Perdana Menteri Denmark menyatakan penyesalan kepada sekitar 4.500 perempuan Inuit. Antara tahun 1960 hingga 1992, mereka dipaksa menggunakan alat kontrasepsi demi membatasi populasi suku asli Greenland.
Perdana Menteri Denmark, Mette Frederiksen, meminta maaf atas perlakuan tidak adil terhadap perempuan Inuit
Foto: Pascal Bastien/picture alliance/AP
Iklan
Pada Rabu (27/08), Denmark secara resmi meminta maaf kepada lebih dari 4.500 korban kampanye kontrasepsi paksa, yang ditujukan untuk menurunkan angka kelahiran kelompok Inuit di Greenland.
Perdana Menteri Denmark, Mette Frederiksen, mengatakan meski apa yang terjadi tidak bisa diubah, tanggung jawab tetap harus diambil.
“Karena itu, atas nama Denmark, saya ingin mengatakan: saya minta maaf,” ujar Frederiksen dalam pernyataannya.
Frederiksen menambahkan bahwa masih ada “bab gelap lain” terkait diskriminasi sistematis terhadap warga Greenland, dan permintaan maafnya juga mencakup “kegagalan-kegagalan lain” tersebut.
Apa kisah di balik kontrasepsi paksa perempuan Inuit?
Kampanye Denmark pada 1960 hingga 1992 memaksa sekitar setengah dari 9.000 perempuan Inuit di Greenland untuk menggunakan alat kontrasepsi intrauterin (IUD) tanpa persetujuan mereka. Alhasil, kontrasepsi paksa ini membuat banyak perempuan menjadi mandul serta mengalami gangguan kesehatan fisik dan mental.
Kala itu, kampanye dilakukan ketika populasi Greenland meningkat pesat akibat membaiknya kondisi hidup dan akses layanan kesehatan. Banyak korban masih berusia remaja pada saat itu.
Greenland resmi diintegrasikan ke negara Denmark pada 1953, memperoleh pemerintahan sendiri pada 1979, dan mengambil alih kendali layanan kesehatan dari Denmark pada 1992.
Perempuan dan Anak: Korban Perubahan Iklim
Perubahan iklim lebih berbahaya bagi perempuan dan anak. Studi terbaru menunjukkan bahwa kelangkaan sumber daya alam berdampak pada peningkatan kekerasan dalam rumah tangga hingga pernikahan anak.
Foto: picture-alliance/NurPhoto/R- Shukla
Perjalanan yang berbahaya
Menurut studi terbaru dari Persatuan Internasional untuk Konservasi Alam (IUCN), perempuan khususnya yang tinggal di belahan bumi bagian selatan, terpaksa berjalan lebih jauh mencari kayu bakar untuk keperluan memasak. Ancaman pemerkosaan mengintai dalam perjalanan jauh mereka.
Foto: Getty Images/AFP/I. Sanogo
Bencana alam perbanyak kasus pernikahan anak
Dengan mencermati lebih dari 1.000 kasus di negara-negara berkembang, IUCN mengungkapkan bahwa jumlah pernikahan anak cenderung meningkat pada saat musim panas atau banjir besar. Ketika kekurangan makanan, banyak keluarga berusaha menikahkan anak perempuan mereka dengan imbalan ternak.
Foto: picture-alliance/AP/A. Solanki
Gagal panen akibatkan kekerasan terhadap perempuan
Di beberapa negara, perempuan bertanggung jawab atas hasil panen. Bencana alam yang datang tiba-tiba atau cuaca ekstrem berdampak pada status sosial keluarga. Jika hasil panen terancam gagal, kekerasan terhadap perempuan kerap terjadi. Membantu perempuan menambah sumber pendapatan lain adalah salah satu cara terpenting untuk menghindari tindakan kekerasan.
Foto: DW
Ditinggal kaum pria
Perubahan iklim memaksa banyak pria meninggalkan negaranya untuk mencari pekerjaan yang lebih baik. Para perempuan yang ditinggalkan harus menghadapi konsekuensi dari perubahan iklim di negara mereka seorang diri.
Foto: picture-alliance/dpa/S. Morrison
Perempuan rentan jadi korban bencana alam
Perubahan iklim juga berpengaruh terhadap meningkatnya angka kematian perempuan. Hal ini erat kaitannya dengan stereotip peran sosial ketika bencana alam terjadi. Perempuan bertugas untuk merawat anak-anak dan orang tua di rumah, akibatnya mereka rentan menjadi korban bencana banjir atau badai.
Foto: Getty Images/AFP/M. uz Zaman
Bahaya akibat minimnya infrastruktur
Meskipun bencana alam telah berakhir, risiko bahaya masih terus membayangi perempuan maupun anak perempuan. Misalnya di tenda-tenda darurat yang tidak terjamin keamanannya, para perempuan rentan mengalami pelecehan oleh para pria saat menggunakan fasilitas MCK umum.
Foto: picture-alliance/dpa/R. Adeli
Pelecehan seksual sebagai bentuk intimidasi
Perempuan yang berjuang melawan perubahan iklim tidak lepas dari bahaya. Berdasarkan penelitian IUCN, pria akan mengancam atau melakukan kekerasan seksual untuk merendahkan status mereka di masyarakat, dan mencegah perempuan lain melakukan hal serupa. Hal ini sering ditemui di Amerika Selatan, di mana perempuan bersuara menentang pembangunan bendungan atau pembukaan tambang baru. (Ed: ha/rap/ae)
Foto: Reuters/J. Luis Gonzalez
7 foto1 | 7
Respons pemimpin Greenland
Sekitar 150 perempuan Inuit sebelumnya menggugat Denmark dan menuntut kompensasi atas pelanggaran hak asasi.
Perdana Menteri Greenland, Jens-Frederik Nielsen, juga meminta maaf kepada para perempuan yang “telah terpapar — dan hidup dengan konsekuensi dari intervensi yang tidak kalian minta dan tidak bisa kalian kendalikan.”
Permintaan maaf ini disampaikan sebulan sebelum laporan resmi terkait perlakuan terhadap perempuan Inuit dijadwalkan rilis pada bulan depan.
Artikel ini pertama kali terbit dalam bahasa Inggris
Diadaptasi oleh Adelia Dinda Sani
Editor: Rizki Nugraha