Inggris Akan Menggelar Pemilihan Umum Desember Mendatang
30 Oktober 2019
Lembaga akademis Think Tank menyebut, usulan PM Inggris mengadakan pemilihan umum pada Desember mendatang akan merugikan perekonomian negara mereka. Usulan ini juga dianggap akan memperburuk hubungan Inggris-Uni Eropa.
Foto: Getty Images/L. Neal
Iklan
Pada Selasa malam, Perdana Menteri Inggris, Boris Johnson mendapat dukungan dari parlemen untuk mengadakan pemilihan umum pada awal Desember 2019. Parlemen telah mengeluarkan Rancangan Undang-Undang yang menyebutkan pemilihan umum akan digelar pada 12 Desember 2019. Usulan ini sebelumnya dikeluarkan oleh Johnson, dengan harapan mampu menyelesaikan masalah Brexit. Ia juga mengatakan usulannya ini adalah satu-satunya solusi untuk ketidakpastian yang selama ini telah membebani perekonomian Inggris sejak referendum 2016 lalu.
Sebaliknya, pihak oposisi yakni Partai Buruh justru ingin melakukan negosiasi untuk menghasilkan kesepakatan baru dan memasukkannya ke referendum kedua. Hal ini diharapkan dapat menghasilkan keputusan berbeda dari referendum sebelumnya.
Beberapa pihak menilai, usulan Johnson dapat membuat hubungan Inggris dan Uni Eropa semakin longgar.
Lembaga Nasional Penelitian Ekonomi dan Sosial (NIESR) memperkirakan bahwa dalam waktu 10 tahun, ekonomi Inggris akan menjadi 3,5% lebih kecil jika megikuti rencana Johnson.
Sementara menurut lembaga akademis Think Tank, usulan ini justru akan membuat ekonomi Inggris melemah 6%.
Kampanye Dimulai
Bila para pemimpin partai-partai besar Inggris, tidak meluangkan waktu untuk berkampanye, hal sebaliknya justru dilakukan Partai Buruh.
"Kami akan melakukan kampanye paling ambisius dan radikal, yang belum pernah dilihat sebelumnya, untuk perubahan nyata," kata pemimpin Partai Buruh, Jeremy Corbyn.
"Ini adalah kesempatan bagi kami untuk menyediakan tempat bagi banyak orang, bukan hanya sebagian, dan cocok untuk generasi berikutnya."
Sementara Johnson mengatakan sudah waktunya untuk menyatukan Inggris dan "menyelesaikan Brexit." Dia berjanji untuk mengesampingkan kesepakatan Brexit dengan Uni Eropa sampai pemerintah baru berkuasa.
Brexit: Tarik Ulur Politik Inggris Keluar Dari Uni Eropa
Inggris kejutkan dunia dengan hasil referendum 23 Juni 2016 yang sepakat keluar dari Uni Eropa. Mulailah rentang waktu penuh kisruh, tarik uluk dan adu kekuatan politik di Eropa terkait Brexit.
Foto: picture-alliance/empics/Y. Mok
Juni 2016: Kehendak Rakyat Inggris
Hasil referendum yang diumumkan 24 Juni 2016, hampir 52 persen dari pemilih setuju, Inggris keluar dari Uni Eropa. Perdana Menteri Inggris saat itu, David Cameron dari partai konservatif menerima "kehendak rakyat Inggris, dan mengundurkan diri sehari setelah referendum..
Foto: picture-alliance/dpa/A. Rain
Juli 2016: Brexit berarti Brexit
Mantan Menteri Dalam Negeri, Theresa May gantikan posisi Cameron sebagai Perdana Menteri pada 11 Juli. Ia menjanjikan´Brexit berarti Brexit´. Sebelumnya, May diam-diam dukung kampanye Inggris tetap di Uni Eropa. Dia tidak secara jelas mengatakan kapan akan memulai pembicaraan diberlakukannya Pasal 50 Perjanjian Uni Eropa terkait masa dua tahun sebelum Inggris resmi keluar Uni Eropa.
Foto: Reuters/D. Lipinski
Maret 2017: Kami siap Berpisah
May tandatangani nota diplomatik untuk memulai Pasal 50, 29 Maret. Beberapa jam kemudian, Duta Besar Inggris untuk UE, Tim Barrow serahkan nota itu kepada Presiden Dewan Eropal, Donald Tusk. Inggris dijadwalkan keluar dari Uni Eropa 29 Maret 2019. Tusk merespon nota itu dengan komentar: “Kami sudah siap berpisah. Terima kasih dan selamat tinggal”.
Foto: picture alliance / Photoshot
Juni 2017: Perundingan Dimulai
Menteri Brexit, David Davis dan ketua jururunding UE, Michel Barnier memulai perundingan di Brussel pada 19 Juni. Perundingan pertama diakhiri dengan kesepakatan Inggris akan mematuhi aturan UE terkait sisa negosiasi. Tahap pertama membahas persyaratan keluarnya Inggris dan tahap kedua membahas hubungan UE dan Inggris pasca-Brexit.
