1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Pilkada Jakarta: Tolok Ukur Pertarungan Politik Nasional

13 Februari 2017

Pemilihan gubernur Jakarta kali ini jadi barometer peta kekuasaan dan arah pergerakan politik Indonesia jelang pemilu legislatif dan pemilu presiden yang akan digelar serentak 2019.

Indonesien Islamisten Demo in Jakarta
Foto: Reuters/Beawiharta

Rabu 15 Februari 2017, Indonesia menggelar pilkada serentak di 101 wilayah, pada tingkat provinsi, kabupaten dan kota di seluruh nusantara. Jajak pendapat berkaitan dengan Pilkada ini menjadi  penting untuk mengukur  kekuatan politik jangka menengah menjelang digelarnya pemilihan umum nasional 2019. Inilah pemilu serentak yang menjadi acuan sejarah demokrasi, karena pemilu legislatif nasional dan regional serta pemilu presiden digelar pada tahun ini.

Dalam pilkada serentak 2017 isu agama menjadi persoalan yang ramai diseret-seret ke ranah politik. Khususnya upaya ini amat kentara dalam Pilkada di DKI Jakarta, di saat Gubernur petahana DKI Jakarta, Basuki "Ahok" Tjahaja Purnama, yang beretnis Tionghoa dan beragama Kristen, maju mencalonkan diri bertarung melawan dua penantangnya yang beragama Islam. Tiba-tiba saja "Ahok" diramaikan dan harus menghadapi kasus dugaaan penistaan agama.

Dilansir Asia Sentinel, beberapa kalangan menilai pertarungan ini tampaknya adalah konfrontasi tak langsung antara dua kelompok yang berseberangan. Di satu sisi kelompok Islamis konservatif, yang diduga didukung oleh mantan Presiden Indonesia, Susilo Bambang Yudhoyono, yang menggulirkan putranya, Agus Hartimurti Yudhoyono sebagai kandidat gubernur DKI Jakarta. Melawan kelompok sekularis dipimpin oleh Presiden Joko Widodo di sisi lainnya, yang disimbolkan oleh sosok Ahok.

Muncul kekhawatiran bahwa periode pasca pilkada dapat dirusak oleh aksi kekerasan serta benturan horizontal yang mengatasnamakan agama. Karena itulah, lebih dari 30.000 perwira militer dan polisi akan dikerahkan selama pilkada berlangsung untuk menjaga keamanan, demikian dikatakan kata seorang juru bicara polisi seperti dikutip dari Asia Sentinel.

Prestasi kerja tidak jadi prioritas?

Sebagai gubernur, Ahok dinilai cukup sukses dan efektif menggulirkan  proyek-proyek infrastruktur yang belum pernah ada sebelumnya. Ia juga tegas menindak korupsi dan penyalah gunaan wewenang. Namun, gubernur DKI  Jakarta berusia  50 tahun ini juga menjadi sasaran kritik lawan-lawan politiknya karena kerap menggunakan kata-kata yang dianggap kasar di televisi.

Inilah yang jadi peluru buat menghantam gubernur yang tegas hingga bisa meratakan lokasi pelacuran Kalijodo yang dulu seolah tidak bisa disentuh. Tiba-tiba saja digelar aksi unjuk rasa besar-besaran terhadap Ahok pada bulan November dan Desember 2016. Aksi yang didukung Front Pembela Islam (FPI) itu sempat menimbulkan kekhawatiran bahwa kerusuhan akan menyebar. Dalam aksi terakhir Sabtu, 12 Februari 2017, polisi polisi menolak untuk memberikan izin. Namun aksi tetap digelar dan terbatas di Masjid  Istiqal.

Demonstrasi yang telah menarik kerumunan besar dari provinsi di luar Jakarta, dinilai kalangan analis politik sebagai kebangkitan politik Islam dan memicu kekhawatiran, bahwa aksi-aksi semacam itu bisa menggerakan Indonesia ke arah republik Islam. Pemerintahan Joko "Jokowi" Widodo mencermati ancaman serius tersebut dan mengecam kelompok-kelompok yang memanfaatkan agama sebagai alat politik untuk menumbangkan Ahok, yang menjadi  gubernur, pasca Joko Widodo naik ke posisi presiden tahun 2014.

Jokowi menegaskan dalam pidatonya, ada aktor politik di balik aksi ormas Islam itu. Ia juga mengatakan ada upaya makar, yang kemudian diikuti dengan aksi penangkapan sejumlah tokoh. Di lain pihak, walau tidak dituduh langsung, mantan presiden Suslio Bambang Yudhoyono langsung membantah mendanai aksi-aksi unjuk rasa. Di media sosial SBY meratapi tuduhan terhadap dirinya dan memposisikian dirinya sebagai "korban".

