1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

PM Hasina Diprediksi Menangi Pemilu Bangladesh

8 Januari 2024

PM Bangladesh, Sheikh Hasina, diperkirakan kembali duduki masa jabatannya setelah partainya memenangkan hampir 75% kursi parlemen. Banyak warga lebih khawatirkan masalah ekonomi.

Meningkatnya harga barang-barang kebutuhan pokok menekan ekonomi warga  Bangladesh
Meningkatnya harga barang-barang kebutuhan pokok menekan ekonomi warga BangladeshFoto: Arafatul Islam/DW

Perdana Menteri Bangladesh Sheikh Hasina diperkirakan akan menduduki masa jabatan keempat berturut-turut, demikian menurut sebuah lembaga hitung cepat pemungutan suara, Senin (08/01). Pada pemilu yang digelar Minggu (07/01) tersebut, partainya memenangkan hampir 75% kursi dalam pemilihan umum yang diboikot oleh oposisi utama.

Berdasarkan hasil awal, Partai Liga Awami yang dipimpin Hasina memenangkan lebih dari 50% dari 300 kursi parlemen, kata seorang perwakilan komisi pemilihan umum pada Minggu (07/01) malam. Di 208 daerah pemilihan yang hasilnya sudah tersedia, partai tersebut memperoleh 152 kursi.

Menurut Komisi Pemilihan Umum Bangladesh, hanya sekitar 40% dari sekitar 120 juta pemilih yang memenuhi syarat datang untuk mencoblos.

Pemilu di Bangladesh diwarnai boikot oleh partai opisisi, dan dibayangi berbagai insiden kekerasan. Para kritikus menuduh Hasina menindas pihak oposisi dan merusak proses pemilu yang bebas dan adil.

Sheikh Hasina dan partainya, Liga Awami, mengincar masa jabatan keempat berturut-turut.  Masa jabatan Hasina diwarnai dengan penangkapan massal terhadap lawan-lawan politiknya dan sanksi hak asasi manusia terhadap pasukan keamanannya.

Pemimpin partai oposisi yakni BNP, Khaleda Zia, 78, saat ini tengah dirawat di rumah sakit karena kondisi kesehatan yang buruk. Banyak pemimpin penting dari Partai BNP juga berada di balik jeruji besi.

BNP memboikot pemilu tersebut dan mengatakan bahwa mereka tidak percaya pada pemerintahan perdana menteri untuk menyelenggarakan pemilu yang bebas dan adil. Sebelumnya, partai yang berkuasa juga menolak tuntutan oposisi terhadap pendirian pemerintahan sementara yang netral untuk mengawasi pemilu. 

Pendukung oposisi Bangladesh menggelar protes rutin dalam beberapa bulan terakhir menjelang pemiluFoto: Mortuza Rashed/DW

Ekonomi, kekhawatiran utama rakyat Bangladesh

Banyak warga asal Bangladesh di seluruh negeri tampaknya lebih mengkhawatirkan isu-isu seperti inflasi dan pembangunan ekonomi dibandingkan pluralitas politik.

Smriti Rani Das bekerja di sebuah pabrik garmen di Mohammadpur, pinggiran ibu kota, Dhaka, selama lebih dari dua tahun. Penghasilannya per bulan mencapai 8.700 taka (sekitar Rp1,2 juta), sedikit lebih tinggi dari upah minimum industri.

Sektor tekstil sangat penting bagi perekonomian negara ini. Sekitar 3.500 pabrik garmen menyumbang sekitar 85% dari $55 miliar ekspor tahunannya, memasok banyak merek terkemuka dunia termasuk Levi's, Zara dan H&M.

Dalam beberapa bulan terakhir, ribuan pekerja di Bangladesh melangsungkan demonstrasi besar-besaran untuk menuntut upah lebih tinggi. Demonstrasi tersebut membuat pihak berwenang menaikkan upah bulanan minimum bagi pekerja garmen menjadi 12.500 taka (sekitar Rp1,8 juta). Namun beberapa pengunjuk rasa mengatakan kenaikan sebesar 56% itu terlalu kecil. Mereka menuntut minimum 23.000 taka (sekitar Rp3,3 juta).

Smriti Rani Das dan suaminya, yang juga seorang pekerja tekstil, harus menghidupi keluarganya yang berjumlah lima orang. Mereka mengatakan sulit untuk memenuhi kebutuhan hidup.

