Di hadapan anggota Parlemen Eropa, PM Polandia Mateusz Morawiecki membela putusan pengadilan tinggi negaranya yang kontroversial tentang supremasi hukum UE. Ia bahkan menuduh blok itu melakukan "pemerasan."
Iklan
Perdana Menteri Polandia Mateusz Morawiecki menyampaikan pembelaan saat menjawab pertanyaan anggota Parlemen Eropa pada Selasa (19/10), tentang putusan Mahkamah Konstitusi negaranya yang menantang keutamaan hukum Uni Eropa (UE).
Pengadilan tinggi Polandia itu sebelumnya memutuskan pada 7 Oktober bahwa sebagian dari hukum UE "tidak sesuai” dengan konstitusi negara, sehingga memberikan keutamaan kepada hukum nasional.
Putusan ini telah dikritik secara luas oleh Komisi Eropa dan beberapa negara anggota, termasuk Prancis dan Jerman. Putusan tersebut juga memicu aksi unjuk rasa di seluruh Polandia karena dikhawatirkan dapat menjadi langkah pertama bagi Polandia untuk meninggalkan Eropa.
Apa yang disampaikan Morawiecki?
Dalam sebuah debat panjang dan emosional, PM Polandia itu membantah pernyataan yang menyebut bahwa negaranya berada di jalur yang berpotensi menuju "Polexit”. Sebaliknya, ia justru mengajak negara-negara anggota untuk bersatu melawan tantangan bersama seperti kekurangan energi, migrasi dan agresi Rusia.
Brexit: Tarik Ulur Politik Inggris Keluar Dari Uni Eropa
Inggris kejutkan dunia dengan hasil referendum 23 Juni 2016 yang sepakat keluar dari Uni Eropa. Mulailah rentang waktu penuh kisruh, tarik uluk dan adu kekuatan politik di Eropa terkait Brexit.
Foto: picture-alliance/empics/Y. Mok
Juni 2016: Kehendak Rakyat Inggris
Hasil referendum yang diumumkan 24 Juni 2016, hampir 52 persen dari pemilih setuju, Inggris keluar dari Uni Eropa. Perdana Menteri Inggris saat itu, David Cameron dari partai konservatif menerima "kehendak rakyat Inggris, dan mengundurkan diri sehari setelah referendum..
Foto: picture-alliance/dpa/A. Rain
Juli 2016: Brexit berarti Brexit
Mantan Menteri Dalam Negeri, Theresa May gantikan posisi Cameron sebagai Perdana Menteri pada 11 Juli. Ia menjanjikan´Brexit berarti Brexit´. Sebelumnya, May diam-diam dukung kampanye Inggris tetap di Uni Eropa. Dia tidak secara jelas mengatakan kapan akan memulai pembicaraan diberlakukannya Pasal 50 Perjanjian Uni Eropa terkait masa dua tahun sebelum Inggris resmi keluar Uni Eropa.
Foto: Reuters/D. Lipinski
Maret 2017: Kami siap Berpisah
May tandatangani nota diplomatik untuk memulai Pasal 50, 29 Maret. Beberapa jam kemudian, Duta Besar Inggris untuk UE, Tim Barrow serahkan nota itu kepada Presiden Dewan Eropal, Donald Tusk. Inggris dijadwalkan keluar dari Uni Eropa 29 Maret 2019. Tusk merespon nota itu dengan komentar: “Kami sudah siap berpisah. Terima kasih dan selamat tinggal”.
Foto: picture alliance / Photoshot
Juni 2017: Perundingan Dimulai
Menteri Brexit, David Davis dan ketua jururunding UE, Michel Barnier memulai perundingan di Brussel pada 19 Juni. Perundingan pertama diakhiri dengan kesepakatan Inggris akan mematuhi aturan UE terkait sisa negosiasi. Tahap pertama membahas persyaratan keluarnya Inggris dan tahap kedua membahas hubungan UE dan Inggris pasca-Brexit.
Foto: picture alliance/ZUMAPRESS.com/W. Daboski
Juli – Oktober 2017: Uang, Hak-hak dan Irlandia
Tahap kedua perundingan dimulai dengan berfoto bersama tim Inggris yang terlihat tak siap. Perundingan gagal raih kemajuan terkait tiga masalah pasca-Brexit: Berapa banyak yang masih harus dibayar Inggris ke anggaran UE, bagaimana dengan hak warga negara UE dan Inggris dan apakah Inggris tetap dapat membuka perbatasan antara Irlandia dan Irlandia Utara.
Foto: Getty Images/T.Charlier
November 2017: May Tunjukkan Kemajuan?
Kemajuan baru terlihat setelah putaran perundingan ke-6 di awal November. Inggris setuju untuk membayar 57 miliar Euro atau sekitar Rp 900 triliun sebagai “biaya perceraian”. Awalnya May hanya mau membayar 20 juta, padahal UE telah menghitung biayanya sebesar 60 juta Euro. Laporan konsensi Inggris ini memicu kemarahan di kalangan politikus dan media pro-Brexit.
Foto: picture-alliance/dpa/S. Hoppe
Desember 2017: Maju ke fase ke-2
Para pimpinan dari 27 anggota UE secara resmi menyetujui “kemajuan yang cukup” itu untuk diteruskan ke fase kedua: transisi periode pasca-Brexit dan masa depan hubungan perdagangan UE-Inggris. Perdana Menteri Theresa May mengungkapkan kegembiraannya atas keputusan ini, sebaliknya Presiden Dewan Eropa, Tusk memperingatkan bahwa perindingan putaran kedua akan “sangat sulit.
