekat Suharto dan ikut dalam operasi pembebasan Irian Barat, ditangkap, diadili dan dieksekusi.
Foto: AP
Demo dan Propaganda
Pergerakan Suharto setelah G30S semata-mata diniatkan demi melucuti kekuasaan Soekarno. Ia antara lain mengirimkan prajurit RPKAD buat menguasai Jakarta, termasuk Istana Negara. Panglima Kostrad itu juga lihai menunggangi sikap antipati mahasiswa terhadap Sukarno yang dimabuk kuasa. Saat Soekarno bimbang ihwal keterlibatan PKI dalam G30S, mahasiswa turun ke jalan menuntutnya mundur dari jabatan.
Foto: Getty Images/C. Goldstein
Malam Pogrom, Tahun Kebiadaban
Di tengah aksi demonstrasi mahasiswa di Jakarta, ABRI memobilisasi kekuatan buat memusnahkan pendukung PKI di Jawa dan Bali. Dengan memanfaatkan kebencian kaum santri dan kelompok nasionalis, tentara mengorganisir pembunuhan massal. Jumlah korban hingga kini tidak jelas. Pakar sejarah menyebut antara 500.000 hingga tiga juta orang tewas. Tidak semuanya simpatisan PKI.
Foto: Carol Goldstein/Keystone/Getty Images
Eksekusi Disusul Eksodus
Selain menangkap dan mengeksekusi, massa dikerahkan menghancurkan toko-toko, kantor dan rumah milik mereka yang diduga pendukung komunis. Sebagian yang mampu, memilih untuk mengungsi ke luar negeri. Termasuk di antaranya Sobron, adik kandung pimpinan PKI D.N. Aidit yang hijrah ke Tiongkok dan lalu ke Perancis dan bermukim di sana hingga wafat tahun 2007.
Foto: Carol Goldstein/Keystone/Getty Images
Kelahiran Orde Baru
Setelah peristiwa G30S, Suharto yang notabene telah menjadi orang nomor satu di kalangan militer, membiarkan Soekarno berada di jabatannya, sembari menata peralihan kekuasaan. Selama 18 bulan, Suharto menyingkirkan semua loyalis Soekarno dari tubuh ABRI, menggandeng parlemen, mahasiswa dan kekuatan Islam, serta mengakhiri konfrontasi Malaysia. Kekuasaan Soekarno berakhir resmi di tangan MPRS.
Foto: DW
10 foto1 | 10
Dengan meragukan adanya genosida, setidaknya bangsa ini telah menohok saudara sebangsanya sendiri sebanyak tiga kali.
Pertama, menuduh para korban (utamanya yang dieksekusi) terlibat dalam peristiwa G30S, tanpa bukti pendukung yang valid.
Kedua, melakukan persekusi dan kriminalisasi secara masif, dan sebagian dieksekusi. Dan terakhir, ketika duduk perkara masih belum jelas, kasus persekusi, kriminalisasi dan genosida tersebut, diragukan peristiwanya.
Bagaimana dengan para pelaku genosida?
Dari segi jumlah tentu juga sama banyaknya, dan lintas sektoral. Inilah yang disebut anomali sebuah zaman, ketika antara pelaku dan korban tidak jelas batasnya, soal siapa yang benar, siapa yang salah. Situasinya demikian anarkis dan berlarut.
Aparatus negeri ini kurang memahami makna sebuah tragedi. Semua tragedi kemanusiaan, terlebih dengan skala besar, akan selalu diingat, peristiwa itu sudah masuk dalam memori publik, dan terus diwariskan dari generasi-generasi.
Di belahan bumi lain, sebuah tragedi selalu diperingati sebagai ruang memelihara nilai kemanusiaan. Singkatnya, upaya melupakan sebuah tragedi, di kawasan mana pun, akan sia-sia belaka
Dibanding kasus yang lain, penyelesaian pelanggaran HAM terkait tragedi 1965, sebenarnya relatif mudah. Elemen penguasa sendiri yang menjadikan ini seolah kasus rumit.
G30SPKI: Dusta di Ujung Nyawa Pahlawan Revolusi
Adegan penyiksaan di film G30SPKI terhadap pahlawan revolusi bertentangan dengan otopsi yang diperintahkan Soeharto sendiri. Tapi demi kampanye anti komunis, bagian tersebut dihilangkan. Inilah hasil otopsi tim forensik
Foto: Davidelit
Kabar Burung di Halaman Muka
Adalah dua harian milik ABRI, Angkatan Bersendjata dan Berita Yudha yang pertamakali melayangkan tudingan "penyiksaan barabarik" terhadap para jendral korban kudeta Partai Komunis Indonesia, termasuk bahwa mata korban "ditjungkil" dan "kemaluannya dipotong." Suharto sendiri dikutip membenarkan adanya "indikasi penyiksaan" di tubuh korban. Padahal hasil otopsi berkata lain.
