Kesadaran terhadap lingkungan sesungguhnya adalah tindakan politis yang berdampak bagi semua pihak di masa depan. Kita bersama harus berkomitmen terhadap lingkungan. Opini Nadya Karima Melati.
Iklan
"Wajah kamu berminyak sekali, pasti sebentar lagi USA akan menginvasi wajah kamu”, ucap teman saya seraya bercanda. Obsesi Amerika Serikat dan banyak negara maju di dunia untuk menguasai minyak dan sumber daya energi sudah menjadi rahasia umum. Minyak, batu bara, gas dan uranium adalah sumber darya energi tak terbaharukan sudah barang tentu menjadi bahan rebutan guna melegitimasi kekuatan dan kekuasaan politik sebuah negara maju dan juga melanggengkan industri yang menggerakan globalisasi dan pasar bebas saat ini.
Di sisi yang lain, gerakan peduli lingkungan berbasis komunitas dengan slogan "Go Green” sedang menjamur di masyarakat dunia hari ini. Sebut saja Urban Farming, Earth Hour, kampanye "ayo bebersih dan pungut sampah” hingga daur ulang sampah di tingkat sekolah dasar sampai kecamatan. Hal yang luput dari perhatian adalah bahwa obsesi ekspansi energi negara maju dan gerakan peduli lingkungan sebenarnya adalah dua hal yang sangat erat dan berkaitan satu sama lain. Bahwa urgensi kepedulian atas perubahan Iklim yang terjadi ada hubungannya dengan problem dasar yaitu keamanan energi.
Ketika Indonesia di bawah pemerintahan Jokowi yang menggenjot pertumbuhan ekonomi mencapai 5,3% pertahun dan gerakan "Go Green” yang digagas masyarakat di sisi lainnya adalah dua hal yang sebenarnya paradoksal dalam pikiran Anthoy Giddens. Pemikir sosiologis ini dalam bukunya Politik Perubahan Iklim memaparkan bahwa pertumbuhan ekonomi yang menjadi capaian negara-negara berkembang dengan basis meningkatkan kesejahteraan penduduk sesungguhnya bertentangan dengan tujuan mengatasi perubahan Iklim. Kebutuhan akan energi yang menjadi penyokong industri dalam pertumbuhan ekonomi bertentangan dengan upaya mengurangi emisi dan melindungi lingkungan. Hal yang dibutuhkan adalah konversi energi dan alih teknologi besar-besaran dan sokongan pemerintah negara sebagai pemain politik yang berkepentingan.
Memikirkan Ulang Gerakan Hijau
Saya kenal seseorang yang berasal dari Sulawesi berbangga hati menggunakan kaos yang bertuliskan "Earth Hour”. Gerakan peduli lingkungan berdasarkan kesadaran diri untuk membatasi penggunakan listrik khususnya lampu ini telah menjamur di beberapa wilayah negara. Indonesia tidak terkecuali menjadi sasaran kampanye program ini, namun seperti kebanyak gerakan peduli lingkungan yang berbasis global, kampanye peduli lingkungan hari ini lebih banyak yang bersifat bandwagon effect atau sekedar ikut-ikutan. Bagaimana tidak, kemerataan elektrifikasi alias ketersediaan listrik di seluruh wilayah Indonesia tidak bisa disamakan dengan negara-negara maju penggagas gerakan ini. Ketimpangan ketersedian listrik dan kemampuan untuk menyala terus menerus sangat menyedihkan. Berdasarkan data elektrifikasi yang dibuat Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) per Maret 2017 jumlah elektrifikasi di daerah meingkat tetapi tidak menjamin keberlangsungan listrik alias kebiasaan byar-pret (mati listrik) yang sering dan mendadak di berbagai wilayah di Indonesia terkecuali Jakata tentunya.
Kota Terapung Menjawab Perubahan Iklim
Kota di permukaan samudera bisa menyelamatkan jutaan penduduk di negara kepulauan yang terancam perubahan iklim. Tapi berbeda dengan yang lain, konsep milik Institut Seasteading ini bisa direalisasikan dalam waktu dekat.
Foto: Floating City Project/DeltaSync
Bertaruh Nasib
Maladewa, Kepulauan Marshall atau bahkan Indonesia pun ikut terancam oleh kenaikan permukaan air laut sebagai dampak perubahan iklim. Selama ini pemerintah di negara kepualauan terkecil cuma memiliki satu solusi, yakni menyewa atau membeli tanah di negeri orang untuk mengungsi. Namun kini konsep kota terapung milik Institut Seasteading bisa menjadi solusi paling berkelanjutan.
