1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
Sosial

Pindah Kos Sampai 14 Kali di Jerman? Siap!

24 Januari 2020

Pertama kali menjejakkan kaki di Jerman, saya tidak familiar dengan sistem penyewaan hunian atau kosan di Jerman. Oleh Ade Oktiviyari.

Symbolbild Umzug WG
Foto: Fotolia/Ingo Bartussek

Dari 2016 sampai 2018 saya kuliah master dalam bidang Infection Biology di Jerman, tepatnya di Universitat zu Luebeck. Awalnya, saya sangat antusias untuk belajar di Jerman. Antusiasme saya semakin meningkat karena saya menemukan bahwa kota Luebeck itu dekat dengan pantai! Hal yang sangat istimewa karena Jerman bukanlah negara kepulauan seperti Indonesia, di mana laut sangat mudah ditemui.

Sayangnya, awal berada di sana saya menghadapi banyak kendala khas pelajar internasional: masalah akomodasi. Karena pertama kali menjejakkan kaki di Jerman, saya tidak familiar dengan sistem penyewaan hunian atau kosan di Jerman. Saya berpikir, tentu sistem Jerman dan Indonesia mirip: mengajukan permintaan untuk menyewa, sepakat masalah harga, lalu kita tinggal pindah ke kosan itu. Begitu saja kan? Sayangnya tidak semudah itu.

Ade Oktiviyari di depan Rathaus Hannover, 15 Juni 2018Foto: privat

Sebelum menjejakkan kaki ke Luebeck, saya sudah melihat-lihat banyak situs untuk mencari kamar sewa atau apartemen, seperti wg-gesucht.de, immowelt.de, dan lain-lain. Dari situs tersebut, saya berasumsi bahwa sangat banyak kamar yang tersedia untuk budget saya. Saya memang mengincar shared-flat (wg) sebagai tempat tinggal saya selama di sana. Selain harga lebih murah karena sewa dibagi bersama, biaya lain seperti listrik, pemanas, dan lain-lain juga dibagi. Berbeda dengan flat sendiri yang semua biaya harus ditanggung sendiri. Selain itu, saya juga senang punya teman kos. Dalam bayangan saya, tinggal sendirian di flat pasti sangat sepi.

Sebelum saya berangkat, saya mengirimkan banyak email ke para pemasang iklan. Setelah banyak email saya tidak dibalas, seorang teman menganjurkan saya untuk menulis emailnya dalam Bahasa Jerman, bukan Bahasa Inggris seperti yang biasa saya lakukan. Benar saja, setelah mencoba mengirim email dalam Bahasa Jerman, saya mendapat banyak balasan. Namun balasannya berupa penolakan. Rupanya itu dikarenakan waktu mulai kuliah Winter Semester sudah dekat, banyak mahasiswa yang mencari flat sehingga persaingan tinggi. Saya juga mendaftar kamar asrama namun mendapat penolakan karena sudah tidak ada tempat lagi.

Proses mencari kosan di Jerman

Bingung, akhirnya saya berangkat ke Jerman. Beruntungnya, seorang teman saya sudah kuliah di Luebeck dan menyewa flat untuk keluarganya. Dia punya satu kamar kosong sehingga saya diperbolehkan tinggal untuk sementara waktu di sana. Selama masa itu, saya terus mencari hunian tetap. Saya mengirim email, dan mencoba menelepon satu per satu pemberi sewa ketika email saya tidak dibalas.

Akhirnya saya mulai mendapatkan beberapa kesempatan untuk Wohnungsbesichtigung (mengunjungi flat atau kamar yang disewakan). Setelah beberapa kali melakukan Wohnungsbesichtigung, saya mendapatkan penolakan terus menerus. Alasannya tidak jelas. Sampai saya bertemu teman Indonesia yang sudah lama tinggal di Jerman. Menurutnya, untuk berbagi kamar dalam flat agak sulit bagi orang asing. Ada yang memprioritaskan orang yang bisa berbahasa Jerman dengan lancar, ada yang mengkhususkan untuk sewa jangka panjang, sedangkan saya hanya maksimal 2 tahun di Jerman. Sedangkan untuk flat, banyak yang kurang memprioritaskan student.

Di beberapa kota lain yang ramai penduduk Indonesianya, biasanya student Indonesia mendapatkan informasi hunian dari grup PPI (Persatuan Pelajar Indonesia) lokal di kotanya. Kota besar seperti Berlin dan Hamburg bahkan punya bursa kamar. Di sana informasi hunian yang akan kosong dibagikan. Pencari kamar seperti saya juga dapat mengirimkan pesan ke sana untuk mencari informasi. Namun di Luebeck, jumlah orang Indonesia nya sangat sedikit. Bahkan tidak ada perkumpulan khusus student.

