Triliunan rupiah proyek raksasa E-KTP diduga "diembat" dan dijadikan bancakan beramai-ramai oleh para politikus terhormat. Apa tujuan sesungguhnya partai politik dan para politikus? Simak opini Anton Kurnia berikut.
Iklan
Apakah kekuasaan itu tujuan akhir atau "jembatan emas” untuk mewujudkan cita-cita "masyarakat adil, makmur, aman, dan sejahtera” seperti yang pernah diucapkan oleh Bung Karno dalam satu pidatonya semasa muda?
George Orwell, novelis dan esais asal Inggris, punya pendapat tajam tentang politikus dan kekuasaan. Dalam novel legendarisnya, 1984, melalui tokoh Big Brother, diktator yang digambarkan omnipotence (serbakuasa) dan omnipresent (serbatahu) sehingga seakan menyaingi kuasa Tuhan, dia menyatakan: "The Party seeks power entirely for its own sake. We are not interested in the good of others; we are interested solely in power, pure power. What pure power means you will understand presently. … Power is not a means; it is an end. … The object of power is power.”
Menurut Orwell, partai politik yang notabene dihuni sekelompok politikus haus kekuasaan sesungguhnya tak peduli akan kebaikan bagi orang lain. Mereka hanya peduli pada kekuasaan itu sendiri. Tujuan akhir mereka setelah berkuasa hanyalah mendatangkan keuntungan bagi diri mereka sendiri atau kelompok mereka. Masa bodoh dengan rakyat.
Pemikiran Orwell itu ada benarnya jika kita melihat sejarah. Kita ambil satu contoh. Pada 21 Mei 1998, enam belas tahun silam, Soeharto mundur dari puncak kekuasaan yang digenggamnya erat-erat selama 32 tahun. Itu sekaligus menandai berakhirnya rezim Orde Baru yang korup dan otoriter. Rezim yang disokong militer dan birokrat itu secara formal tutup buku. Reformasi digulirkan. Rakyat berharap akan perubahan menuju masa depan bersama yang lebih baik. Tapi apa lacur?
Korupsi berjamaah?
Sejak kejatuhan Soeharto lebih dua windu lalu, empat pemilu dan lima presiden telah datang dan pergi. Namun, perubahan yang digadang-gadang itu tak kunjung terjadi. Rakyat masih terjepit kesulitan hidup. Kesejahteraan ekonomi masih angan-angan. Penegakan hukum secara adil masih jadi impian. Keadilan sosial masih hanya retorika. Sementara, para politikus (ya, saya lebih suka menyebut mereka politikus, bukan politisi, sebab politikus bermakna "poli” itu banyak, "tikus” itu hewan rakus) busuk sibuk menggarong uang negara dan bertengkar sesama mereka demi kekuasaan. Begitu busuknya aroma para politikus di parlemen sehingga mereka membutuhkan anggaran lebih dari 2 miliar setahun hanya untuk pewangi ruangan. Persetan nasib rakyat yang dibelit kemiskinan dan harus terlunta-lunta mencari keadilan seperti para petani Kendeng.
Bahkan, yang baru terungkap, triliunan dana untuk proyek raksasa KTP elektronik pun diembat dan dijadikan bancakan beramai-ramai oleh para politikus terhormat dan pejabat terpelajar di jajaran eksekutif dan parlemen. Jika Pramoedya Ananta Toer pernah menulis bahwa "seorang terpelajar harus sudah berbuat adil sejak dalam pikiran”, mereka itu justru "sudah korup sejak dalam pikiran”. Padahal, seperti yang juga pernah dinyatakan Pramoedya dalam novel Bumi Manusia, "Semakin tinggi sekolah bukan berarti semakin menghabiskan makanan orang lain. Harus semakin mengenal batas.”
Peringkat Korupsi Negara Anggota ASEAN
Indonesia bukan yang terkorup di Asia Tenggara. Tapi pemerintah di Jakarta tertinggal jauh dibandingkan negeri jiran dalam urusan memberantas praktik korupsi di tingkat pejabat tinggi.
Foto: Reuters
Singapura - Peringkat 7 dari 175 Negara
Negeri singa laut ini sejak lama dikenal minim korupsi. Dari tahun ke tahun Singapura nyaris tak pernah absen dari daftar 10 besar negara terbersih di dunia. Namun begitu beberapa sektor tetap dianggap rawan korupsi, antara lain media, industri dan partai politik.
Foto: AFP/Getty Images
Malaysia - 50 dari 175
Praktik korupsi di Malaysia didorong oleh sistem pemerintahan. Sumbangan buat partai politik misalnya, baik dari perusahaan maupun individu, tidak dibatasi dan partai tidak diwajibkan melaporkan neraca keuangannya secara terbuka. Kendati bergitu sejak 2013 Malaysia naik tiga peringkat dalam Indeks Persepsi Korupsi milik Transparency International.