Foto: RICO - Fotolia.com
Solusi di Samudera
Belum lama ini pemerintah Polynesia Perancis sepakat menggandeng rumah desain Institut Seasteading buat membangun kota terapung di permukaan samudera Pasifik, di lepas pantai Tahiti. Kota tersebut rencananya akan mulai dibangun tahun 2019. Menurut studi teranyar, dua pertiga wilayah Polynesia Perancis akan tenggelam pada akhir abad dengan laju kenaikan permukaan laut seperti saat ini.
Foto: Floating City Project/The Seasteading Institute /DeltaSync/Architectural Design Contest/Roark 3D/G. Sheare, L. & L. Crowley und P. White
Delapan Perintah Moral
Institut Seasteading yang didirikan oleh pemilik Paypal Peter Thiel itu memerlukan waktu lima tahun untuk mendesain "komunitas permanen dan inovativ yang mengapung di permukaan laut." Tidak tanggung-tanggung, institut tersebut mengklaim desainnya dibuat dengan merujuk pada delapan perintah moral, antara lain menyembuhkan orang sakit, menyejahterakan kaum miskin dan membersihkan atmosfer Bumi.
Foto: Floating City Project/The Seasteading Institute /DeltaSync/Architectural Design Contest/TDArch/Yin Tao-chiang
Surga Mengambang
Proyek pertama akan dibangun di atas 11 panggung mengambang berbentuk persegi yang susunannya bisa diatur sesuai kebutuhan penduduk kota layaknya kepingan puzzle. Untuk tahap pertama pemerintah Polynesia Perancis berencana membangun kota untuk menampung antara 250 hingga 300 orang. Kota ini nantinya akan sepenuhnya menggunakan energi terbarukan dan dikelola dengan konsep ramah lingkungan.
Foto: Floating City Project/The Seasteading Institute /DeltaSync/Architectural Design Contest/Seoul National University/M. Seok Kim
Tembok Air
Panggung mengambang tersebut rencananya akan dibangun dari beton bertulang dan bisa menampung gedung bertingkat tiga seperti hotel, apartemen atau pusat perbelanjaan dan memiliki usia pakai hingga 100 tahun. Setiap panggung akan dibuat sepanjang 50 metern dengan tinggi lima meter. Kota ajaib ini juga akan dilindungi oleh tembok laut setinggi 50 meter.
Foto: Floating City Project/The Seasteading Institute /DeltaSync
Mandiri dan Berkelanjutan
Setiap panggung bisa dipindahkan ke lokasi lain dengan menggunakan kapal penyeret dan dikaitkan dengan panggung lain buat membentuk formasi yang diinginkan. Kebutuhan air akan ditutupi dengan menyaring air laut dan sayuran atau buah bisa ditanam di rumah kaca dengan sistem akuaponik. Sementara sampah diangkut ke lokasi pengolahan yang dibangun di daratan.
Foto: Floating City Project/The Seasteading Institute /DeltaSync/Architectural Design Contest/A. Gyorfi
Terjangkau dan Realistis
Bahwa kota terapung di Haiti terjangkau secara ekonomi terlihat dari ongkos pembangunan tahap pertama yang ditaksir senilai 167 juta Dollar AS atau sekitar 2,2 triliun Rupiah. Ongkos pembangunan sebuah panggung mencapai 10 juta Dollar AS, tidak berbeda dengan harga tanah di kota metropolitan seperti New York atau London.
Foto: Floating City Project/The Seasteading Institute /DeltaSync/Architectural Design Contest/Roark 3D/G. Sheare, L. & L. Crowley und P. White
Kebebasan Politik
Keunikan terbesar kota terapung adalah kebebasan politik yang dinikmati penduduknya. Lantaran sifatnya yang mandiri dan bisa berpindah tempat, kota ini bisa memilih kota untuk melabuh. "Jika penduduknya tidak suka kebijakan sebuah kota, maka mereka bisa pindah ke kota lain," tulis Institut Seasteading. Keunikan tersebut diyakini akan memaksa pemerintah kota bekerja sesuai keinginan penduduk.