Apa yang dipertaruhkan?

"Sebagai barometer politik di Indonesia, tentu saja Jakarta mendapatkan semua perhatian, terutama dengan pencalonan Ahok," ujar Siti Zuhro, peneliti politik senior dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) kepada media Asia Sentinel.

"Namun, kita perlu menggarisbawahi bahwa Jakarta membutuhkan pemilu yang adil dan bersih. Terlebih lagi kita perlu membiasakan diri, dimana pemenang akan menghormati yang kalah dan orang-orang yang kalah akan mengucapkan selamat dan mendukung pemenang. Latar belakang etnis dan agama Ahok adalah faktor penting yang dimainkan oleh lawan politiknya. Tapi saya berpikir bahwa ia membakar sendiri masalah ini, karena Anda tidak bisa mengatakan itu hanya 'keseleo lidah' untuk pernyataan yang disebutkan berulang-ulang", ujar peneliti LIPI itu.

"Banyak kalangan di Jakarta mengatakan bahwa hal tersebut tidak apa-apa, selama ia melakukan pekerjaan yang baik sebagai gubernur dan melakukan kinerja kerja yang baik. Jika kita membandingkan dia dengan para pemimpin lokal lainnya, kita tahu bahwa kita memiliki pemimpin yang baik lainnya yang bebas dari masalah, jika  dibandingkan dengan Ahok," tambah  Siti Zuhro  Peneliti LIPI ini memberikan contoh pemimpin lokal di Surabaya dan Banyuwangi di Jawa Timur, serta di Bandung di Jawa Barat.

Menurut jajak pendapat Indikator Politik Indonesia, kontroversi penistaan agama yang dimulai tahun lalu telah secara signifikan merusak elektabilitas Ahok. Survei terbaru menemukan bahwa 57 persen responden berpendapat Ahok menghujat agama. Ahok telah menyangkal tudingan itu. Sementara hanya 27 persen responden yang tidak setuju dengan tuduhan bahwa Ahok telah menista agama, sementara 15-16 persen sisanya menyatakan tidak tahu. Survei tersebut juga menunjukkan sebagian besar responden yang berpendapat Ahok telah melakukan penistaan, berkomitmen akan memilih calon lain, yakni Anies Baswedan, mantan menteri pendidikan yang dipecat  Joko Widodo.

Namun, jajak pendapat itu mengatakan, Ahok tetap di posisi terdepan karena banyak pemilih cenderung memilih dia atas catatan prestasinya sebagai gubernur dalam membenahi kerja pemerintahan, setelah beberapa dekade penuh kekacauan dan korupsi.

Jajak pendapat lainnya, yang dilakukan Charta Politika menunjukkan bahwa 39 persen responden mengatakan mereka akan memilih Ahok dan pasangannya Djarot Saiful Hidayat, sementara  Anies yang didukung oleh mantan presiden Prabowo Subianto mendapat dukungan 31,9 persen,. Paket ketiga, pasangan Agus H. Yudhoyono dan Sylviana Murni berada di posisi buncit dengan  dukungan 21,3 persen.

Putaran kedua menggiring arah politik

Jajak pendapat menunjukkan tren bahwa Ahok akan menang pada putaran pertama, hari Rabu (15/02). Tetapi jika ia gagal untuk mengamankan lebih dari 50 persen suara, maka dalam putaran kedua, ia bakal menghadapi hadangan hebat. Kemungkinan suara yang tak memilih Ahok pada putaran pertama, akan beralih memberikan suaranya  baik kepada Anies ataupun Agus.

Anak tertua SBY, Agus Yudhoyono dipensiunkan dari karir militernya yang  menjanjikan menjelang pemilu. Hal ini  memicu kritik luas bahwa mantan presiden SBY berusaha untuk melanggengkan dinasti politiknya. Selain dilabel  sebagai calon yang masih ‘hijau‘, Agus sering dikritik karena janjinya untuk memberikan bantuan tunai sebesar Rp1 miliar untuk masing-masing RW sebagai taktik politik uang.

Sementara itu, Anies Baswedan, yang merupkan pendukung kuat Jokowi di pemilu 2014, kini merapat  ke Prabowo, yang dulu  secara terbuka kerap dikritiknya.