Otopsi Dr. Kertopati
Selama delapan jam tim forensik yang dipimpin Dr. Roebiono Kertopati dan Dr. Sutomo Tjokronegoro bekerja hingga dini hari buat mengungkap penyebab kematian ketujuh jendral pahlawan revolusi. Hasil otopsi yang dilakukan atas perintah Suharto sendiri itu kemudian ditemukan lagi oleh sejahrawan Cornell University, Amerika Serikat, Ben Anderson.
Foto: Getty Images/Three Lions
Jendral Ahmad Yani
Jendral Ahmad Yani dikabarkan tewas di kediaman pribadinya setelah diberondong peluru oleh pasukan Tjakrabirawa pimpinan Lettu Doel Arief. Hasil otopsi hanya membenarkan separuh klaim tersebut. Tim forensik cuma menemukan delapan luka tembakan dari arah depan dan dua tembakan dari arah belakang. Yani diyakini meninggal dunia seketika sebelum jenazahnya diangkut oleh Tjakrabirawa.
Foto: Davidelit
Brigade Jendral D.I. Panjaitan
Hal serupa terjadi dengan Brigade Jendral Donald Isaac Panjaitan. Hasil pemeriksaan menyebut dia mendapat tiga tembakan di bagian kepala dan sebuah luka kecil di lengan. Tidak ada bukti penyiksaan pada tubuh seperti yang ditudingkan oleh mabes ABRI kala itu.
Foto: Davidelit
Mayor Jendral M.T. Haryono
Adapun laporan kematian Letnan Jendral Mas Tirtodarmo Haryono masih menimbulkan teka-teki karena tercatat tidak memiliki luka tembakan. Dokter hanya menemukan luka tusukan di bagian perut yang diduga disebabkan oleh bayonet. Luka serupa yang ditengarai tidak fatal juga ditemukan pada punggung dan pergelangan tangan korban yang diduga muncul ketika jenazah dilemparkan ke Lubang Buaya.
Foto: Davidelit
Mayor Jendral Siswondo Parman
S. Parman menderita lima luka tembakan, termasuk dua di kepala yang menyebabkan kematiannya. Tim forensik juga menemukan luka atau retakan pada tengkorak, rahang dan bagian bawah kaki kiri yang disebabkan oleh trauma. Tidak ada yang bisa memastikan penyebab trauma tersebut. Ben Anderson menulis pukulan popor senjata atau benturan pada lantai dan dinding sumur bisa menjadi penyebabnya.
Foto: Davidelit
Letnan Jendral Soeprapto
Letjen Soeprapto meninggal dunia akibat sebelas luka tembakan di berbagai bagian tubuh. Serupa S. Parman, dia juga menderita keretakan tulang di bagian tengkorak dan tiga luka sayatan yang diduga disebabkan oleh bayonet. Keretakan pada tulang korban diyakini sebagai akibat benturan dengan benda tumpul seperti popor senapan atau batu.
Foto: Davidelit
Brigade Jendral Sutoyo Siswomiharjo
Brigjend Sutoyo adalah sosok yang paling ramai dikaitkan sebagai korban penyiksaan PKI. Di dalam film G30SPKI anggota Gerwani ditampilkan menyungkil salah satu matanya. Namun hasil otopsi berkata lain. Sutoyo menderita tiga luka tembakan, termasuk satu luka fatal di kepala, dan trauma di bagian lengan kanan.
Foto: Davidelit
Kapten Czi. Pierre Tandean
Serupa yang lain, Pierre Tandean meninggal dunia akibat empat tembakan oleh pasukan Tjakrabirawa. Dia juga menderita luka dalam di bagian kening dan lengan kiri, serta "tiga luka terbuka akibat trauma di kepala." Tidak seorangpun dari tim dokter forensik bisa memastikan indikasi penyiksaan seperti yang ditudingkan Suharto kala itu.
Foto: Davidelit
9 foto1 | 9
Meringankan negara
Dari pengamatan saya secara acak terhadap aspirasi para penyintas (survivor), sejatinya mereka tidak berharap apa-apa lagi terhadap negara, bahkan sekadar maaf sekalipun. Para korban dari segi usia umumnya sudah tua. Mereka sudah pasrah menjalani hidup, sembari menunggu hari menuju keabadian.
Bedakan antara sikap korban dengan kajian sejarah terkait peristiwa tersebut. Bila kajian kita tidak pernah tahu kapan akan berakhir, sementara bagi korban, peristiwa itu sudah selesai.