Foto: Floating City Project/DeltaSync
Realita Menyapa
Ada banyak gagasan inovatif lain untuk menghadirkan konsep pemukiman mengambang. Namun sejauh ini ide yang dikembangkan Institut Seasteading adalah yang paling realistis dan terjangkau. Meski begitu konsep kota terapung masih harus mengalami lusinan uji kelayakan untuk menghadapi berbagai bahaya seperti kebakaran, wabah penyakit, Tsunami atau kerusuhan sosial.
Foto: Floating City Project/The Seasteading Institute /DeltaSync/Architectural Design Contest/Atkins/S. Nummy
9 foto1 | 9
Gerakan dan politik hijau sesungguhnya tidak benar-benar nyata, setidaknya begitu menurut Anthony Giddens. Pemikiran soal Politik Hijau berasal dari ciptaan Revolusi Industri dan pada awal kemunculannya tidak berhubungan dengan kampanye pencegahan perubahan Iklim dan Global Warming. Untuk itu, beberapa prinsip dasar dari gerakan hijau ini menurutnya tidak memberikan implikasi yang cukup untuk mencegah perubahan Iklim. Gerakan hijau memiliki empat pilar diantaranya kebijaksanaan ekologis, keadilan sosial, demokrasi akar rumput, dan asas non-kekerasan. Empat pilar ini diperkenalkan oleh Partai Hijau Jerman, yang sekarang bernama Alliance ‘90/The Greens (Bündnis 90/Die Grünen) pada tahun 1979-1980. Hal yang selalu ditutup-tutupi dari Gerakan Hijau adalah salah satu masa kejayaan mereka justru saat berada di bawah fasisme, terutama di Jerman.
Ideologi "Ekologisme” Gerakan Hijau sering sekali terjebak dalam Mistisme Alami atau gerakan romantisir di masa lalu yang merumuskan soal konservasi alam, pertanian organik dna vegetarianisme. Gerakan hijau semacam ini sering kali terbentur pada gerakan esensialis dan konservasisme. Kecenderungan untuk menolak kepercayaan lepas terhadap ilmu pengetahuan terutama teknologi. Teknologi harus ditolak kecuali bisa dibuktikan bahwa teknologi itu tidak menyebabkan kerusakan, baik kepada manusia atupun biosfer. Padangan Gerakan Politik Hijau ini sering dikaitkan dengan pandangan ekosentrisme Ekologi Dalam yang menyatakan bahwa manusia adalah bagian dari kelangsungan alam dan tidak lagi sekedar mahluk sosial tapi juga nature-beings, makhluk alam.
Perubahan Iklim Dalam Film-Film Hollywood
Cli-fi atau climate fiction adalah genre film yang makin populer: film-film dengan latar belakang perubahan iklim. Biasanya kisah tentang orang yang mencoba menyelamatkan bumi dari bencana perubahan iklim dan cuaca.
Foto: RatPac Documentary Films
Beasts of the Southern Wild
Perubahan iklim menjadi latar belakang film dari tahun 2012 yang sangat terkenal ini, yang menggabungkan puisi dan politik. Kisah tentang kehidupan Hushpuppy yang berusia enam tahun setelah amukan badai Katrina. Lapisan es mencair membanjiri rumah mereka dan membebaskan lagi mahluk-mahluk purba.
Foto: picture-alliance/dpa
Waterworld
Tahun 1995, Kevin Costner memerankan seorang petualang masa depan, ketika lapisan es di kutub telah meleleh dan membanjiri setiap benua. Manusia yang masih hidup tinggal di komunitas-komunitas terapung yang kumuh. Mereka bermimpi tentang suatu "ladang kering" di suatu tempat. Karakter Costner akhirnya membawa korban dengan selamat ke puncak Gunung Everest, yang dipenuhi vegetasi dan satwa liar.
Foto: picture-alliance/dpa
Geostorm
Subjek geo-engineering yang kontroversial menjadi sorotan dalam film cli-fi terbaru, yang dirilis di AS pada tanggal 20 Oktober. Gerard Butler berperan sebagai astronot yang mencoba menyelamatkan dunia dari badai yang disebabkan oleh satelit pengendali iklim yang tidak berfungsi.
Foto: picture-alliance/Everett Collection
Downsizing
Tidak semua film cli-fi bercerita tentang akhir zaman. Drama komedi yang akan segera rilis ini mengambil aspek lucu tentang bagaimana mengatasi pemanasan global. Orang-orang menyusut ke versi mini agar dapat menggunakan lebih sedikit sumber daya. Dibintangi oleh Matt Damon dan Christoph Waltz, film ini rencananya memasuki bioskop bulan Desember 2017.