Mantan menteri pendidikan yang didukung oleh partai oposisi utama itu, diam-diam mengeruk keuntungan merebut hati pemilih Muslim yang tidak senang dengan Ahok yang dituding menista agama Islam.

Dalam survei-survei teranyar, Anies Baswedan menjadi lawan terberat Ahok. Seorang petinggi partai Gerindra yang mendnukung Anies Baswedan membantah bahwa kubu Anies memainkan isu, namun mengakui bahwa Anies mendekati para pemilih Muslim,  di wilayah gusuran yang marah akibat penggusuran paksa untuk memerangi banjir.

"Anies telah memastikan dia mendengar suara para korban penggusuran paksa yang mayoritas Muslim, "ujar Arief Poyuono dari Gerindra, seperti dikutip dari reuters.

Popularitas Anies Baswedan mulai membumbung sejak Prabowo Subianto, yang kalah tipis dalam pemilu presiden 2014, pemilu, mulai berkampanye atas namanya, sementara pemimpin Gerindra itu pun akan kembali ke panggung politik nasional dalam pemilu  2019, kata Poyuono.

Anies Baswedan beralih  memainkan isu agama dengan harapan memenangkan suara, meskipun para analis memperingatkan bahwa taktik yang diambil  Anies ini berisiko mengipasi intoleransi yang lebih besar.

"Dengan Ahok yang bisa dibilang menggalang suara pluralis, tim kampanye Anies dan pendukung politiknya jelas berfokus pada suara Muslim pada saat identitas ini telah menjadi semakin terpolarisasi dan dipolitisasi, " ujar Ian Wilson, dosen di Universitas Murdoch, Australia.

Dikutip dari Kantor berita reuters, Anies Baswedan, Sabtu (11/02) tampil di Masjid Istiqlal, dalam aksi yang antara lain digagas FPI dan GNPF MUI di mana sejumlah tokoh agama mengimbau agar ribuan orang yang menghadiri doa bersama di masjid  itu memilih pemimpin Muslim.

Politik uang dan disharmoni

Dalam pilkada 2017 kali ini, mengapung pula kekhawatiran, bahwa ketatnya persaingan dapat menyebabkan praktik pembelian suara, demikian dilontarkan Indonesia Corruption Watch (ICW). Untuk mencegah politik uang, petugas Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) diharapkan memberi perhatian khusus bagi daerah miskin, baik sebelum dan pada hari pemilihan. Penggunaan identitas palsu juga harus diantisipasi.

"Pemerintah harus secara terbuka mengatasi masalah ini secara permanen, atau kita semua akan menjadi saksi dari masalah hukum setelah pilkada," ujar  Siti Zuhro peneliti dari LIPI.

Kapolda Jakarta, Inspektur Jenderal M. Iriawan mengirimkan pesan yang kuat bagi mereka yang akan mengganggu jalannya pemilihan gubernur DKI Jakarta dan mengganggu ketertiban. "Tidak boleh ada yang mengacaukan Pilkada Jakarta, jika tidak, mereka akan berhadapan dengan saya, militer dan semua penduduk kota," ancam Iriawan. "Jakarta merupakan barometer bagi Indonesia. Pemerintah dan warga Jakarta menginginkan pemilu yang aman, lancar dan damai," tambahnya.

Pasca kejatuhan Soeharto pada tahun 1998 dan masa transisi Indonesia menuju demokrasi, pola-pola Islam konservatif di tanah air,  yang kerap dipengaruhi oleh gerakan garis keras dari Timur Tengah, kelihatan semakin memiliki ruang untuk berkembang. Kebebasan baru itu pula yang telah telah memungkinkan pertumbuhan kelompok garis keras, seperti Front Pembela Islam (FPI). Pemerintahan yang silih berganti telah dikritik gagal mengatasi gerakan radikal karena takut dituduh menyerang Islam.

"Pasca-Soeharto, 'Islamisasi' masyarakat telah makin signifikan," kata Bonar Tigor Naipospos, wakil kepala Setara Institute, dikutip dari kantor berita AFP. "Selama itu adalah untuk meningkatkan ketaatan masyarakat kepada Tuhan, tidak apa-apa, tapi kami sekarang melihat fenomena yang berbeda, yakni munculnya radikalisme."

Jika Ahok kalah dalam pilkada dan dipenjara karena pasal karet penghinaan agama, maka hal itu akan  menjadi kemunduran bagi upaya Indonesia untuk meningkatkan kerukunan dalam masyarakat beragam etnis dan akan meningkatkan gerakan garis keras, demikian para kritikus memperingatkan.

ap/as(asiasentinel/rtr/afp)