1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Pidato Obama di Depan Kongres

25 Februari 2009

Barack Obama memaparkan situasi sulit yang dihadapi Amerika Serikat. Tapi ia tetap menunjukan optimismenya untuk membangun Amerika Serikat menjadi lebih kuat dari sebelumnya.

Barack Obama ketika menyampaikan pidatonya di depan KongresFoto: AP

Harian Italia La Repubblica yang terbit di Roma dalam tajuknya berkomentar:

Lima pekan setelah dilantik, presiden Barack Obama tampil di depang Kongres, menyampaikan pidatonya mengenai situasi nasional. Ia memaparkan situasi ekonomi secara faktual, realistis dan sekaligus dalam kerangka yang suram. Namun dalam waktu bersamaan ia menjanjikan kepada warga AS, bahwa mereka akan segera memasuki hari-hari yang lebih cerah. Pidato nasional pertamanya, memang serupa dengan pidato nasional pertama setiap presiden AS lainnya. Akan tetapi, Obama kini lebih berkonsentrasi pada tema ekonomi, selain melakukan reformasi politik luar negeri dan pemindahan pasukan dari Irak ke Afghanistan.

Harian Italia lainnya Corriere della Sera yang terbit di Milan dalam tajuknya berkomentar:

Tujuh tahun lalu, presiden AS ketika itu, George W. Bush dalam pidato nasionalnya membunyikan tanda bahaya, adanya ancaman serius dari apa yang disebutnya negara poros kejahatan. Tiga negara yang disasar Bush, yakni Irak, Iran dan Korea Utara. Sekarang, Presiden Barack Obama memperluasnya menjadi negara poros kekacauan yang meliputi sedikitnya 9 negara dari Timur Tengah hingga Afrika. Dan diingatkan, negara poros kekacauan ini dapat meluas dengan cepat. Masalah mendasarnya sebetulnya sama seperti pada saat depressi besar ekonomi di tahun 30-an, yakni negara-negara ini lebih banyak berkutat dengan problemnya sendiri maupun dengan dampak krisis ekonomi yang melandanya. Dengan itu, negara poros kekacauan sangat sulit memalingkan perhatiannya ke masalah lebih besar yang melanda dunia.

Sementara harian ekonomi Spanyol Expansion yang terbit di Madrid berkomentar:

Politik luar negeri Barack Obama kini mentolerir pelanggaran hak asasi manusia. Ketika Menlu Hillary Clinton berkunjung ke Cina, ia tidak mempedulikan protes menyangkut pelanggaran hak asasi yang dilakukan rezim komunis tersebut. Sementara juru bicara pemerintah di Washington menilai referendum di Venezuela, yang mengukuhkan jabatan seumur hidup presiden Hugo Chavez, sebagai berlangsung demokratis. Namun Gedung Putih tidak menyampaikan sepatah katapun, yang menunjukan bahwa demokrasi di Venezuela sejak bertahun-tahun digerogoti dan dilemahkan. Jika AS tidak lagi mengecam pelanggaran hak asasi manusia, maka rezim di Kuba juga bisa berharap, suatu hari nanti dapat memenangkan lotre yang digagas Obama.

Sementara harian Jerman Neue Osnabrücker Zeitung yang terbit di Osnabrück berkomentar:

Tidak ada lagi yang mengharapkan keajaiban politik dari Barack Obama. Pernyataannya bahwa defisit anggaran AS hingga 2013 akan diturunkan separuhnya, menimbang krisis ekonomi aktual amatlah diragukan akan sukses. Presiden Obama ibaratnya merencanakan pesta kembang api, dengan paket bantuan, dana talangan dan anggaran belanja negara bernilai milyaran Dolar. Apakah semua ini logis? Harus tetap dipertanyakan. Yang jelas programnya amat mahal. Pengurangan utang luar negeri, hanya bisa diharapkan, jika konjunktur kembali melaju. Hal ini memerlukan waktu cukup panjang. Karena itu, janji stabilitas dari Obama memang berniat baik, akan tetapi kedengarannya terlalu optimis. (as)