Foto: Imago/ Zumapress
An Inconvenient Sequel: Truth To Power
Film dokumenter tentang perubahan iklim dari mantan wapres AS Al Gore tahun 2006 berjudul "An Inconvenient Truth" mendapat pujian luas. Sekuel baru tahun 2017 ini menunjukkan apa yang telah terjadi di seluruh dunia sejak itu: "Bom hujan" menyerang kota-kota, mengakibatkan banjir besar di Miami dan Manhattan. Gletser di Antartika menyusut, kebakaran hutan mengamuk di Eropa dan Kanada.
Foto: Paramount Motion Pictures
The Day After Tomorrow
Film Roland Emmerich tahun 2004 ini adalah salah satu film pertama dan paling sukses tentang perubahan iklim. Film ini menggambarkan New York City sebagai kota yang beku setelah gangguan sirkulasi cuaca di Atlantik Utara. Tapi film laris ini dikritik para periset karena ketidakakuratan ilmiahnya.
Foto: Imago/Unimedia Images
Before the Flood
Film dokumenter dari National Geographic tahun 2016 ini memanfaatkan kekuatan bintang layar perak Leonardo DiCaprio untuk menginspirasi pemirsa agar mengambil tindakan dan mengubah kebiasaan mereka. Aktor tenar ini menjadi aktivis iklim dan mengunjungi berbagai wilayah dunia untuk mengeksplorasi dampak pemanasan global.
Foto: RatPac Documentary Films
7 foto1 | 7
Politik Perubahan Iklim
Di sisi lain, muncul gerakan peduli perubahan iklim yang menggunakan basis pemikiran yang lebih rasional yang sering kali disandingkan dengan pikiran ekosentrisme, yakni teknosentrisme. Teknosentrisme percaya bahwa teknologi memiliki kemampuan untuk mengontrol dan melindungi lingkungan. Bahwasanya, benda-benda di alam hanya akan memiliki nilai melalui manusia. Teknosentrisme memberikan aliran pemikiran bahwa perlindungan terhadap lingkungan tidak harus bertentangan dengan pertumbuhan ekonomi negara maju maupun berkembang. Karena perubahan iklim tidak sekedar kabut dan polusi di jalanan Jakarta, maka usaha para ilmuwan untuk mengukur dan menciptakan inovasi baru membantu untuk perbaikan kualitas hidup manusia dan lingkungan.
Berbeda dengan politik Gerakan Hijau yang bersandar pada komunitas dan demokrasi akar rumput, Giddens membawanya ke pada pemikiran bahwa perubahan Iklim sebagai isu yang bisa melampaui negara-bangsa karena bencana yang terjadi akibat Perubahan Iklim bisa terjadi di mana saja dan kapan saja tanpa di duga, untuk itu dia mengambil isu soal perubahan Iklim adalah isu tentang resiko di masa depan. Pemikirannya berusaha mendamaikan antara ekonomi-ekonomi kompetitif dan teknologi-teknologi yang ramah terhadap perubahan iklim. Bahwa apabila gerakan politik hijau yang berbasis komunitas menjadi mainstream, maka ia akan dengan sendirinya kehilangan identitasnya. Dan negara punya andil dalam kebijakan perubahan iklim karena politik energi yang selalu berdampingan dalam upaya memperbaiki kualitas lingkungan.
Kiamat Iklim Kian Dekat
Ilmuwan memperingatkan umat manusia hanya punya waktu tiga tahun untuk menyelamatkan Bumi dari dampak terburuk perubahan iklim. PBB mengusulkan enam butir rencana untuk menanggulanginya.
Berlomba dengan Waktu
Lewat jurnal ilmiah Nature, ilmuwan mewanti-wanti betapa manusia kehabisan waktu buat mencegah laju perubahan iklim menjadi tidak terkendali. Sisi positifnya, saintis meyakini manusia masih bisa menyelamatkan Bumi dari ancaman kekeringan, banjir, gelombang panas dan kenaikan permukaan air laut. Namun untuk itu kita hanya punya waktu tiga tahun.
Foto: Getty Images/L. Maree
Enam Langkah buat Bumi
Kelompok ilmuwan yang juga beranggotakan bekas Direktur Iklim PBB, Christiana Figueres, itu menyimpulkan jika kadar emisi bisa ditekan secara permanen hingga 2020, maka ambang batas temperatur yang bisa berdampak pada perubahan iklim tak terkendali tidak akan dilanggar. Untuk itu mereka mengusulkan rencana enam butir kepada dunia internasional.
