Ia adalah seorang calon polisi kriminal di Jerman. Latar belakangnya sebagai seorang muslim sufi yang menjadi polisi membuatnya jadi istimewa.
Iklan
Arman Kuru adalah seorang warga Berlin, usianya 26 tahun. Orang tuanya berasal dari Turki, sedangkan ia besar dan dilahirkan di Jerman. Agama tidak mempunyai pengaruh besar dalam keluarganya. Meski demikian, berkat dirinya sendiri, ia berhasil menemukan jalan menuju Islam.
Rumah Ibadah: Bentuk Penghargaan Keyakinan
Jerman membuka diri untuk berbagai keyakinan. Di antaranya terlihat dari pembangunan rumah-rumah ibadah Muslim, yang diharapkan menjadi bagian dari integrasi antar budaya.
Foto: Getty Images
Mesjid Merkez di Duisburg
Diawali perdebatan selama enam tahun dan tahap perencanaan, yang disusul proses pembangunan selama enam tahun, akhirnya Mesjid Merkez di Duisburg berdiri pada tahun 2008. The Turkish-Islamic Union for Religious Affairs (DITIB) mendanai pembangunan mesjid ini. Mesjid ini juga digunakan sebagai wadah berdialog antar umat beragama.
Foto: Getty Images
Mesjid Gaya Klasik
Sekitar 1.200 orang bisa berkumpul di bawah kubah mesjid Merkez yang bergaya klasik ini. Ruang bawah tanah bangunan tersebut berisi perpustakaan. Ada lagi ruangan seluas 1.000 meter persegi yang bisa dipakai untuk acara khusus.
Foto: Getty Images
Koeksistensi Agama
Bahkan politisi Jerman konservatif menyerukan umat Islam untuk membangun mesjid. Di negara bagian Bayern ada beberapa tempat ibadah Muslim di lingkungan Katolik. Mesjid Kanun i Sultan Süleyman di kota Neu-Ulm selesai pada tahun 2006.
Foto: dapd
Mesjid Komunitas Turki di Berlin
Ada sekitar 80 mesjid dan mushola di Berlin. Kebanyakan dari bangunan-bangunan itu hampir tidak dikenali, karena banyak yang ukurannya kecil dan terletak di halaman belakang. Mesjid Sehitlik didirikan di distrik Tempelhof, di lokasi pemakaman Turki tertua di Eropa Tengah. Dua menara ramping mesjid mencapai lebih dari 30 meter yang menjulang ke langit.
Foto: Getty Images
Mesjid Utama di Köln
Terjadi aksi protes besar selama perencanaan mesjid baru di kota Köln. Pembangunannya dimulai pada bulan November 2009. Ukuran bangunan dan tampilannya menimbulkan kontroversi di kalangan masyarakat dan politisi Köln. Ini menjadi salah satu sebab tertundanya pembukaan mesjid sampai tahun 2013.
Foto: picture-alliance/dpa
Mesjid di bekas ibukota
Mesjid Al Muhajirin merupakan salah satu mesjid di kota Bonn, Jerman. Bekas ibukota Jerman saat ini memiliki sekitar sembilan mesjid.
Foto: Al-Muhajirin Moschee Bonn e.V.
Gambaran Islam
Banyak komunitas Muslim yang berpikiran terbuka yang mendukung integrasi ke dalam masyarakat Jerman, ada juga pendatang dari kelompok yang radikal. Mesjid Al Muhsinin Salafi di Bonn telah lama berada di bawah pengawasan badan keamanan Jerman. Itu salah satu dari 30 lokasi yang diduga menjadi bagian dari jaringan Islam fundamental.
Foto: picture-alliance/JOKER
Tempat Pertemuan Jihadis
Mesjid kecil di daerah perumahan juga ada. Misalnya Mesjid Falah di Frankfurt. Dinas keamanan Jerman sempat menggerebek masjid ini, atas dugaan keterlibatan dengan terorisme.
Foto: dapd
Tempat Pertemuan Modern
Banyak komunitas Muslim yang berkomitmen untuk dialog antaragama. Komunitas Muslim Frankfurt, yang mulai dengan kegiatan mahasiswa, memulai dialog antaragama pada awal tahun 1960-an. Sekarang mereka kerap bertemu di aula doa Masjid Abu Bakr. Di sini, pengunjung bisa mendapatkan wawasan tentang agama dan budaya Muslim di Jerman.