Kini bola ada di tangan rezim Jokowi, bagaimana harus bersikap terhadap korban 1965, seandainya tidak melakukan tindakan apa-apa, para korban juga tidak mempermasalahkan. Dalam kasus ini, negara sungguh diringankan.
Masalahnya negara sendiri juga tidak pernah melakukan observasi pada para korban, soal bagaimana aspirasi subjektif korban secara detail, menjadi tidak tertangkap.
Sulit dinalar memang, untuk urusan sesederhana ini, negara lebih merujuk pada opini para "broker”, yakni ormas garis keras yang biasa memainkan isu korban 1965. Kalau suara kelompok ini yang lebih didengar, kita tidak akan pernah tahu dimana ujungnya, mengingat mereka biasa numpang hidup dari komodifikasi kasus-kasus seperti ini.
Aris Santoso adalah penulis yang sejak lama dikenal sebagai pengamat militer, khususnya TNI AD. Kini bekerja sebagai editor buku paruh waktu.
*Setiap tulisan yang dimuat dalam #DWNesia menjadi tanggung jawab penulis.
*Luangkan menulis pendapat Anda atas opini di atas di kolom komentar di bawah ini. Terima kasih.
Daftar Pelanggaran HAM yang Belum Terselesaikan
Sejumlah kasus pelanggaran HAM di Indonesia berat tersandung oleh sikap batu lembaga negara. Kejaksaan Agung seringkali menjadi kuburan bagi keadilan. Inilah sebagian kasus besar yang masih menjadi PR buat pemerintah.
Foto: AFP/Getty Images/Dewira
Tragedi Trisakti
Pada 12 Mei 1998 demonstrasi mahasiswa menuntut pengunduran diri Suharto memuncak di kampus Universitas Trisakti, Jakarta. Komnas HAM mencatat jumlah korban kekerasan oleh aparat keamanan mencapai 685 orang, sementara tiga meninggal dunia akibat tembakan. Ironisnya berkas penyelidikan yang dikirimkan ke Kejaksaan Agung dinyatakan hilang pada Maret 2008 oleh Jampidsus Kemas Yahya Rahman.
Foto: picture-alliance/NurPhoto/D. husni
Semanggi Berdarah
Kejaksaan Agung di bawah kendali Hendarman Supandji menjadi jalan buntu pengungkapan kasus pelanggaran HAM 1998. Berkas laporan Komnas HAM terhadap kasus kekerasan aparat yang menewaskan 17 orang (Semanggi I) dan melukai 127 lainnya pada November 1998 menghilang tak berbekas. Setahun berselang tragedi kembali berulang, kali ini korban mencapai 228 orang.
Foto: picture alliance/dpa
Hilangnya Widji Tukul
Satu per satu aktivis pro demokrasi menghilang tanpa jejak menjelang runtuhnya kekuasaan Suharto, termasuk di antaranya Widji Thukul. Ia diduga diculik aparat keamanan setelah dinyatakan buron sejak peristiwa Kerusuhan Dua Puluh Tujuh Juli 1996 (Kudatuli). Kasus Widji Thukul mewakili puluhan aktivis yang sengaja dilenyapkan demi kekuasaan.
Foto: Wahyu Susilo
Pembantaian 1965
Antara 500.000 hingga tiga juta nyawa simpatisan PKI melayang di tangan militer dan penduduk sipil setelah kudeta yang gagal pada 1965. Hingga kini upaya pengungkapan tragedi tersebut tidak pernah menyentuh pelaku. Adalah sikap membatu TNI yang melulu menjadi sandungan bagi penuntasan tragedi 1965.
Petaka di Wamena
Tragedi Wamena berawal dari penyerangan gudang senjata oleh orang tak dikenal yang menewaskan 2 anggota TNI pada April 2003. Aksi penyisiran yang kemudian dilakukan aparat menewaskan 9 penduduk sipil, sementara 38 luka berat. Seperti kasus sebelumnya, laporan penyelidikan Komnas HAM ditolak Kejagung dengan alasan tidak lengkap. TNI juga dituding menghalangi penyelidikan kasus tersebut.
Foto: picture-alliance/AP/dpa/A. Vembrianto
Pembunuhan Munir
Sosok yang sukses membongkar pelanggaran HAM berat oleh Tim Mawar dan mengakhiri karir Danjen Kopassus Prabowo Subianto ini meninggal dunia setelah diracun dalam perjalanan menuju Belanda. Pollycarpus Budihari Priyanto dinyatakan bersalah dan divonis 14 tahun penjara. Namun hingga kini kejaksaan sulit memburu tersangka utama yakni Muchdi Pr. yang dikenal dekat dengan Prabowo.