1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Polemik RUU Ketahanan Keluarga

20 Februari 2020

Komnas Perempuan sebut RUU Ketahanan Keluarga tumpang-tindih dengan undang-undang yang ada. Sementara aktivis HAM nilai RUU ini akan melanggar sejumlah perjanjian internasional.

Gambar simbol keluarga
Foto: Colourbox/Monkey Business Images

Rancangan Undang-Undang (RUU) Ketahanan Keluarga yang masuk dalam program legislasi nasional (prolegnas) DPR menuai banyak kritik karena dinilai terlalu mencampuri ranah privat seseorang. RUU yang terdiri dari 146 pasal tersebut menjadi sorotan karena sederet pasal yang dianggap kontroversial, mulai dari kewajiban suami-istri, donor sperma dan ovum, hingga penyimpangan seksual.

Ambil contoh Pasal 25 yang mengatur kewajiban suami-istri dalam sebuah keluarga. Di pasal tersebut, suami dan istri memiliki masing-masing tugas, seperti yang dijelaskan dalam Pasal 25 ayat (2) dan (3) sebagai berikut:

Pasal 25 ayat (2)

Kewajiban suami sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), antara lain:

a. sebagai kepala keluarga yang bertanggung jawab untuk menjaga keutuhan dan kesejahteraan keluarga, memberikan keperluan hidup berumah tangga sesuai dengan kemampuannya, dan bertanggung jawab atas legalitas kependudukan keluarga;

b. melindungi keluarga dari diskriminasi, kekejaman, kejahatan, penganiayaan, eksploitasi, penyimpangan seksual, dan penelantaran;

c. melindungi diri dan keluarga dari perjudian, pornografi, pergaulan dan seks bebas, serta penyalahgunaan narkotika, alkohol, psikotropika, dan zat adiktif lainnya; serta

d. melakukan musyawarah dengan seluruh anggota keluarga dalam menangani permasalahan keluarga.

Pasal 25 ayat (3)

Kewajiban istri sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), antara lain:

a. wajib mengatur urusan rumah tangga sebaik-baiknya;

b. menjaga keutuhan keluarga; serta

c. memperlakukan suami dan anak secara baik, serta memenuhi hak-hak suami dan anak sesuai norma agama, etika sosial, dan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Tumpang-tindih

Kepada DW Indonesia, Komisioner Komnas Perempuan Theresia Iswarini menyebut hadirnya RUU Ketahanan Keluarga ini tumpang-tindih dengan undang-udang yang sudah ada. Ia menilai pembahasan RUU ini hanya akan membuang uang dan waktu.

"Karena pengaturan keluarga sudah ada dalam KUH Perdata, ada dalam UU Perkawinan. Kalau untuk anak ada di dalam UU Perlindungan Anak. Sudah banyak sebenarnya. Malah saya bingung mengapa harus dikeluarkan (RUU Ketahanan Keluarga)," jelas Theresia.

Menurutnya, dalam suatu keluarga baik pihak suami maupun istri dapat berbagi dan bekerja sama dalam menjalani urusan-urusan rumah tangga tanpa perlu adanya pembeda. "Karena sumbangan pemikiran dari bapaknya diperlukan, sumbangan pemikiran dari ibunya diperlukan," ujarnya.

"Kalau dibahas itu sekarang, buang-buang duit buang-buang energi. Harusnya energi, pikiran, keberpihakan kita diberikan kepada RUU Penghapusan Kekerasan Seksual dan RUU Pekerja Rumah Tangga. Sekarang, harus mikir yang sebenarnya sudah ada," lanjut Theresia.

BDSM - LGBT

RUU Ketahanan Keluarga dalam pasal 85-89 mengatur kewajiban keluarga untuk melakukan wajib lapor dan melakukan rehabilitasi bagi anggota yang memiki penyimpangan seksual. Berikut bunyi Pasal 85 RUU Ketahanan Keluarga:

Badan yang menangani Ketahanan Keluarga wajib melaksanakan penanganan Krisis Keluarga karena penyimpangan seksual sebagaimana dimaksud dalam Pasal 74 ayat (3) huruf f berupa:

a. rehabilitasi sosial;

b. rehabilitasi psikologis;

c. bimbingan rohani; dan/atau

d. rehabilitasi medis.