Foto: picture-alliance/R4200
1. Energi Terbarukan
Saat ini energi terbarukan memenuhi sedikitnya 30% kebutuhan energi dunia. Angka tersebut banyak meningkat dari kisaran 23,7% pada 2015. Meski pertumbuhan produksi energi ramah lingkungan meningkat, pemerintah dan industri tidak boleh lagi membangun pembangkit listrik tenaga batu bara pasca 2020 dan semua pembangkit yang sudah beroperasi harus dipensiunkan.
Foto: picture-alliance/AP Images/Chinatopix
2. Infrastruktur Nol Emisi
Kota dan negara di dunia sudah berkomitmen untuk menghilangkan jejak karbon sepenuhnya pada sektor konstruksi dan infrastruktur pada 2050. Untuk itu Perjanjian Iklim Paris menyediakan program pendanaan senilai 300 milyar Dollar AS setiap tahun. Kota-kota wajib mengganti struktur konstruksi pada sedikitnya 3% bangunan/tahun di wilayahnya menjadi lebih ramah lingkungan atau nol emisi.
Foto: Getty Images
3. Transportasi Ramah Energi
Tahun lalu sebanyak 15% dari total penjualan kendaraan bermotor di seluruh dunia berbahan bakar elektrik. Jumlahnya meningkat 1% dari tahun sebelumnya. Namun pemerintah dan industri tetap diminta untuk menggandakan efisiensi bahan bakar untuk transportasi, yakni sebesar 20% untuk kendaraan berat dan pengurangan 20% emisi gas rumah kaca per kilometer untuk pesawat terbang.
Foto: picture-alliance/dpa/O. Berg
4. Penghijauan Lahan
Kebijakan penggunaan lahan harus diarahkan untuk mengurangi kerusakan hutan dan bergeser ke arah penghijauan kembali. Saat ini emisi gas rumah kaca dari pembalakan hutan dan pembukaan lahan mencapai 12% dari emisi global. Jika emisi tersebut bisa dikurangi menjadi nol, maka hutan yang ada bisa digunakan untuk mempercepat pengurangan emisi CO2 global.
Foto: picture-alliance/AP Photo/R. Abd
5. Efisiensi Industri Sarat Emisi
Industri berat seperti industri baja, semen, kimia, minyak dan gas, saat ini menghasilkan seperlima emisi CO2 di dunia, termasuk untuk kebutuhan energi. Baik pemerintah maupun swasta harus berkomitmen memangkas emisi CO2 industri berat menjadi separuhnya pada 2050. Hal ini bisa dicapai dengan pertukaran teknologi dan efisiensi energi.
Foto: Reuters/M. Gupta
6. Pendanaan Mitigasi Iklim
Sektor keuangan berkomitmen memobilisasi dana senilai 1 trilyun Dollar AS per tahun untuk program iklim. Kebanyakan berasal dari swasta. Pemerintah dan lembaga keuangan seperti bank dunia harus mengeluarkan "obligasi hijau" lebih banyak untuk membiayai program mitigasi perubahan iklim. Langkah itu berpotensi mampu menciptakan pasar yang mengelola dana senilai hampir 1 trilyun Dollar AS pada 2050.
Foto: picture-alliance/dpa/F. Rumpenhorst
Kiamat Tak Terbendung?
Celakanya bahkan jika manusia berhasil mencapai target dua derajat seperti yang tertera pada perjanjian iklim Paris, separuh populasi Bumi akan tetap menglami gelombang panas mematikan lebih sering pada 2100. Indonesia dan Amerika Selatan termasuk kawasan yang paling parah. Ilmuwan meyakini tren tersebut tidak bisa dicegah lagi. (rzn/hp - nature, unfccc, guardian)
9 foto1 | 9
Apabila Giddens menyandarkan manajemen resiko perubahan Iklim dan kepercayaan sepenuhnya kepada ilmuwan untuk mengukur kerusakan lingkungan juga mengatasinya. Aktor-aktor lain dalam struktur masyarakat memiliki peran untuk menanggulangi resiko tersebut. Di tingkat elit, negara berperan untuk mewujudkan energi baru dan kebijakan yang lebih ramah lingkungan redah karbon. Tentu saja dengan harapan agar minyak tidak lagi menjadi ketergantungan kekuataan dan politik setiap negara-negara. Di tingkat masyarakat, kampanye perubahan lingkungan tidak berdasarkan tren global namun lebih memperhatikan permasalahan sekitar. Bukan sekedar mengadaptasi Earth Hour untuk wilayah yang sering mati listrik tapi lebih melihat pengelolaan sampah atau pengolahan limbah industri di lingkungan setempat. Dan untuk individual bisa mengubah gaya hidup total yang lebih berorientasi pada masa depan.
