Rohingya: Genosida di Pelupuk Mata
Minoritas muslim di Myanmar hidup di bawah kezaliman mayoritas. Mereka terusir dari rumah sendiri, tidak memiliki kewarganegaraan dan selamanya dinistakan. Inilah potret kelompok etnis paling tertindas di dunia saat ini.
Pelarian Kaum Terbuang
Sering disebut sebagai minoritas paling teraniaya di dunia, eksistensi Rohingya di Myanmar ibarat bertepuk sebelah tangan. Mereka tidak diakui sebagai warga negara, tidak punya hak sipil dan terjajah di tanah sendiri. Hingga kini ratusan ribu kaum Rohingya telah melarikan diri ke Bangladesh, Thailand, Malaysia dan Indonesia.
Warisan Kolonialisme
Konflik antara etnis di Myanmar adalah warisan era kolonialisme. Sejak Inggris menduduki kawasan Arakan alias Rakhine 1825, ratusan ribu kaum muslim Bangali diangkut ke Rakhine untuk bekerja. Inggris juga membangun sistem Zamindari yang mengizinkan tuan tanah asal Bangladesh menduduki lahan-lahan milik masyarakat pribumi.
"Buruh Ilegal"
Membanjirnya buruh migran asal Chittagong mendorong pertumbuhan perekonomian kolonial di Rakhine. Namun masyarakat pribumi kian tersisih. Sejahrawan mencatat, saat itu mayoritas Buddha di Rakhine meyakini lahan dan lapangan kerja buat mereka dirampas oleh "kaum pendatang ilegal."
Separatisme Kelompok Islam
Pada dekade 1940an, sebagian warga muslim Rohingya mendeklarasikan kesetiaan pada Pakistan yang dipimpin Muhammad Ali Jinnah. Mereka bahkan mengundang Islamabad untuk menduduki Rakhine. Ketika ditolak, kelompok tersebut melancarkan gerakan jihad yang bertujuan membentuk negara Islam di utara Rakhine.
Pembantaian di Arakan
Ketegangan etnis di Rakhine meruncing setelah Inggris mempersenjatai kelompok muslim Rohingya untuk melawan pasukan Jepang selama Perang Dunia II. Celakanya pasukan yang diberi nama Chittagonian V Force itu lebih banyak meneror warga pribumi beragama Buddha yang cendrung mendukung Jepang. Puncaknya terjadi pada 1942 ketika warga Buddha terlibat saling bantai dengan gerilayawan Rohingya.
Tanpa Pengakuan
Setelah kemerdekaan, Myanmar tahun 1948 menetapkan Undang-Undang kewarganegaraan yang tidak mencantumkan Rohingya sebagai salah satu etnis yang diakui negara. Buntutnya etnis minoritas itu tidak mendapat kewarganegaraan dan semakin rentan terhadap diskriminasi.
Petaka di Negeri Jiran
Situasi di negara bagian Rakhine kian runyam menyusul Perang Kemerdekaan Bangladesh 1971 yang mendorong eksodus pengungsi ke Myanmar. Tahun 1975 Duta Besar Bangaldesh di Myanmar, Khwaja Mohammed Kaiser, mengakui ada sekitar 500.000 pengungsi Bangladesh yang melarikan diri ke Rakhine.
Arus Balik
Negosiasi pemulangan pengungsi Bangladesh berlangsung alot antara dua pemerintah. Bangladesh ironisnya menolak mengakui sekitar 200.000 pengungsi yang telah dipulangkan oleh Myanmar. Setelah melewati perundingan panjang, Myanmar setuju menampung para pengungsi tersebut. Proses pemulangan pengungsi pada dekade 1990an yang berada di bawah pengawasan PBB itu berlangsung brutal.
Genosida di Pelupuk Mata
Proses rekonsiliasi antara etnis Rohingya dan mayoritas Buddha di Rakhine berakhir pahit menyusul kerusuhan 2012. Dipicu oleh pemerkosaan dan pembunuhan perempuan Rakhine oleh tiga pria muslim, mayoritas Buddha menyisir kawasan muslim dan membantai 200 penduduk Rohingya. Lebih dari 100.000 ribu terpaksa mengungsi dan kebencian terhadap etnis Rohingya semakin membara di Myanmar.
Bedil Menyalak
Jurang antara mayoritas di Myanmar dengan minoritas muslim melebar seiring perang kemerdekaan yang dilancarkan kaum radikal Islam. Berbagai kelompok, antara lain Rohingya Solidarity Organisation (RSO), mengimpikan negara Islam tanpa kaum Buddha Myanmar. November 2016 silam sekitar 69 gerilayawan separatis Rohingya dan 17 aparat keamanan Myanmar tewas dalam aksi baku tembak di utara Rakhine