1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

PM Ethiopia Meles Zenawi Tutup Usia

21 Agustus 2012

Perdana Menteri Ethiopia, Meles Zenawi meninggal dunia hari Selasa (21/8) dalam usia 57 tahun. Ia memerintah di negeri itu sejak 1991.

epa03307749 (FILE) A file photo dated 17 September 2011 shows Ephiopian Prime Minister Meles Zeinawi speaking during a join press conference with his Egyptian counterpart Essam Sharaf (not pictured), in Cairo, Egypt. Reports on 16 July 2012 state that Meles Zenawi was unable to attend the opening on 15 July of the African Union Summit being held in Ethiopia because of rumoured health concerns. The Ethiopian government declined to make a statement on the issue. EPA/KHALED ELFIQI /POOL *** Local Caption *** 50045673
Meles ZenawiFoto: picture-alliance/dpa

Legesse Zenawi lahir 8 Mei 1955 sebagai putra petani kecil di Adua, Ethiopia utara. Beberapa saat kemudian ia menamakan dirinya Meles, untuk menghormati pejuang kemerdekaan yang gugur. Ia berhasil lulus dengan hasil yang sangat baik pada sebuah sekolah elit dan meraih dua gelar Master dari kuliah jarak jauh dengan nilai gemilang. Dengan latar belakang pengetahuannya itu ia secara teratur menyampaikan ceramah intelektual di depan tamu-tamu negara.

Sejak menjadi mahasiswa kedokteran, Meles aktif secara politik, bergabung dalam lingkungan Marxisme dan terlibat dalam gerakan yang memicu lengsernya Kaisar Haile Selassie tahun 1974.

Dari pemberontak ke perdana menteri

Setelah perebutan kekuasaan oleh Mengistu Haile Mariam, Meles meninggalkan universitas dan mengabdikan diri untuk perang gerilya melawan Mengistu. Sekitar sepuluh tahun

gerakannya Front Pembebasan Rakyat Tigrayan Regionalis Tigray (TPLF) berjuang di utara wilayah pegunungan Tigray sebelum berhasil merebut wilayah yang lebih luas. Dengan dukungan aktif Amerika Serikat, mereka akhirnya berhasil merebut Addis Abeba Mei 1991. Ketika ditanya, apakah negaranya siap bagi demokrasi, Meles, presiden sementara saat itu mengatakan: "Tahukan Eropa sebenarnya bahwa kami telah memiliki kebudayaan tinggi ketika orang-orang Eropa masih menjadi pemburu dan hidup dengan mengumpul makanan?"

Dia memang berjanji untuk tidak lagi mengejar lawan-lawan politik setelah tahun-tahun gelap dari yang disebut "Teror Merah". Namun meskipun demikian, gerakannya "Front Demokratik Revolusioner Rakyat Ethiopia" (EPRDF) menumpas dengan tangan keras yang mereka sebut antek-antek Mengistu, jurnalis dan lawan-lawannya. Baru 20 tahun kemudian, rekan-rekan seperjuangnya membeberkan di berbagai buku, bagaimana ahli strategi yang lihai ini menghancurkan lawannya.

Pendukung partai Meles pada pemilu 2010Foto: picture alliance/dpa

Ketika Ethiopia kembali dilanda kelaparan besar awal tahun 1990-an, ia kembali "dipilih" sebagai perdana menteri. Kritik organisasi-organisasi hak asasi manusia selalu menyertai pembela kuat Marxisme ini hingga akhir hidupnya.

Pembawa obor kebangkitan kembali Afrika?

Dua peristiwa akhirnya menghancurkan citra Meles sebagai "pembawa obor kebangkitan kembali Afrika." Yaitu perang perbatasan dengan negara tetangga Eritria antara 1998 dan 2000, serta manipulasi pemilu tahun 2005 saat sekitar 200 orang tewas dalam aksi protes. "Saya berhak berjuang bagi rakyat Ethiopia dan membuat keputusan yang benar. Saya sekarang sangat bangga untuk itu", ujar Meles setelah memberikan suaranya pada pemilu. Tidak lama setelah itu, militernya menembak mati mahasiswa yang berdemonstrasi.