Foto: picture-alliance/AP Photo/dpa/O. Matthys
September 2018: Tidak ada ceri untuk Inggris
Proposal May tidak berjalan mulus. Pada pertemuan puncak di Salzburg akhir September, para pimpinan UE sampaikan kepada May bahwa proposalnya tidak dapat diterima. Presiden Dewan Eropa,Tusk menyindir May lewat Instagram dengan postingan foto mereka yang sedang melihat sepotong kue: “Sepotong kue barangkali? Maaf, tidak ada ceri”. Ini sindiran bahwa Inggris cuma mau keuntungan sepihak dari Eropa.
Foto: Reuters/P. Nicholls
November 2018: Kemajuan di Brussel
Para pimpinan UE dukung draft kesepakatan perceraian serta deklarasi politis soal hubungan pasca-Brexit setebal 585 halaman. Draft ini dikecam habis anggota parlemen yang pro maupun kontra Brexit dalam perdebatan di Parlemen Inggris beberapa minggu sebelumnya. Menteri Brexit, Dominic Raab bersama dengan beberapa menteri mencoba memicu mosi tidak percaya di bulai Mei.
Foto: Getty Images/AFP/E. Dunand
Desember 2019: May Lolos Dari Mosi Tidak Percaya
Menghadapi oposisi yang sulit, May menunda pemungutan suara di parlemen pada 10 Desember. Besoknya ia bertemu Kanselir Jerman, Angela Merkel untuk mencari kepercayaan diri dalam meyakinkan para anggota parlemen yang skeptis kembali ke kesepakatan. Sementara ia pergi, anggota parlemen dari Partai Konservatif ajukan mosi tidak percaya. May menang mosi kepercayaan di hari berikutnya.
Foto: Getty Images/S. Gallup
Januari 2019: Kesepakatan ditolak
Kesepakatan Brexit May, ditolak Parlemen Inggris dengan 432 suara dan hanya 202 suara mendukungnya. Sebagai respon hasil tersebut, Presiden Dewan Eropa, Donald Tusk sarankan agar Inggris tetap bertahan di Uni Eropa. Partai Buruh Inggris menyerukanmosi tidak percaya terhadap Perdana Menteri. Ini adalah tantangan berat dalam kepemimpinan kedua May dalam bulan-bulan terakhir.
Foto: Reuters
11 foto1 | 11
Meski begitu, ia juga melontarkan serangan terhadap UE dan para kritikus di Polandia. Menurutnya ada negara-negara anggota di UE yang "diperlakukan sebagai anggota kelas dua”, bahwa Polandia diserang secara tidak adil oleh lembaga-lembaga Eropa.
"Negara-negara anggota tetap berdaulat,” kata Morawiecki membela putusan Mahkamah Konstitusi Polandia yang kontroversial itu.
Morawiecki juga menuduh UE melakukan "pemerasan”, dengan mengatakan "tidak dapat diterima [UE] berbicara tentang sanksi keuangan”. "Saya tidak akan terima ada politisi yang ingin memeras dan mengancam Polandia,” tambahnya.
Morawiecki juga mengkritik ekspansi dari kekuatan UE, yang didorong oleh Mahkamah Eropa (ECJ).
Tidak ada ‘kesepakatan khusus' untuk Polandia
Presiden Komisi Eropa Ursula von der Leyen mengatakan kepada anggota parlemen Uni Eropa pada Senin (18/10) bahwa dia "sangat prihatin” atas apa yang terjadi di Polandia.
Dalam kesempatan itu, ia mengatakan bahwa "prosedur Pasal 7” masih menjadi "alat yang ampuh” untuk menangani pelanggaran dari negara-negara anggota. Pasal 7 memungkinkan UE untuk menghapus hak-hak tertentu dari negara-negara anggota, termasuk mencabut hak suara mereka.
"Kita tidak bisa dan kita tidak akan membiarkan nilai-nilai bersama kita terancam,” kata von der Leyen kepada Parlemen.
Sementara itu, Menteri Urusan Eropa Jerman Michael Roth di sela-sela pertemuan pada Selasa (19/10), mengatakan bahwa "tidak ada ruang kompromi dalam perselisihan dengan Polandia tentang supremasi hukum.”
Roth mengatakan bahwa kedua belah pihak harus mengadakan pembicaraan, tetapi memperingatkan "tidak akan ada kesepakatan khusus” untuk Polandia.
"Di akhir dialog nantinya, harus ada pengakuan yang jelas tentang apa yang kita semua telah komitmenkan ketika bergabung dengan Uni Eropa,” jelasnya.
Iklan
Perselisihan yang sudah berlangsung lama
Perselisihan antara Brussels dan Warsawa berawal ketika UE mengecam tindakan pemerintah Polandia yang dianggap melanggar independensi peradilan.
Mahkamah Konstitusi yang sebelumnya mengeluarkan putusan menantang supremasi hukum UE itu sejatinya telah dianggap tidak independen oleh UE karena pengaruh politik partai penguasa di sana.
Pada bulan Maret lalu, ECJ mengatakan bahwa UE dapat memaksa negara-negara anggota untuk mengabaikan ketentuan tertentu dalam hukum nasional, termasuk hukum konstitusional. ECJ juga menambahkan bahwa prosedur yang baru-baru ini diterapkan Polandia dalam menunjuk anggota pengadilan tinggi melanggar hukum UE.
UE juga telah menahan miliaran euro dana pemulihan pascapandemi menyusul kekhawatiran tentang mundurnya aturan hukum di Polandia.