Foto: picture-alliance/dpa
Terbuka dan Modern
Forum Islam di Penzberg, München dikelola masyarakat yang menggambarkan dirinya sebagai warga independen, multinasional, netral dan terbuka. Karakteristik tersebut tercermin dalam arsitektur mesjid, yang dibuka pada tahun 2005, dengan bagian depan gedung berkilau biru yang terbuat dari ribuan keping kaca dan menara baja halusnya.
Foto: picture-alliance/dpa
Mesjid DITIB di Göttingen
Mesjid DITIB di Göttingen adalah bangunan baru lainnya, yang dibuka pada tahun 2007. Umatnya kebanyakan warga berlatar belakang Turki. Mesjid itu memiliki hubungan dengan komunitas mahasiswa Muslim Universitas Göttingen. Mereka menawarkan bantuan kepada anak-anak untuk menyelesaikan pekerjaan rumah mereka dan aktif terlibat dalam integrasi sosial.
Foto: picture-alliance/dpa
Mesjid Keempat Tertua di Jerman
Islamic Center di Hamburg adalah salah satu institusi Muslim tertua di Eropa dan merupakan pusat Islam Syiah di Jerman. Mesjid Imam Ali dibiayai oleh komunitas bisnis Iran pada tahun 1960-an. Meski badan-badan keamanan Jerman melakukan pengawasan terhadapnya, masjid ini tetap menyajikan gambaran keterbukaan.
Foto: Getty Images
12 foto1 | 12
Saat ini ia adalah anggota kelompok sufi Berlin. Kelompok ini terbuka bagi semua agama. Kuru berpendapat, tujuan tertinggi sufi adalah berada sedekat mungkin dengan Tuhan. Awalnya ia datang ke sini diajak oleh seorang teman. Waktu itu usianya masih 16 tahun.
Sangat tertarik dengan sufi
Saat datang ke pertemuan itu, ia duduk di dekat orang yang ia kira muslim. Ia lalu mengucap “Salam Aleikum“, orang itu menjawab “´Shalom aleich“. Itulah percakapan pertama, yang ia lakukan di sana, akhirnya ia kemudian tahu bahwa orang yang ia beri salam adalah seorang Yahudi.
“Selanjutnya, ceramah-ceramah yang diadakan disana- nilai-nilai kebijaksanaan yang bisa saya peroleh, membuat saya sangat tertarik. Saya merasa bisa memperoleh sesuatu disana“, kata Kuru.
Karena bergabung dengan kelompok sufi ini, Kuru merasa lebih bisa mengerti dan menempatkan diri dalam situasi yang dihadapi orang lain. Ia juga merasa, bisa lebih tahu apa yang dialami orang di hadapannya. Menurut Kuru, kemampuan semacam ini akan sangat berguna bagi pekerjaannya di masa depan sebagai polisi kriminal.
Alasan menjadi polisi
Sejak lama Kuru ingin mejadi polisi. Ia merasa pekerjaan sebagai polisi sangat menantang dan tak membosankan. Selain itu, motivasi utama Kuru menjadi polisi adalah untuk menolong sesama dan melakukan pekerjaan yang bisa membuat ia bangga.
Satu Rumah Tiga Agama
Sebuah proyek di Berlin ingin menyatukan tiga agama Samawi dalam satu atap. Nantinya umat Muslim, Kristen dan Yahudi saling berbagi ruang saat beribadah. The House of One bakal dibiayai murni lewat Crowdfunding.
Foto: Lia Darjes
Berkumpul di Bawah Satu Atap
Tidak lama lagi ibukota Jerman, Berlin, bakal menyambut sebuah rumah ibadah unik, yang menyatukan tiga agama Ibrahim, yakni Islam, Kristen dan Yahudi. Rencananya The House of One akan memiliki ruang terpisah untuk ketiga agama, dan beberapa ruang umum untuk para pemeluk buat saling bersosialiasi.