Foto: picture alliance/ZUMAPRESS.com/W. Daboski
Juli – Oktober 2017: Uang, Hak-hak dan Irlandia
Tahap kedua perundingan dimulai dengan berfoto bersama tim Inggris yang terlihat tak siap. Perundingan gagal raih kemajuan terkait tiga masalah pasca-Brexit: Berapa banyak yang masih harus dibayar Inggris ke anggaran UE, bagaimana dengan hak warga negara UE dan Inggris dan apakah Inggris tetap dapat membuka perbatasan antara Irlandia dan Irlandia Utara.
Foto: Getty Images/T.Charlier
November 2017: May Tunjukkan Kemajuan?
Kemajuan baru terlihat setelah putaran perundingan ke-6 di awal November. Inggris setuju untuk membayar 57 miliar Euro atau sekitar Rp 900 triliun sebagai “biaya perceraian”. Awalnya May hanya mau membayar 20 juta, padahal UE telah menghitung biayanya sebesar 60 juta Euro. Laporan konsensi Inggris ini memicu kemarahan di kalangan politikus dan media pro-Brexit.
Foto: picture-alliance/dpa/S. Hoppe
Desember 2017: Maju ke fase ke-2
Para pimpinan dari 27 anggota UE secara resmi menyetujui “kemajuan yang cukup” itu untuk diteruskan ke fase kedua: transisi periode pasca-Brexit dan masa depan hubungan perdagangan UE-Inggris. Perdana Menteri Theresa May mengungkapkan kegembiraannya atas keputusan ini, sebaliknya Presiden Dewan Eropa, Tusk memperingatkan bahwa perindingan putaran kedua akan “sangat sulit.
Foto: picture-alliance/AP Photo/dpa/O. Matthys
September 2018: Tidak ada ceri untuk Inggris
Proposal May tidak berjalan mulus. Pada pertemuan puncak di Salzburg akhir September, para pimpinan UE sampaikan kepada May bahwa proposalnya tidak dapat diterima. Presiden Dewan Eropa,Tusk menyindir May lewat Instagram dengan postingan foto mereka yang sedang melihat sepotong kue: “Sepotong kue barangkali? Maaf, tidak ada ceri”. Ini sindiran bahwa Inggris cuma mau keuntungan sepihak dari Eropa.
Foto: Reuters/P. Nicholls
November 2018: Kemajuan di Brussel
Para pimpinan UE dukung draft kesepakatan perceraian serta deklarasi politis soal hubungan pasca-Brexit setebal 585 halaman. Draft ini dikecam habis anggota parlemen yang pro maupun kontra Brexit dalam perdebatan di Parlemen Inggris beberapa minggu sebelumnya. Menteri Brexit, Dominic Raab bersama dengan beberapa menteri mencoba memicu mosi tidak percaya di bulai Mei.
Foto: Getty Images/AFP/E. Dunand
Desember 2019: May Lolos Dari Mosi Tidak Percaya
Menghadapi oposisi yang sulit, May menunda pemungutan suara di parlemen pada 10 Desember. Besoknya ia bertemu Kanselir Jerman, Angela Merkel untuk mencari kepercayaan diri dalam meyakinkan para anggota parlemen yang skeptis kembali ke kesepakatan. Sementara ia pergi, anggota parlemen dari Partai Konservatif ajukan mosi tidak percaya. May menang mosi kepercayaan di hari berikutnya.
Foto: Getty Images/S. Gallup
Januari 2019: Kesepakatan ditolak
Kesepakatan Brexit May, ditolak Parlemen Inggris dengan 432 suara dan hanya 202 suara mendukungnya. Sebagai respon hasil tersebut, Presiden Dewan Eropa, Donald Tusk sarankan agar Inggris tetap bertahan di Uni Eropa. Partai Buruh Inggris menyerukanmosi tidak percaya terhadap Perdana Menteri. Ini adalah tantangan berat dalam kepemimpinan kedua May dalam bulan-bulan terakhir.
Foto: Reuters
11 foto1 | 11
Tusk: Jangan Buang Waktu
Uni Eropa telah sepakat untuk memperpanjang batas waktu Brexit hingga 31 Januari. Namun, Presiden Dewan Eropa, Donald Tusk memperingatkan Inggris untuk bijak menggunakan keuntungan dari waktu tambahan ini, karena mungkin tidak ada perpanjangan lain.
"Kepada kawan-kawan saya di Inggris, EU27 telah secara resmi menyatakan penambahan waktu. Ini mungkin yang terakhir. Tolong gunakan sebaik-baiknya saat ini," tulis Tusk di Twitter.