Plafform “where are you from?”: Hentikan Rasisme!
6 September 2020“Saat makan dengan seorang kawanku orang Jerman di sebuah restoran di Kota Bonn di mana saya tinggal, seorang pria yang lewat menggodaku, Konnichiwa (ed: Selamat siang, dalam bahasa Jepang) sambil mengedipkan mata ke arahku. Temanku yang orang Jerman melotot dan bertanya mengapa saya diam saja digoda begitu, aku hanya tertunduk,“ ujar Susi, seorang ibu rumah tangga asal Indonesia yang bermukim di Kota Bonn, Jerman.
Bukan pertama kalinya ia mengalami hal ini. Beberapa kali pernah ia ditimpuk gumpalan kertas oleh anak-anak sekolah sambil diteriaki “Moshi-moshi“ (ed: Halo dalam bahasa Jepang) tiap kali menuju halte bus yang tak jauh dari rumahnya. “Kesal banget sih, lagi pula saya bukan orang Jepang meskipun mata saya sipit,” demikian Susi mencurahkan isi hatinya. Sudah lebih dari 10 tahun ia tinggal di Jerman dan bolak-balik mengalami hal serupa di jalanan dan ia memilih menundukkan kepala.
Di Berlin, seorang mahasiswi asal Indonesia juga mengalaminya. “Kebanyakan saya mengalami pelecehan secara verbal di jalanan. Saya orang Indonesia, tapi orang lain tidak tahu bahwa Indonesia eksis atau Indonesia itu ada di mana. Jadi saat mereka melihat ada kaum minoritas, tidak terlihat mirip, mereka akan meneriakkan “ching chang chong”, atau “Hi, sexy lady from China!”, hal-hal seperti ini terjadi di jalanan;” ungkap mahasiswi komunikasi desain yang kuliah dan bermukim di ibu kota Jerman ini.
Melawan rasisme
Namun Irma Fadhila tidak diam saja. “Saat kita tinggal di suatu kota kita hanya mau merasa aman dan nyaman… ya mungkin kita juga ingin orang lain tahu, bahwa saya ini dari Indonesia, Indonesia itu negara seperti ini, letaknya ada di sana… tapi kita kan tidak bisa mencoba mendidik semua orang yang melecehkan kita, entah di jalanan atau di sebuah acara, bahkan antarteman walaupun mungkin bukan bermaksud begitu.“ Oleh sebab itulah ia menggagas proyek “where are you from?” atau dari mana asalmu?
“Proyek ini basisnya adalah interview. Ternyata banyak orang-orang yang mengalami hal seperti yang saya alami bahkan pengalamannya bukan lebih buruk tapi lebih sedih mendengarnya, karena hal-hal ini banyak terjadi dan bukan cuma pelecehan verbal tapi terkadang itu juga bisa jadi serangan fisik,” tutur Irma menceritakan proyek antirasismenya. Bukan hanya orang Indonesia, orang-orang Asia Tenggara juga menurutnya punya pengalaman-pengalaman tidak jauh berbeda.
Ia pun lalu memanfaatkan keahliannya di bidang fotografi, untuk mengabadikan serangkaian potret orang Asia Tenggara di Berlin yang mengalami rasisme, seksisme, pelecehan dan bentuk serangan lainnya. Selain memotret, Irma Fadhila meminta narasumbernya untuk berbagi cerita dan semua itu dikumpulkannya dalam sebuah buku.
Foto-foto Irma berikut kisahnya juga dipajang dalam rangkaian pameran yang diselenggarakan oleh sesama aktivis Asia Tenggara di Jerman.
Irma pun melebarkan proyeknya di media sosial Instagram lewat akun @whereareyoufrom.project – yang berisi belasan serangkaian potret dengan kisah-kisah yang menyertainya. Di antaranya kisah tentang seorang perempuan yang dibesarkan orang tuanya di Berlin. Gadis yang akar keluarganya berasal dari Vietnam itu menceritakan pengalamannya saat mengambil gambar di Hamburg dan beberapa anak kecil meneriakkan “ching chang chong” kepadanya. Orang tua anak-anak itu diam tak bereaksi melihat kelakuan anak-anaknya.
“Kalau mendengar cerita-cerita dari teman-teman berpartisipasi dalam proyek ini mereka pun menyadari bahwa oh di media barat dan budaya populer yang selalu ditunjukkan orang Asia itu yang berasal dari Asia Timur, padahal bukan cuma dari Asia Timur,” demikian Irma menjelaskan kenapa target proyeknya adalah orang-orang dari Asia Tenggara.
Jangan lagi rendah diri atau minder
Menurut Irma, tekanan sosial semacam itu turut berpengaruh pada sikap inferior seseorang. “Itu terjadi tidak cuma terjadi pada orang Indonesia tapi juga terjadi pada orang lain yang berasal dari Asia Tenggara…. takut keluar rumah malam sendiri karena khawatir nanti digangguin orang lain atau di kerjaan di kantor di kuliah. Padahal orang-orang Indonesia sangat pintar namun karena banyak tekanan itu, juga budaya dari rumah, banyak yang tidak berani untuk mengutarakan pendapatnya di publik atau di dalam kelas atau dalam rapat,” tandas Irma yang ingin agar banyak orang bisa membangun rasa percaya diri dan lebih berani mengutarakan pendapatnya.
“Mungkin saya punya privilese, saya orangnya cukup percaya diri, jadi jika ada sesuatu yang salah saya langsung menyatakannya saat itu juga. Kenapa saya bikin platform ini juga karena…oke saya berani bersuara, tapi banyak teman-teman saya tidak berani atau mereka butuh contoh melihat orang melakukan ini, tidak ada hal buruk yang terjadi pada mereka jadi saya juga bisa melakukannya,” ujar Irma yang masih berusia seperempat abad dan ingin agar orang-orang Indonesia pada khususnya dan Asia Tenggara pada umumnya untuk bisa lebih bebas bersuara.
“Apalagi kita berada di komunitas yang sama orang Indonesia, orang Asia Tenggara tinggal di Jerman atau di negara barat, kita tidak bisa ke mana-mana kalau kita cuma saling menjatuhkan. Kita cuma bisa saling mendukung dan memberikan masukan satu sama lain dan tidak ada kata berhenti untuk belajar sampai kapanpun dan kita bisa belajar dari satu sama lain,” pungkasnya.