Penulis: Nadya Karima Melati
Essais dan Peneliti Lepas. Koordinator SGRC (Support Group and Resource Center on Sexuality Studies). Tertarik pada topik sejarah sosial, feminologi dan seksualitas.
@Nadyazura
*Setiap tulisan yang dimuat dalam #DWNesia menjadi tanggung jawab penulis
7 Perusahaan Minyak yang Paling Berdosa Atas Perubahan Iklim
Tujuh perusahaan minyak bertanggungjawab atas produksi separuh emisi CO2 dari perusahaan swasta selama 25 tahun terakhir. Sebagian perusahaan bahkan aktif membiayai kampanye untuk menyangkal fenomena perubahan iklim
Foto: picture-alliance/dpa
1. Chevron Texaco - 51,1 Gt Co2e
Raksasa minyak AS Chevron Texaco mendapat penghargaan miring "Public Eye on Davos" tahun 2015 silam, lantaran mengabaikan kerusakan lingkungan selama bertahun-tahun. Menurut studi ilmiah yang dipublikasikan pada Jurnal Perubahan Iklim, Chevron memproduksi 51,1 gigaton emisi gas rumah kaca, alias 3,52% dari semua emisi CO2 yang diproduksi manusia sejaki 1750.
Foto: Getty Images
2. ExxonMobil - 46,67 Gt Co2e
Perusahaan AS yang mengelola blok Cepu di Indonesia ini berada di urutan kedua daftar perusahaan pendosa iklim terbesar sejagad. Selama 25 tahun terakhir ExxonMobil memproduksi 46,67 gigaton CO2 atau sekitar 3,22% dari total emisi gas rumah kaca yang diproduksi manusia.
Foto: AP
3. BP - 35,84 Gt Co2e
Raksasa minyak Inggris, BP, memproduksi 35,84 gigaton CO2 atau sekitar 2,47% dari total emisi dunia. Perusahaan ini pernah mendulang reputasi buruk ketika anjungan minyak lepas pantainya di Teluk Meksiko "Deepwater Horizon" meledak dan mencemari laut sekitar. Kerugian yang ditimbulkan saat itu bernilai 7,8 miliar Dollar AS.
Foto: Reuters
4. Royal Dutch Shell - 30,75 Gt Co2e
Shell aktif memproduksi dan berjualan minyak di lebih dari 140 negara. Tidak heran jika perusahaan yang bermarkas di Den Haag, Belanda ini tercatat telah memproduksi 30,75 gigaton emisi gas rumah kaca. Jejak karbon Shell berkisar 2,12% pada keseluruhan gas CO2 yang diproduksi manusia sejak 1750.
Foto: Reuters/T. Melville
5. Conocophillips - 16,87 Gt Co2e
Conocophillips saat ini mengaku memiliki lebih dari 20.000 jaringan stasiun pengisian bahan bakar di seluruh dunia. Perusahaan yang ikut mengebor minyak di Laut Timor ini tercatat memproduksi 16,87 gigaton gas CO2 selama 25 tahun terakhir. Padahal Conoco sudah berdiri sejak 1875.
Berdiri sejak 1883, Peabody Energy adalah perusahaan batu bara swasta terbesar di dunia. Perusahaan ini juga aktif membiayai kampanye buat menyangkal fenomena perubahan iklim. Tidak heran karena Peabody Energy memproduksi 12,43 gigaton emisi gas rumah kaca sejak dekade 1980an.
Foto: Reuters/B. McDermid
7. Total S.A - 10,79 Gt Co2e
Total sering dikecam karena antara lain menyokong rejim militer dan menggagas penggusuran paksa di Myanmar buat membangun pipa minyak. Perusahaan Perancis ini juga terlibat dalam pencemaran berat di Siberia Selatan. Sejak 25 tahun terakhir Total telah memproduksi 10,79 gigaton emisi gas rumah kaca. (rzn/as - Guardian, Climate Accountability Institute)