Foto: Reuters/O. Harris
Thailand - 85 dari 175
Pertalian erat antara politik dan bisnis dinilai menjadi sumber terbesar praktik korupsi di Thailand. Tidak jarang posisi puncak di kementrian diambilalih oleh pengusaha yang bergerak di bidang yang sama. Thailand juga termasuk negara yang paling sedikit menjebloskan koruptor ke penjara.
Foto: Nicolas Asfouri/AFP/Getty Images
Filipina - 85 dari 175
Pemerintah negeri kepulauan di tepi laut Cina Selatan ini telah berbuat banyak buat mencegah praktik korupsi. Hasilnya posisi Filipina melejit dari peringkat 94 tahun 2013 lalu ke posisi 85 di tahun 2014. Pencapaian tersebut tergolong apik, mengingat tahun 2011 Filipina masih bercokol di peringkat 129 dari 175 negara.
Foto: picture-alliance/dpa
Indonesia - 107 dari 175
Indonesia berada di peringkat 114 tahun 2013 silam. Dibandingkan negeri jiran yang lain seperti Filipina, pemerintah di Jakarta masih tergolong lambat memberantas praktik korupsi di tingkat pejabat tinggi negara. Sejak awal berdirinya 2004 silam, Komisi Pemberantas Korupsi (KPK) tercatat cuma mampu menangani sekitar 660 kasus dugaan korupsi, yang membuahkan 322 tuntutan di pengadilan.
Foto: R. Isabell Duerr
Vietnam - 119 dari 175
Negara komunis Vietnam adalah satu dari sedikit negara ASEAN yang tertinggal di bidang penanganan korupsi. Uniknya sebagian besar kasus dugaan korupsi di Vietnam terjadi di sektor swasta. Baru-baru ini empat pejabat perusahaan kereta api negara dipecat lantaran terlibat dalam kasus suap senilai 758.000 US Dollar. Maraknya korupsi menjadi alasan rendahnya keterlibatan investor asing di Vietnam.
Foto: DW/R. Ebbighausen
Laos - 145 dari 175
Laos tidak cuma tertinggal, malah merosot dari peringkat 140 di tahun 2013 ke posisi 145 tahun lalu. Pemerintah Laos berupaya menghadang gelombang korupsi dengan mendirikan lembaga anti rasuah 2011 silam. Namun hingga kini belum tercatat adanya kasus korupsi besar yang masuk ke pengadilan.
Foto: Global Witness
Kamboja - 156 dari 175
Sejak 2010 pemerintah Kamboja memiliki Undang-undang Anti Korupsi. Tapi perangkat hukum tersebut dinilai tidak melindungi individu yang melaporkan kasus korupsi. Pelapor bisa dihukum penjara jika tudingannya tidak terbukti. Selain itu Kamboja juga mencatat jenis korupsi paling barbarik, yakni menyuap aparat negara untuk melakukan penculikan dalam bisnis perdagangan manusia.
Foto: Reuters
Myanmar - 156 dari 175
Negara yang dikenal dengan nama Burma ini memperbaiki posisi satu peringkat dari 157 ke 156 dalam Indeks Persepsi Korupsi 2014. Berada di bawah kekuasaan militer yang korup selama berpuluh tahun, Myanmar yang kini berada di bawah pemerintahan sipil masih kesulitan menanggulangi maraknya korupsi. Sebanyak 60% perusahaan, baik lokal maupun internasional, mengaku harus menyuap buat mendapatkan izin.
Foto: Reuters
9 foto1 | 9
Yang abadi hanya kepentingan
Premis Orwell yang mengatakan bahwa tujuan partai politik adalah kekuasaan dan bahwa kekuasaan itu adalah untuk kekuasaan sendiri, bukan demi kepentingan rakyat, bisa menjelaskan dagelan politik para politikus di pusaran elite kekuasaan hari-hari ini yang sibuk plintat-plintut demi kekuasaan lebih besar, termasuk dalam drama sengkarut pilkada Jakarta yang merusak tatanan harmoni keberagaman dan keberagamaan masyarakat kita dan merembet ke mana-mana.
Maka, adagium "tak ada kawan abadi, tak ada lawan abadi, yang abadi hanya kepentingan” pun berlaku dalam arena dagang sapi para politikus. Bisa jadi yang di masa lalu saling mencaci kini saling berpelukan seraya tertawa lebar. Kata-kata diputarbalikkan. Kalau perlu, ayat-ayat Tuhan pun dimanipulasi demi melegitimasi kepentingan sesaat. Yang dulu lawan jadi kawan, yang dulu kawan jadi lawan. Mereka ramai-ramai mendadak terjangkit amnesia sejarah. Dan rakyat jelata hanya bisa gigit jari.
"Perjuangan adalah pelaksanaan kata-kata,” tulis Rendra dalam satu puisinya. Bagi mereka yang waspada, sesungguhnya kekuasaan adalah alat untuk berjuang mewujudkan cita-cita mulia. Dan bagi mereka yang berkuasa, adakah yang lebih mulia selain berjuang bersungguh-sungguh untuk kepentingan rakyat banyak?