Ketika ditanya mengenai konflik dengan Eritrea, ia mengatakan di Bonn bahwa dia tidak ingin lagi perang yang bodoh. Tetapi ia tetap saja melancarkan perang dengan negara tetangganya itu.

Setelah pemilu 2005 dan penangkapan massal oposisi, kelompok HAM menudingnya semena-mena, melakukan korupsi dan mengusir rakyat. Juni 2012, 24 jurnalis, oposisi dan aktivis dihukum berat dengan UU antiteror. Seorang blogger divonis 18 tahun penjara. pemerintah Meles juga dituduh menggelapkan uang dana bantuan pembangunan bagi kampanyenya.

Ahli strategi pasca 9/11

Dalam politik luar negeri, Meles tahu sekali cara menuai simpati, terutama dari Amerika Serikat, misalnya saat memasuki Somalia tahun 2006. Hingga penarikan pasukan tahun 2009, militernya berhasil memukul mundur milisi Islamis. Meles mengerti sekali, bagaimana Ethiopia yang terletak diTanduk Afrika, dapat dilihat sebagai mitra negara barat dalam perang melawan terorisme. Untuk imbalan, ia menerima bantuan militer bernilai miliaran dan tidak dicela dalam hubungan diplomatik.

Meles Zenawi dengan isterinya Azeb MesfinFoto: dapd

Tahun 2010 Meles kembali "dipilih" sebagai perdana menteri. Pemerintahan terakhirnya dibayangi oleh kekeringan yang hebat, hiper inflasi dan meroketnya biaya hidup. Sebuah aksi perlawanan pada bulan Mei 2011 menurut pola di beberapa negara Arab, berhasil diipadamkan pemerintah, namun tekanan terhadap oposisi semakin ditingkatkan.

Bermuka dua

Almarhum perdana menteri Ethiopia yang hobinya membaca, berenang dan bermain tenis itu mengesankan tamu-tamunya dengan bahasa Inggris yang baik sekali. Pria berwajah dua ini tampil terakhir secara internasional bulan Juni 2012 pada KTT G20 di Meksiko. Di tanah airnya ia merupakan penguasa otoriter yang memadamkan perlawanan hingga akarnya dan kalau harus, dengan kekerasan. Sedangkan di luar negeri ia tampil sebagai juru bicara Afrika yang karismatik, misalnya dalam perundingan terkait iklim global dan dampaknya bagi Afrika. Dia juga dianggap berjasa dalam perjuangan di sektor pendidikan dan kesehatan. Di bawah pemerintahannya, indeks perkembangan Ethiopia meningkat, meskipun pertumbuhan penduduk yang tak terkontrol membuat banyak kemajuan tidak ada artinya. Secara ekonomi Ethiopia sejak bertahun-tahun mengalami booming, tetapi yang terutama mengambil keuntungan adalah anggota-anggota partai.

Kondisi kesehatan Meles

Sejak lama tersebar isu bahwa Meles menderita suatu penyakit. Dia berulang kali pergi berobat ke luar negeri. Ketika Juli 2012 ia tidak menghadiri KTT Uni Afrika di Addis Abeba, desas desus bahwa ia sakit berat, semakin santer meskipun jurubicaranya menyangkal kabar itu.

Meles Zenawi meninggal hari Selasa, 21.8.2012 dan meninggalkan tiga anak dan isterinya Azeb Mesfin yang merupakan anggota Sentral Komite EPRDF dan mengawasi sejumlah besar perusahaan negara.

Ludger Schadomsky/Christa Saloh-Foerster

Editor:

Lewatkan bagian berikutnya Topik terkait