"Pendidikan anak saya semakin mahal. Harga beras, sayur mayur dan minyak goreng naik. Sulit bagi kami untuk mengatasi kenaikan harga dengan pendapatan kami," katanya.

Laporan Bank Dunia baru-baru ini mengatakan bahwa kenaikan harga pangan merupakan kekhawatiran utama bagi 71% keluarga Bangladesh. Inflasi pangan mencapai lebih dari 12,5% pada bulan November, tertinggi dalam satu dekade. Meningkatnya harga pangan dan komoditas mengancam akan mendorong banyak warga Bangladesh kembali ke jurang kemiskinan. 

Inflasi merugikan masyarakat miskin

Khokon, penarik becak di Dhaka, juga khawatir dengan kenaikan harga. "Kami tidak bisa mendapatkan uang seperti dulu. Penumpang membayar kami lebih sedikit sekarang karena mereka tidak punya cukup uang untuk dibelanjakan," katanya kepada DW.

Shantanu Majumder, profesor ilmu politik di Universitas Dhaka, meyakini bahwa para pemilih lebih peduli terhadap kondisi perekonomian dibandingkan kekhawatiran terhadap kemunduran demokrasi di negara itu.

"Kenaikan harga sangat berdampak pada kehidupan masyarakat umum, terutama kelompok berpendapatan rendah. Kenaikan ini menguras tabungan kelas menengah." Inflasi akan tetap menjadi masalah utama bahkan setelah pemilu, kata Majumder.

Penangkapan massal dan masalah HAM

Sementara itu, gedung pengadilan di Dhaka disibukkan oleh para aktivis oposisi dan pengacara mereka untuk mendapatkan status pembebesan dengan jaminan.

Polisi telah meningkatkan penangkapan terhadap para pemimpin dan pekerja BNP selama beberapa bulan terakhir menyusul protes besar-besaran menentang pemerintah pada akhir Oktober 2023. Partai oposisi mengatakan hampir 25.000 aktivisnya telah ditahan dan sekitar 10 juta orang melarikan diri.

Mereka menuduh pihak berwenang menindak oposisi dengan menggunakan tuduhan yang dibuat-buat.

Sultana Kamal, aktivis hak asasi manusia, mempertanyakan apakah penangkapan massal itu perlu. "Menangkap seseorang terlebih dahulu dan kemudian membuktikannya sebagai penjahat adalah pelanggaran hukum dan hak asasi manusia. Mereka tidak bisa melakukan itu," katanya kepada DW.

Kamal juga mempertanyakan beberapa putusan pengadilan yang keluar sangat cepat.

Skeptis akan masa depan demokrasi

Menjelang hari pemilihan umum, masyarakat tampaknya semakin enggan untuk bepergian, karena khawatir terjadinya kekerasan selama dan setelah proses pemungutan suara. Akibatnya, terminal bus Gabtoli, salah satu pusat transportasi di Dhaka, terlihat lebih sepi.

Tanusri Das, pelajar berusia 24 tahun, termasuk di antara segelintir penumpang yang menunggu naik bus untuk melakukan perjalanan ke kampung halamannya, Rajbari. Tanusri Das mengatakan ia ingin bisa mencoblos.

Das mengatakan pemerintahan Hasina telah berhasil berinvestasi dan meningkatkan infrastruktur fisik Bangladesh.

Namun mahasiswa tersebut masih skeptis terhadap masa depan demokrasi di negaranya. Dia menunjukkan bahwa pihak berwenang telah membatasi kebebasan pers dan berpendapat, sehingga banyak orang takut untuk secara terbuka dan bebas mengkritik atau berbicara tentang kebijakan dan kinerja pemerintah.

"BNP adalah salah satu partai politik terbesar dan terkuat di Bangladesh. Ketika pemilu diselenggarakan tanpa mereka… hal ini mendefinisikan demokrasi. Saya tidak mengatakan bahwa ini baik atau buruk, namun kita harus menunggu dan melihat apakah demokrasi akan menang atau tidak," ujarnya.

ai/ae/hp (rtr, dpa)

 

Jangan lewatkan konten-konten eksklusif berbahasa Indonesia dari DW. Ayo berlangganan gratis newsletter mingguan Wednesday Bite. Recharge pengetahuanmu di tengah minggu, biar topik obrolan makin seru!

Lewatkan bagian berikutnya Topik terkait