Setelah satu bulan kuliah dimulai, saya sudah sangat putus asa masalah kamar sewa. Saat itu saya masih menumpang di rumah teman saya. Karena urgensi kamar sewa tidak hanya tempat tinggal, namun juga menjadi syarat untuk mendapatkan Anmeldebescheinigung atau tanda pendaftaran tinggal. Di Jerman, Anmeldebescheinigung menjadi syarat wajib untuk membuka rekening bank, mendaftar di perpustakaan, dan lain-lain. Karena tidak ada hunian tetap, saya tidak bisa mendapatkan Anmeldebescheinigung. Menyewa di tempat teman yang saya tumpangi juga tidak bisa. Ada peraturan di Jerman, jumlah penyewa harus sesuai dengan luas apartemen. Sedangkan teman saya dan keluarganya sudah memenuhi syarat sesuai luas apartemen yang mereka tinggali.

Pemandangan Hansestadt Luebeck, 13 Oktober 2018Foto: privat

Berpindah-pindah kamar

Tidak lama, saya mendapatkan sebuah hunian dari wg-gesucht.de. Saya berbagi kamar di sebuah flat 2 kamar dengan seorang dokter bedah anak berkebangsaan Jerman. Karena saya juga dokter di Indonesia, Wohnungsbesichtigung berjalan lancar dan saya mendapatkan kamarnya. Meski sayangnya, setelah 1 bulan saya memutuskan pindah dari sana karena banyaknya hambatan budaya yang menjadikan situasi flat sangat amat tidak nyaman. Saya memutuskan menumpang kembali di rumah kawan saya.

Sampai suatu hari, seorang siswa di Luebeck memberi tahu ada info kamar kosong di flat tempat dia tinggal. Ketika Wohnungsbesichtigung, tuan rumah menyatakan bahwa saya hanya boleh tinggal di sana 6 bulan. Saya langsung lemas membayangkan harus mencari flat baru lagi. Alasannya karena dia sudah bosan dengan ulah penyewa kamar itu sebelumnya. Mulai dari membuat keributan, party setiap malam, menyalakan musik keras-keras, jorok, dan sebagainya. Saya berjanji akan mentaati peraturan dan pindah ke sana di awal Desember 2016.

Hari demi hari berlalu. Saya menepati janji untuk mentaati peraturan. Pemilik rumah sudah melunak dan menjadi sangat ramah dengan saya. Namun sayangnya, dia tetap tidak mengubah keputusannya untuk masa kontrak yang hanya 6 bulan. Maka saya mulai mencari rumah lain dan berakhir dengan kegagalan. Saya juga mengajukan ulang pendaftaran untuk kamar di asrama mahasiswa. Meski banyak saingannya, namun banyak student yang mengatakan bahwa mendapatkan kamar di asrama mahasiswa di Sommer Semester (semester musim panas) lebih mungkin, karena tidak banyak program studi yang buka di Sommer Semester sehingga jumlah siswa baru lebih sedikit. Selain itu, banyak student yang awalnya tinggal di asrama memutuskan pindah ke flat pribadi karena lebih nyaman.

Saya kembali mencoba peruntungan. Banyak teman dari PPI menganjurkan untuk tidak hanya mengisi formulir pendaftaran asrama, namun juga meng-email, menelpon, atau bahkan langsung datang ke kantor pengurus asrama. Mereka mengusulkan untuk menjelaskan urgensi tempat tinggal bagi saya. Sebab logikanya, tidak mungkin pihak asrama membiarkan mahasiswa internasional menjadi gelandangan. Saya mencobanya meski tidak yakin itu punya pengaruh. Namun entah benar entah tidak, selang beberapa hari kemudian, saya mendapatkan email dari pengurus asrama yang menyatakan bahwa saya mendapatkan satu kamar di shared-flat dalam kampus.

Saya sangat senang dan bersyukur waktu itu. Ketika menginformasikan pada tuan rumah saya akan pindah, tuan rumah terlihat sedih dan berkata bahwa dia akan merindukan penyewa sebaik saya. Rupanya benar, kita bisa selalu mengubah impresi awal orang lain dengan sikap kita.

