1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
Sosial

Pilot Perempuan Pertama Afghanistan Membelot ke AS

27 Desember 2016

Nilofar Rahmani pernah dirayakan sebagai simbol pembebasan Afghanistan. Namun kini pilot perempuan pertama asal Hindukush itu meminta suaka ke Amerika Serikat. Ia mengklaim mendapat ancaman pembunuhan lantaran profesinya

Afghanistan erste Luftwaffenpilotin
Pilot perempuan pertama Afghanistan, Nilofar RahmaniFoto: Getty Images/AFP/S. Marai

Sepanjang karirnya Nilofar Rahmani acap mendapat berbagai julukan unik, mulai dari "pilot perempuan tercantik di dunia," atau "Top Gun perempuan." Di Afghanistan, pilot angkatan udara itu dirayakan sebagai simbol kebebasan kaum hawa setelah kekuasaan teror Taliban. Namun kini kisah manis tersebut berakhir pahit.

Seusai menjalani pendidikan militer di Amerika Serikat, Rahmani menolak kembali ke negara asalnya dan meminta suaka kepada pemerintah di Washington. Harian "Wall Street Journal" menulis dia sering mendapat ancaman pembunuhan dari Taliban atau bahkan dari keluarga sendiri. Profesinya dianggap sebagai aib untuk keluarga. Rahmani mengkhawatirkan keselamatannya.

Rahmani mengklaim mendapat ancaman pembunuhan dari Taliban dan anggota keluarga sendiri.Foto: Getty Images/AFP/S. Marai

Kepada jarian "New York Times," perempuan berusia 25 tahun itu juga mengeluhkan perlakuan buruk rekan kerja laki-laki di Angkatan Udara. "Afghanistan tidak menjadi lebih baik," ujarnya, "malah kini semakin buruk." Tahun lalu media-media Afghanistan melaporkan saudara laki-laki Rahmani diserang orang tak dikenal. Sejak itu keluarganya harus sering berpindah tempat.

Namun sikap Rahmani tidak ditanggapi dengan baik di Kabul. Jurubicara Kementerian Pertahanan, Muhammad Radmanish, mengatakan Rahmani berbohong ketika mengklaim mendapat ancaman pembunuhan. Dengan cara itu ia ingin mendapat suaka. "Jika dia punya masalah, dia bisa mengajukan keberatan pada banyak lembaga di sini," katanya.

Lebih lanjut Radmanish mengatakan Rahmani adalah "aib" untuk Afghanistan. "klaimnya bahwa ia mengalami pelecehan di tempat kerja adalah tidak benar," kata Ayan Khan, salah seorang pilot angkatan udara.

Namun Rahmani kemudian menyangkal kabar tersebut. "Saya merasa sedih atas interpretasi keliru oleh New York Times dan saya ingin meminta maaf kepada semua rekan kerja yang merasa terluka oleh laporan tersebut," tulisnya dalam sebuah surat. "Saya hanya ingin pendidikan yang lebih baik agar bisa mengabdi pada negara saya dan membuat Afghanistan bangga pada saya."

Kuasa hukumnya, Kimberly Motley, memastikan Rahmani telah mengajukan permohonan suaka sejak pertengahan tahun. "Dia mencintai Afghanistan," ujarnya.

Pemerintah di Kabul kini sedang menyiapkan langkah hukum terhadap Rahmani dengan dakwaan melakukan desertir.

rzn/as (dpa,nyt,wps)