Foto: KuehnMalvezzi
Tiga Penggagas
Ide membangun The House of One diusung oleh tiga pemuka agama, yakni Pendeta Gregor Hohberg, Rabi Tovia Ben-Chorin dan seorang imam Muslim, Kadir Sanci. "Ketiga agama ini mengambil rute yang berbeda dalam perjalanannya, tapi tujuannya tetap sama," ujar Kadir Sanci. Menurutnya The House of One merupakan kesempatan baik buat ketiga agama untuk menjalin hubungan dalam kerangka kemanusiaan
Foto: Lia Darjes
Berpondasi Sejarah
Di atas lahan yang digunakan The House of One dulunya berdiri gereja St. Petri yang dihancurkan pada era Perang Dingin. Arsitek Kuehn Malvezzi memutuskan menggunakan pondasi gereja St. Petri untuk membangun The House of One. Sang arsitek mengakomodir permintaan masing-masing rumah ibadah, seperti Masjid dan Sinagoga yang harus mengadap ke arah timur.
Foto: Michel Koczy
Cerca dan Curiga
Awalnya tidak ada komunitas Muslim yang ingin terlibat dalam proyek tersebut. Namun, FID, sebuah kelompok minoritas Islam moderat yang anggotanya kebanyakan berdarah Turki mengamini. Kelompok tersebut harus menghadapi cercaan dari saudara seimannya lantaran dianggap menkhianati aqidah Islam. Namun menurut Sanci, perdamaian adalah rahmat semua agama.
Foto: KuehnMalvezzi
Dikritik Seperti Makam Firaun
Tidak jarang proyek di Berlin ini mengundang kritik tajam. Salah seorang tokoh agama Katholik Jerman, Martin Mosebach, misalnya menilai desain arsitektur The House of One tidak mencerminkan sebuah bangunan suci. Bentuk di beberapa bagiannya malah tampak serupa seperti makan Firaun. Tapi ketiga pemuka agama yang terlibat memilih acuh dan melanjutkan dialog terbuka untuk menggalang dukungan publik
Foto: Lia Darjes
Sumbangan Massa
Penggagas proyek The House of One menyadari betul pentingnya peran publik dalam pembangunan. Sebab itu mereka sepenuhnya mengandalkan pendanaan massa alias crowdfunding. Setiap orang bisa menyumbang uang buat membeli satu batu bata. Sebanyak 4,350.000 batu bata dibutuhkan buat menyempurnakan bangunan. Sejauh ini dana yang terkumpul sebesar 1 juta Euro dari 43 juta yang dibutuhkan
Foto: KuehnMalvezzi
Merajut Damai
Manajamen proyek berharap rumah baru ini bakal menjadi pusat pertukaran budaya antara ketiga pemeluk agama untuk saling menengenal dan saling menghargai. "Adalah hal baik buat mengenal lebih dekat jiran kita," ujar Imam Kadir Sanci.
Foto: Lia Darjes
7 foto1 | 7
Warga Jerman yang punya asal-usul dari Türki sangat disenangi di kepolisian Jerman. ia tak mendapat tudingan miring, bahkan disini kemampuan khususnya sangat dihargai. “Orang bertanya kepada saya, dari mana orang tua saya berasal . Lalu saya jawab, orang tua saya dari Turki, saya dilahirkan dan dibesarkan disini. Dan sebagian besar dari mereka merasa senang“, kata Kuru. Ia bercerita, ia banyak berhubungan dengan saksi mata dan korban yang berasal dari Turki, karena itu, baginya adalah sesuatu hal yang lebih jika bisa berbahasa Turki.
Kuru mempunyai hobi lain, yakni menjadi penari Darwish yang sudah ia lakukan sejak tiga tahun. Kali ini, ia melakukan pertunjukan di sebuah gereja. Tarian Darwish adalah sebuah tarian yang dianggap sebagai bentuk doa aktif, dimana dalam keadaan suka cita, seseorang bisa begitu dekat dengan Tuhan.
Toleransi Beragama di Jerman
Toleransi beragama semakin digalakkan di Jerman. Itu diwujudkan antara lain dengan perayaan religi bersama, pelajaran agama Islam di sekolah-sekolah, juga aktivitas kebudayaan lain.
Foto: picture-alliance/ZB
Merasa Anggota Masyarakat
Seorang perempuan muslim di Jerman mengenakan sebagai hijab sehelai bendera Jerman, yang berwarna hitam, merah, emas untuk menunjukkan keanggotaannya dalam masyarakat Jerman.
