Polisi Jerman di Bawah "Tekanan Berat" Karena Aksi Protes
30 Desember 2021
Serikat Polisi Jerman mengatakan anggotanya bekerja "dengan kapasitas penuh sepanjang waktu" dan berusaha mengatasi tekanan berat saat menghadapi pengunjuk rasa yang makin kasar dan agresif.
Iklan
Serikat Polisi Jerman, GdP, menyatakan prihatin dengan konsekuensi psikologis yang dihadapi oleh para petugas kepolisian yang dikerahkan menghadapi berbagai aksi protes terhadap kebijakan COVID-19 pemerintah.
"Banyaknya protes kebijakan corona memberi tekanan besar pada aparat kami," kata Ketua GdP Oliver Malchow kepada jaringan media Redaktionsnetzwerk Deutschland (RND). Petugas polisi sering dikerahkan dari satu negara bagian ke negara bagian lain untuk menangani berbagai aksi demonstrasi yang terjadi di seluruh Jerman, katanya dalam rilis yang diterbitkan hari Rabu (29/12).
Oliver Malchow secara khusus menyoroti meningkatnya aksi kekerasan di mana pengunjuk rasa menunjukkan tingkat agresi yang tinggi terhadap petugas kepolisian. Pekan lalu, tiga belas petugas kepolisian terluka di kota Mannheim, ketika pengunjuk rasa yang marah menyerang aparat yang berusaha mengakhiri aksi protes tanpa izin untuk menentang pembatasan yang diterapkan pemerintah negara bagian.
"Bekerja dengan kapasitas penuh"
"Para pimpinan bekerja keras untuk mengurangi stres pada staf mereka, tetapi ini menjadi semakin sulit," kata Oliver Malchow. "Dalam beberapa tahun terakhir, negara bagian telah mempekerjakan lebih banyak personel dalam layanan psikologis anggota kepolisian," tambahnya.
Iklan
Oliver Malchow selanjutnya mengatakan bahwa kepolsian membutuhkan lebih banyak personel untuk menghadapi situasi aktual ini. "Kami berjalan dengan kapasitas penuh sepanjang waktu sekarang, dan beban itu berdampak pada rekan-rekan saya."
Manuel Ostermann, Wakil Ketua Serikat Buruh Polisi Jerman, DPoIG, mengatakan bahwa pengurangan staf kepolisian adalah alasan utama untuk masalah ini. Apa yang dilakukan di masa lalu kini "memukul kami di semua bidang, termasuk perkembangan virus corona," katanya kepada harian terbesar Jerman "Bild".
Jerman Terjebak dalam Gelombang Keempat COVID-19
Setidaknya 100.000 orang di Jerman kini telah meninggal karena COVID-19. Ketika pandemi berlanjut, tingkat infeksi naik lebih tinggi dari sebelumnya. Sementara vaksinasi kini melambat karena penolakan sebagian warga.
Foto: Jan Woitas/dpa/picture alliance
Angka tragis
Seorang pria di kuburan di Bonn berduka atas istrinya yang telah meninggal - salah satu dari 100.000 orang di Jerman yang telah meninggal karena COVID-19. Selama beberapa minggu terakhir, jumlah mereka yang meninggal karena COVID atau terkait dengan corona meningkat setiap hari.
Foto: Ute Grabowsky/photothek/imago images
Peringatan terakhir
Pengurus pemakaman telah kewalahan, dengan peti mati berbaris di sini di depan oven krematorium. Di salah satu tutupnya, kata "Corona" telah ditulis dengan kapur — peringatan bagi orang-orang yang bekerja di sana. Orang lanjut usia dan yang tidak divaksinasi yangaling berisiko meninggal karena virus, tetapi makin banyak orang yang terinfeksi walaupun sudah divaksin.
Foto: Robert Michael/dpa/picture alliance
Situasi mencemaskan bagi manula...