Ketika pindah ke asrama, saya berpikir bahwa petualangan saya mencari kamar kos sudah berakhir. Namun sayangnya, rupanya itu hanya awal. Setelah semester 2 berakhir, program studi saya mensyaratkan 2 internship di bidang penelitian yang berbeda. Saya yang tidak menemukan lab yang memiliki riset sesuai minat, dan memutuskan untuk mencari di luar kota. Hingga saya mendapatkan tempat internship di 2 kota berbeda: Borstel dan Heidelberg.

Tempat internship kedua Ade, kota Heidelberg dengan universitas tertua di Jerman, 25 Maret 2018Foto: privat

Meninggalkan kota Luebeck

Borstel masih lumayan dekat dengan Luebeck, namun sulit ditempuh tiap hari dengan kendaraan karena terbatasnya kendaraan umum di sana. Bus hanya datang 2 jam sekali sampai jam 6 sore. Maka saya memutuskan untuk kembali pindah. Kali ini supervisor saya membantu mencarikan akomodasi dalam lingkungan lab. Jadilah, 3 bulan saya pindah ke daerah yang sunyi dan terpencil. Jauh dari keramaian untuk menjalani riset di bidang tuberculosis.

Berikutnya, saya pindah ke Heidelberg. Kali ini, berbekal pengalaman sebelumnya, saya kembali meminta tolong pada supervisor saya masalah akomodasi. Beruntung, saya mendapatkan kamar nyaman di dalam kota Heidelberg. Kepindahan agak lebih berat karena seperti biasa, pindah berarti mengirimkan semua barang dan membawa semuanya di hari H. Kali ini, tidak ada juga yang bisa menolong sebab saya pindah menjelang Christmas 2017 dan hampir semua orang di sana sudah pergi liburan akhir tahun.

Setelah Heidelberg, saya mendapatkan tempat untuk menyelesaikan master thesis saya di Hannover. Di sinilah kota terakhir saya di Jerman. Karena saya hanya tinggal di Hannover selama 6 bulan untuk master thesis, kemungkinan saya untuk mendapatkan hunian murah dengan durasi itu nyaris mustahil. Saya hanya dapat mengandalkan Zwischenmiete (kontrak berdurasi singkat) dari para student yang pergi berlibur atau pulang kampung. Saya juga tinggal di rumah keluarga Indonesia yang sedang pulang liburan.

Ade berfoto dengan profesor dan rekan satu lab di MHH (Medizinische Hochschule Hannover), 18 Januari 2019Foto: privat

Pengalaman berharga

Selama di Hannover saja, total saya pindah sebanyak 8 kali. Yang membuat total pindahan saya menjadi 14 kali selama 2 tahun di Jerman!

Beberapa kamar hanya saya huni 2 minggu sampai 1 bulan. Semua itu membuat saya exhausted, apalagi ditambah dengan beban penelitian dan penulisan tesis. Alhamdulillah semua dapat diselesaikan dengan baik hingga saya menyelesaikan studi saya pada Januari 2019.

Ini menjadi pengalaman yang sangat berharga untuk saya. Saya berharap dengan membagikan kisah ini dapat bermanfaat terutama untuk para student Indonesia di Jerman. Mencari hunian dengan budget murah memang sulit, terutama di kota kecil yang ramai student. Apalagi kalau harus berpindah-pindah demi mencapai tujuan pendidikan dan pengalaman. Namun prinsip saya waktu itu, kenapa harus takut? Saya belum tahu apa di masa depan saya bisa mendapatkan kesempatan untuk merasakan bekerja di lab-lab yang berbeda, di bidang yang saya minati di Jerman.

Masalah tempat tinggal memang membebani. Namun selama kita selalu berusaha dan berdoa, pasti ada jalan. Saya juga mengenal banyak orang secara dekat karena sempat tinggal dengan macam-macam orang. Ini menjadi pengalaman yang memperkaya batin saya untuk menghadapi masa depan. (hp)

* Ade Oktiviyari adalah dokter umum dan alumni Universität zu Lübeck. Saat ini aktif menulis blog di www.adeoktiviyari.wordpress.com. Instagram penulis: @adeoktiviyari.

** DWNesiaBlog menerima kiriman blog tentang pengalaman unik Anda ketika berada di Jerman atau Eropa. Atau untuk orang Jerman, pengalaman unik di Indonesia. Kirimkan tulisan Anda lewat mail ke: dwnesiablog@dw.com. Sertakan 1 foto profil dan dua atau lebih foto untuk ilustrasi. Foto-foto yang dikirim adalah foto buatan sendiri.