1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Lion Air Tak Layak Terbang Sebelum Kecelakaan Terjadi

28 November 2018

Pilot pesawat Lion Air JT610 yang jatuh bulan lalu berjuang mengendalikan pesawat, hingga detik-detik terakhir pesawat jatuh. Pesawat naas itu juga dalam kondisi tak layak terbang. Demikian hasil penyelidikan awal.

Indonesien Lion Air-Absturz Nurcahyo Utomo
Foto: Reuters/D. Whiteside

Peneliti kecelakaan jatuhnya pesawat Lion Air rute Jakarta-Pangkal Pinang yang menewaskan seluruh 189 penumpangnya, menelisik fitur baru di pesawat Boeing 737 MAX yang dikenal sebagai Maneuvering characteristics augmentation system (MCAS. "Sistem augmentasi karakteristik manuver (MCAS).pada pesawat yang mengalami kecelakaan itu diduga tidak bekerja dengan baik", ujar Nurcahyo Utomo, salah seorang peneliti di Komite Keselamatan Transportasi Nasional (KNKT) dalam konferensi pers yang digelar hari Rabu, 28 November 2018. 

Ini baru pemaparan awal dugaan penyebab kecelakaan pesawat Lion Air JT 610 yang disebut"Preliminary Report" dan masih jauh dari kesimpulan akhir. Data tersebut merupakan analisia awal dari dari kotak hitam yang ditemukan.

Sistem MCAS ini dipasang oleh Boeing  padagenerasi terakhir pesawat Boeing 737 untuk mencegah hidung pesawat naik terlalu tinggi atau kehilangan daya angkat. Sistemnya bekerja dengan cara menukikkan pesawat secara otomatis. Namun dalam kasus Lion Air JT610, setiap kali pilot berusaha menaikkan hidung pesawat, MCAS bolak-balik aktif kembali dan menukikkan hidung pesawat ke bawah. Tampaknya sistem itu telah memaksa hidung pesawat menukik ke bawah setelah menerima informasi yang salah dari sensor. "Berulang kali hal yang sama terjadi sepanjang penerbangan sampai akhir rekaman kotak hitam," kata Nurcahyo.

Data sensor Angle of Attack (AoA) juga bermasalah

Diduga hal ini terjadi karena terdapat perbedaan data sensor Angle of Attack (AoA). Sensor AoA ditengarai menampilkan data yang keliru, padahal data ini berperan penting dalam pengaktifan MCAS.

Boeing 737 MAX 8 milik Lion Air itu jatuh ke laut Jawa di sekitar Karawang 11 menit setelah lepas landas dari  Bandara  Soekarno-Hatta, Jakarta, pada tanggal  29 Oktober. Semua 189 orang yang berada di dalam pesawat itu dipastikan tewas.

Menurut laporan awal  terdapat perbedaan data sensor Angle of Attack (AoA). Flight Data Recorder (FDR) merekam adanya perbedaan antara AoA kiri dan kanan, yang terjadi terus menerus sampai dengan akhir rekaman. AoA adalah sistem penting yang membantu pesawat mengetahui apakah posisi bagian hidung pesawat terlalu tinggi. Jika terlalu tinggi pesawat bisa kehilangan daya angkat dan terjatuh.

Nurcahyo mengatakan KNKT tidak memiliki informasi yang cukup tentang fitur itu."Ini masalah lain yang akan kita diskusikan dengan Boeing ketika kita berkunjung ke fasilitas mereka. Mengapa informasi ini tidak ada di sistem  manual dan apakah FAA (Otoritas Penerbangan Federal AS) menyetujui sistem manual itu? " demikian dia menambahkan.

Pilot berjuang kendalikan pesawat hingga akhir hayat

Peter Lemme, pakar eviasi dan mantan insinyur Boeing, menggambarkan perjuangan pilot asal India, Bhavye Suneja. "Pilot menghentikan MCAS dengan manual trim up, tetapi MCAS akan mulai aktif lagi lima detik kemudian, dan kembali mengarahkan hidung pesawat itu ke bawah. Setiap kali hal ini terjadi, stabilizer dihentak lagi. Data kotak hitam menunjukkan, ada 26 kejadian MCAS menukikkan pesawat, dan pilot terus berusaha mengendalikan hidung pesawat secara manual," tulisnya di blog.

Dalam laporan awalnya, KNKT mendesak  Lion Air untuk  melakukan perbaikan "budaya meningkatkan keselamatan” dan memungkinkan pilot untuk membuat keputusan yang tepat apakah akan melanjutkan penerbangan atau membatalkannya. KNKT juga merekomendasikan agar maskapai tersebut memastikan "semua dokumen operasi terisi dengan benar dan didokumentasikan."

Laporan KNKT itu mengungkapkan bahwa pesawat Lion Air JT 610 sudah mengalami gangguan pada penerbangan sebelumnya dari Bali ke Jakarta, pada malam sebelum jatuhnya pesawat. Boeing 737 Max Lion Air itu menunjukkan kecepatan udara yang salah saat membaca indikator penerbangan.

"Menurut kami, pesawat itu tidak layak terbang dan penerbangan dari Bali ke Jakarta seharusnya juga tidak dilanjutkan, "papar penyelidik KNKT, Nurcahyo Utomo. "Itu sebabnya kami mengeluarkan rekomendasi bahwa pilot seharusnya bisa membuat keputusan apakah akan melanjutkan penerbangan atau kembali ke pangkalan," pungkasnya.

ap/as(rtr/ap/afp)