Sementara dalam Pasal 85 ayat (1) disebutkan jenis-jenis penyimpangan seksual yang dimaksud:

Yang adalah dimaksud dorongan dengan "penyimpangan kepuasan seksual" seksual yang ditunjukkan tidak lazim atau dengan cara-cara tidak wajar, meliputi antara lain:

a. Sadisme adalah cara seseorang untuk mendapatkan kepuasan seksual dengan menghukum atau menyakiti lawan jenisnya.

b. Masochisme kebalikan dari sadisme adalah cara seseorang untuk mendapatkan kepuasan seksual melalui hukuman atau penyiksaan dari lawan jenisnya.

c. Homosex (pria dengan pria) dan lesbian (wanita dengan wanita) merupakan masalah identitas sosial di mana seseorang mencintai atau menyenangi orang lain yang jenis kelaminnya sama.

d. Incest adalah hubungan seksual yang terjadi antara orang yang memiliki hubungan darah dalam garis keturunan lurus ke bawah, ke atas, atau menyamping, sepersusuan, hubungan semenda, dan hubungan yang oleh agamanya atau peraturan lain yang berlaku dilarang untuk kawin.

Pasal 86

Keluarga yang mengalami Krisis Keluarga karena penyimpangan seksual wajib melaporkan anggota keluarganya kepada Badan yang menangani Ketahanan Keluarga atau lembaga rehabilitasi yang ditunjuk oleh Pemerintah untuk mendapatkan pengobatan dan/atau perawatan.

Pasal 87

Setiap orang dewasa yang mengalami penyimpangan seksual wajib melaporkan diri kepada Badan yang menangani Ketahanan Keluarga atau lembaga rehabilitasi untuk mendapatkan pengobatan dan/atau perawatan.

Pasal 88

Lembaga rehabilitasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 86 dan Pasal 87 untuk keluarga yang mengalami krisis keluarga karena penyimpangan seksual diselenggarakan oleh instansi pemerintah atau masyarakat yang ditunjuk oleh badan yang menangani ketahanan keluarga.

Pasal 89

Ketentuan mengenai pelaksanaan wajib lapor, rehabilitasi untuk keluarga yang mengalami krisis keluarga diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Tanpa dasar ilmu pengetahuan?

Menanggapi ini, peneliti Human Rights Watch, Andreas Harsono, mempertanyakan dasar dibentuknya RUU Ketahanan Keluarga. Andreas berpendapat bahwa RUU ini dibuat "tanpa memperhatikan ilmu pengetahuan atau perjanjian-perjanjian internasional soal kesetaraan gender."

"Itu sudah ada studi-studi dari asosiasi psikiater di seluruh dunia, sudah ada studi dari WHO ini (LGBT) alamiah semua," papar Andreas saat dihubungi DW Indonesia di Amsterdam, Kamis (20/02).

Keputusan College of Psychiatry Federal Council Australia dan Selandia Baru pada 15 Oktober 1973 menyatakan bahwa homoseksualitas bukanlah sebuah bentuk penyakit jiwa. Kemudian pada tahun 1987 American Psychiatric Association (APA) juga mengambil keputusan serupa dengan mencoret homoseksualitas dari Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders (DSM).

Lebih lanjut pada 17 Mei tahun 1990, Badan Kesehatan Dunia, WHO, juga telah mencoret homoseksualitas sebagai bentuk gangguan mental dalam daftar "International Classification of Diseases” (ICD-10). Kemudian pada 2019, transgender juga dicoret dan diperbaharui dalam daftar ICD-11.

"Itu melanggar hukum internasional. Kalau undang-undang jadi, katakanlah ada orang ditangkap lantas ia menggugat ke PBB, negara Indonesia pasti kalah," tegas Andreas.

Berdasarkan pantauan DW Indonesia, kini muncul petisi "Stop RUU Ketahanan Keluarga yang Menghilangkan Hak Asasi Manusia Perempuan" dalam laman change.org yang disusun oleh jaringan Perempuan Perdamaian Indonesia. Sedikitnya 1.000 orang telah menandatangani petisi ini.

RUU Ketahanan Keluarga diusulkan oleh lima anggota DPR yakni Ledia Hanifa dan Netty Prasetyani dari Fraksi PKS, Sodik Mujahid dari Fraksi Gerindra, Ali Taher dari Fraksi PAN, dan Endang Maria Astuti dari Fraksi Golkar.

Namun saat dikonfirmasi, Sodik Mujahid enggan berkomentar mengenai polemik ini. "Saya akan bicara dulu dengan fraksi, harus pemaparan dulu ke fraksi terus saya baru bicara," tuturnya singkat saat dihubungi DW Indonesia, Kamis (20/02) siang.

rap/ae (dari berbagai sumber)