Foto: picture-alliance/dpa
Poetry Slam Antar Agama
Perlombaan ini digelar 17 Agustus 2013 di Berlin. Pesertanya : penulis puisi dari kelompok agama Islam, Yahudi dan Kristen. Mereka membacakan sendiri karyanya. Pelaksananya yayasan Jerman, Friedrich Ebert Stiftung.
Foto: Arne List
Jurusan Teologi Yahudi
Jurusan ini diresmikan 19 November 2013 di Universitas Potsdam. Pada semester pertama, jurusan yang berakhir dengan gelar Bachelor ini memiliki mahasiswa 47 orang dari 11 negara. Jurusan ini juga terbuka bagi orang non-Yahudi, yang berniat mempelajari teologi Yahudi.
Foto: picture-alliance/dpa
Hari "Open Door" Mesjid 2013
"Tag der offenen Moschee" diadakan setiap tahun di Jerman, pada tanggal penyatuan Jerman, 3 Oktober. Pelaksanaannya dikoordinir berbagai perhimpunan Islam di Jerman. Lebih dari 1.000 mesjid di Jerman menawarkan ceramah, pameran, brosur informasi dan acara pertemuan serta tur di dalam mesjid. Setiap tahun lebih dari 100.000 warga menggunakan kesempatan untuk lebih mengenal Islam itu.
Foto: DW/R. Najmi
Mencari Informasi dan Berkenalan
Pengunjung pada hari "open door" di Mesjid Sehitlik, Berlin. Sebanyak 18 mesjid di Berlin, setiap tanggal 3 Oktober membuka pintunya bagi semua orang.
Foto: picture-alliance/dpa
Saling Menerima
Suster dari tiga ordo Katolik mengunjungi mesjid Yavuz Sultan Selim di Mannheim, pada "Hari Katolik" ke-98, tanggal 17 Mei 2012. Bertepatan dengan Hari Katolik tersebut, mesjid Yavuz Sultan Selim mengadakan hari pembukaan pintu.
Foto: picture-alliance/dpa
Pelajaran Agama Islam di Sekolah Jerman
Guru Merdan Günes berdiri bersama murid-murid di sekolah dasar kota Ludwigshafen-Pfingstweide, pada pelajaran agama Islam. Foto dibuat 09.12.2010. Pelajaran agama Islam mulai dilaksanakan di sebuah sekolah di negara bagian Rheinland Pfalz sejak tahun ajaran 2003/2004, dan sejak itu semakin diperluas.
Foto: picture-alliance/dpa
Belajar Toleransi
Guru Bülent Senkaragoz dalam pelajaran agama Islam di sekolah Geistschule di kota Münster. Foto dibuat 25/11/2011. Senkaragoz mengatakan, "Tugas saya bukan mengajarkan kepada murid, bagaimana cara sembahyang yang benar bagi seorang Muslim." Murid-murid di sini belajar tentang pentingnya toleransi. Pelajaran agama Islam dimulai di negara bagian Nordrhein Westfalen sejak 1999.
Foto: picture-alliance/dpa
"Mein Islambuch"
"Mein Islambuch“ (buku pelajaran Islam saya). Ini adalah buku pelajaran agama Islam baru untuk sekolah dasar. Ditulis oleh Serap Erkan, Evelin Lubig-Fohsel, Gül Solgun-Kaps dan Bülent Ucar. Di sebagian besar negara bagian yang dulu termasuk Jerman Barat, pelajaran agama Islam sudah termasuk kurikulum sekolah.
Berjalan Bersama
Buku pelajaran lain berjudul "Miteinander auf dem Weg" (bersama dalam perjalanan). Tokoh utama dalam buku itu hidup di dalam masyarakat, di mana pemeluk agama Kristen, Yahudi dan Islam hidup bersama dengan hak-hak sama. Seperti tampak pada salah satu ilustrasinya.
Foto: Ernst Klett Verlag GmbH, Stuttgart/Liliane Oser
Guru Agama Islam Orang Jerman
Annett Abdel-Rahman adalah guru pelajaran agama Islam di sekolah tiga agama di Osnabrück. Guru perempuan ini mengenakan jilbab, sementara rekannya yang Yahudi memakai kippah. "Bagi saya penting untuk memaparkan persamaan agama-agama Samawi kepada para murid," kata Annett Abdel-Rahman.