Dalam beberapa minggu terakhir, ada banyak kasus infeksi COVID-19 di panti jompo dan komunitas pensiunan dan kasus yang meninggal. Inilah salah satu alasan mengapa pemerintah Jerman mempertimbangkan vaksinasi wajib bagi petugas kesehatan. Italia, Prancis, dan Yunani telah melakukan langkah tersebut, dan Austria akan segera mengikutinya.
Foto: Jens Kalaene/dpa/picture alliance
...dan bagi yang muda
Tes Covid-19 di taman kanak-kanak dan sekolah menjadi rutinitas bagi anak-anak. Tidak ada kelompok populasi lain yang diuji secara teratur dan ekstensif untuk COVID-19. Namun angka infeksi pada anak berusia 5 hingga 14 tahun juga naik tiga kali di atas rata-rata. Dalam upaya untuk membendung laju infeksi, Badan Obat Eropa pada 25 November menyetujui vaksin BioNTech-Pfizer untuk kelompok usia ini.
Foto: Christian Charisius/dpa/picture alliance
Unit perawatan intensif penuh
Seorang dokter merawat pasien COVID-19 di unit perawatan intensif rumah sakit universitas di Leipzig. Tingkat rawat inap - jumlah orang yang dirawat di rumah sakit dengan COVID-19 - belum mencapai tingkat tertinggi sejak Desember lalu, tetapi staf kesehatan sudah membunyikan alarm dan memperingatkan bahwa rumah sakit kewalahan.
Foto: Jan Woitas/dpa/picture alliance
Lebih lama tinggal
Seorang pasien COVID-19 dengan jalur akses vena dan trakeostomi duduk di unit perawatan intensif rumah sakit. Menggunakan tingkat rawat inap sebagai nilai kejadian kontroversial: Juga banyak pasien COVID yang lebih muda. Mereka menghabiskan lebih lama dalam perawatan intensif, yang berarti kapasitas tempat tidur juga terisi untuk waktu lama.
Foto: Robert Michael/dpa/picture alliance
Virus di sepanjang perjalanan
Sejak minggu lalu, aturan baru telah diterapkan di kereta api, trem, dan bus, seperti di Hamburg ini. Hanya mereka yang telah divaksinasi, dites negatif, atau baru saja pulih dari infeksi yang dapat menggunakan transportasi umum. Penggunaan masker tetap wajib.
Foto: Eibner/imago images
Rumahku adalah kantorku
Siapa pun yang tidak benar-benar harus pergi ke tempat kerja harus bekerja dari rumah. Persyaratan bekerja dari rumah sebelumnya sudah dicabut, namun kini diberlakukan lagi. Dengan tingkat infeksi yang meningkat, pengurangan kontak menjadi prioritas. (rs/hp)
Foto: Imago/S. Midzor
8 foto1 | 8
Ikut demo tak berizin bisa didenda senilai 48 juta rupiah
Unjuk rasa anti-pembatasan corona makin sering terjadi di berbagai kota Jerman. Dalam beberapa hari terakhir, gelombang protes mencapai ribuan orang yang beunjuk rasa di puluhan kota di Jerman untuk memprotes kebijakan corona pemerintah.
Protes ini datang sebagai tanggapan atas pembatasan baru untuk pertemuan pribadi dan larangan menggelar acara-acara publik menjelang perayaan Tahun Baru.
Di negara bagian Mecklenburg-Vorpommern saja, lebih dari 15.000 orang berunjuk rasa di 20 kota, menurut kepolisian Jerman. Di negara bagian Brandenburg, ada sekitar 9.000 demonstran yang menggelar aksi protes, sekalipun ada larangan berkumpul.
Kota München hari Rabu )29/12) dan Kamis (30/12) secara eksplisit mengeluarkan larangan pawai dan aksi protes. Orang-orang yang mengambil bagian dalam demonstrasi tanpa izin akan menghadapi denda sampai 3.000 euro atau sekitar 48 juta rupiah.