Penulis:
Anton Kurnia (ap/hp), penulis dan pembaca. Buku esainya Mencari Setangkai Daun Surga: Jejak Perlawanan Manusia Atas Hegemoni Kuasa, 2016.
*Setiap tulisan yang dimuat dalam #DWnesia menjadi tanggung jawab penulis.
Daftar Tangkapan Kakap KPK
Sekali berada dalam jeratan Komisi Pemberantasan Korupsi, nyaris tidak ada yang berhasil membebaskan diri. Reputasi lembaga antirasuah itu cukup mentereng. Berikut daftar pejabat negara yang dibui berkat kerja KPK
Foto: Adek Berry/AFP/Getty Images
Djoko Susilo
Kasus bekas kepala korps lalu lintas Polri ini banyak dikutip setelah calon Kapolri Budi Gunawan ditetapkan sebagai tersangka. Serupa dengan Gunawan, Irjen Pol. Djoko Susilo yang terjerembab lantaran kasus korupsi proyek simulator ujian surat izin mengemudi itu sempat melawan KPK yang kemudian memicu perang Cicak versus Buaya jilid pertama. Djoko Susilo divonis hukuman penjara selama 18 tahun
Foto: picture-alliance/dpa/Mast Irham
Anas Urbaningrum
Penangkapan terhadap Anas antara lain berhasil berkat "nyanyian" Nazaruddin, bekas Bendahara Umum Partai Demokrat. Pria yang kala itu masih menjabat Ketua Umum Partai tersebut kemudian divonis delapan tahun penjara oleh pengadilan. Tapi ia bukan petinggi Demokrat terakhir yang dijerat oleh KPK terkait kasus Hambalang.
Foto: picture-alliance/dpa
Ratu Atut Chosiyah
Ratu asal Banten ini sedang menancapkan kekuasaannya yang menggurita di provinsi Banten ketika KPK mengubah statusnya menjadi tersangka. Sang gubernur terjungkal kasus pengadaan alat kesehatan dan dugaan suap terkait penanganan sengketa pilkada Lebak, Banten. Ratu Atut dovinis empat tahun penjara.
Foto: Adek Berry/AFP/Getty Images
Suryadharma Ali
Bekas Ketua Umum Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Suryadharma Ali ditetapkan sebagai tersangka kasus dugaan korupsi penyelenggaraan ibadah haji. Penetapan tersebut diumumkan di tengah sengitnya masa kampanye jelang Pemilihan Umum Kepresidenan 2014. Hingga kini kasus yang menjerat bekas menteri agama itu masih diproses KPK.
Foto: Adek Berry/AFP/Getty Images
Andi Malarangeng
Andi Malarangeng dan Anas sejatinya adalah dua bintang politik Indonesia yang tengah meroket. Namun tragisnya kedua sosok muda itu terjerembab oleh kasus yang sama. Berbeda dengan Anas, Andi pergi dengan diam setelah ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK. Ia mengundurkan diri dari jabatannya sebagai Menteri Pemuda dan Olahraga, sebelum kemudian divonis empat tahun penjara oleh pengadilan Tipikor.
Foto: STR/AFP/Getty Images
Jero Wacik
Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Jero Wacik ditetapkan sebagai tersangka, September 2014 karena diduga melakukan tindak pidana korupsi terkait dengan pengadaan proyek di Kementerian ESDM pada 2011-2013. Sejauh ini belum ada kejelasan mengenai kelanjutan kasus yang melibatkan Jero.
Foto: ROMEO GACAD/AFP/GettyImages
Burhanuddin Abdullah
Bekas Gubernur Bank Indonesia Burhanuddin Abdullah dinyatakan bersalah karena menggunakan dana milik Yayasan Lembaga Pengembangan Perbankan Indonesia (YLPPI) senilai Rp 100 miliar untuk bantuan hukum lima mantan pejabat BI, penyelesaian kasus BLBI, dan amandemen UU BI. Kendati tidak terbukti mencoba memperkaya diri sendiri, Abdullah divonis lima tahun penjara
Foto: Getty Images/Adek Berry
Miranda S. Goeltom
Perempuan ambisius yang sudah malang melintang di Bank Indonesia ini resmi menjadi tersangka pada Januari 2012. Ia tersandung kasus suap cek pelawat buat anggota DPR. Duit tersebut dikucurkan selama berlangsungnya pemilihan Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia Periode 2004. Miranda kemudian divonis menginap tiga tahun di balik jeruji besi.
Foto: Getty Images/Adek Berry
Akil Mochtar
Ketua Mahkamah Konstitusi, Akil Mochtar, tertangkap tangan di rumah dinasnya saat seorang pengusaha dan anggota DPR sedang menyerahkan duit sekitar Rp 3 milyar. Dana tersebut terbukti adalah uang suap dalam sengketa hasil Pilkada di kabupaten Gunung Mas, Kalimantan. Akil adalah satu-satunya tangkapan KPK yang mendapat vonis hukum seumur hidup dari Tipikor.