Foto: DW
Buka Puasa Bersama
Sebelum buka puasa bersama, para tamu membeli makanan dan manisan khas Turki, di Lapangan Kennedy di kota Essen. Dalam kesempatan ini umat berbagai agam bisa menikmati makanan bersama. Selama bulan puasa, hingga 500 orang, terdiri dari warga muslim dan non muslim datang ke tenda besar di lapangan tersebut.
Foto: picture-alliance/dpa
Sama-Sama Warga Kota
Di bawah moto ”Wir sind Duisburg” (kitalah Duisburg), penduduk sekitar rumah tempat tinggal warga Roma di kota Duisburg dan sejumlah ikatan masyarakat serta persatuan warga Roma mengundang imigran untuk bersama-sama menyantap sarapan.
Foto: DW/C. Stefanescu
Pekan Antar Budaya
Seorang perempuan Senegal berdiri di lapangan pusat kota Halle an der Saale, di sebelah gambar gedung pemerintahan Rusia, Kremlin. Dalam "Interkulturellen Woche Sachsen-Anhalt" diadakan berbagai pesta, pameran, ceramah di negara bagian itu. Tujuannya mengembangkan toleransi bagi warga asing dan pengungsi. Pekan budaya ini adalah inisiatif gereja Jerman, dan diadakan akhir September setiap tahun.
Foto: picture-alliance/ZB
14 foto1 | 14
“Tarian Darwish buat saya punya arti seperti melakukan meditasi, dimana saya bisa lepas dari dunia dan bersama Tuhan di dalam hati. Dan semua yang ada di dunia, di sekeliling saya serta apa yang bisa saya lihat jadi luntur”, kata Kuru.
Tarian `Darwish` bisa dilakukan dimana saja- di gereja, kuil dan sinagoge. Kuru menari dimana saja, dan ia merasa senang jika ia bisa membuat orang dari agama manapun bahagia.
Ketika Berganti Keyakinan
Mereka pindah agama karena kehendak mereka sendiri. Namun hal ini kerap menuai ketidakpahaman atau bahkan penolakan dari keluarga dan lingkungannya. Demikian pula yang dialami mereka di Jerman.
Foto: picture-alliance/dpa
Sebuah langkah besar
Ketika David Stang keluar Gereja Katolik, pada awalnya keluarganya syok. Dulu, waktu remaja, ia bahkan menjadi putra altar di gerejanya. Ia pun rajin membaca Alkitab. Ia merasa tidak cocok. Ia bercerita: "Saya dapat memahami, pastur tidak dapat menceritakan kepada saya tentang pasangan, misalnya."
Foto: DW/K. Dahmann
Tumbuh di hati
Dari kekecewaannya terhadap gereja Katolik, David Stang mulai melakukan pencarian makna pada agama-agama lain. Sampai akhirnya ia bertemu dengan seorang pengacara Jerman, yang masuk agama Islam. "Dia membuat saya apa mengenal Islam dan nilai-nilai yang terkait dengan itu," kata pria itu. "Dan di sana saya menemukan makna bagi diri saya lagi.“
Foto: DW/K. Dahmann
Sebuah proses yang panjang
Bagi David Stang, masuk agama Islam berarti proses pembelajaran lagi: "Awalnya, saya pikir jika masuk Islam, maka Anda harus menjauhi alkohol, makan babi dan memakai janggut. Tapi pengacara yang memperkenalkannya dengan Islam menunjukkan kepadanya bahwa yang terpenting adalah perasaan betapa menyenangkan untuk menjadi seorang Muslim. Sisanya tinggal mengikuti."
Foto: DW/K. Dahmann
Kompromi iman
Sebagai kaum profesional, sehari-hari David Stang mengalami kemacetan antara Hannover dan kota kelahirannya Bonn. Lima kali sehari untuk berdoa tidak selalu memungkinkan baginya, maka ia kemudian memperpanjang doa di pagi dan sore hari. Untuk alasan profesional janggutanya pun ia pangkas. Yang penting, katanya, "mengintegrasikan iman ke dalam kehidupan."
Foto: DW/K. Dahmann
Penolakan Islam radikal
Terhadap tindakan kekerasan yang dilakukan kaum Salafi di Bonn pada tahun 2012, atau teroris radikal, ia menjauhkan diri: "Jika agama itu membenarkan apa yang dilakukan teroris, misalnya memasang bom di sekitar leher, saya tak ingin berurusan dengan hal semacam itu.“
Foto: picture-alliance/dpa
Meninggalkan gereja
Ute Lass tumbuh dalam keluarga Katolik, tapi menurutnya gereja membatasinya. Ia bermimpi belajar teologi: “Tapi sebagai seorang teolog, saya tidak bisa berperan banyak dalam Katholik . Ia kemudian pindah gereja.
Foto: DW/K. Dahmann
Rumah baru
Lewat suaminya, yang dibaptis sebagai Protestan, Ute cepat menemukan kontak ke gereja Protestan. Anaknya diikutsertakan dalam kelompok bermain , diapun mencari kontak untuk ikut dalam paduan suara gereja. Namun butuh waktu lima tahun sampai dia memutuskan untuk membuat "langkah besar". Pendeta Annegret Cohen (kiri) dan Nina Gutmann (tengah) menemaninya dalam pertarungan batin ini.
Foto: DW/K. Dahmann
Sikap toleran
Keluarga dan teman-teman bereaksi positif. "Mereka mengatakan , ini jauh lebih cocok! " Bagaimana dengan tempat kerjanya, organisasi bantuan Katholik Caritas? Ute Lass mendapat lampu hijau. Mereka mengatakan, adalah penting bahwa Anda tetap dibaptis sebagai seorang Kristen dan ke gereja.
Foto: picture-alliance/dpa
Disambut
Di gereja Protestan, Ute Lass disambut dengan tangan terbuka. Dengan sukacita ia menangani hal seperti misalnya bazaar gereja. Apakah ia kadang merindukan kehidupannya sebagai umat Katholik?Jawabnya: “Saya memiliki iman yang kuat terhadap Bunda Maria, yang perannya tak seperti di gereja Protestan," katanya. “Tapi untuk beberapa hal, saya tetap seperti itu.“
Foto: DW/K. Dahmann
Memfasilitasi masuknya anggota
Selama bertahun-tahun, gereja-gereja Kristen melaporkan bahwa jumlah jemaatnya menurun: Semakin banyak orang keluar gereja, entah karena alasan agama atau hanya untuk menghindari gereja. Dalam rangka memfasilitasi masuknya anggota baru, gereja-gereja di Jerman menyambut baik, seperti di Fides, Bonn dimana pastur Thomas Bernard (kanan) bekerja.
Foto: DW/K. Dahmann
Akibat skandal?
Gereja Katolik dalam beberapa tahun terakhir mengalami berkurangnya jumlah umat. Banyak orang percaya, ini terjadi setelah sejumlah kasus pelecehan seksual dalam biara. "Skandal yang substansial," Thomas Bernard mengakui. "Kami telah demikian kehilangan daya tariknya." Meskipun berita di media menghancurkan nama gereja, dia yakin: "Iman dapat memberikan dukungan."
Foto: DW/K. Dahmann
Membuka pintu iman
Salah satu alasan mengapa orang bergabung dengan Gereja Katolik saat ini, menurut Thomas Bernard adalah liturgi. "Banyak orang mengagumi perayaan ibadah," katanya. Reformasi di tubuh gereja seperti ynag dilakukan paus yang baru, diharapkan menyebabkan banyak orang yang telah keluar dari Katholik, kembali menemukan gereja.
Foto: DW/K. Dahmann
Permohonan untuk kebebasan beragama
Orang-orang yang telah mengubah agama mereka, pernah ditampilkan dalam sebuah pameran di Munchen. Pameran ini menunjukkan permohonan untuk kebebasan hak asasi manusia, termasuk kebebasan memilih agama.
Foto: Jüdisches Museum München 2013
Bayipun ‘pindah agama‘
Gambar ini menunjukkan nasib putri Jennifer dan Ricky Grossman: Bayi tidak diakui sebagai Yahudi , karena ibunya bukan Yahudi. Oleh karena itu ibunya harus masuk Yahudi dulu, karena itulah syarat untuk bisa diterima sebagai anggota penuh dari komunitas Yahudi.